Sobat Cuan sudah mengenal terdapat dua indikator teknikal utama, yakni Moving Average (MA) dan oscillator. Dan seperti yang dijelaskan di artikel sebelumnya, terdapat berbagai macam turunan indikator oscillator selain Relative Strength Index (RSI). Lantas, apa saja ragam turunan indikator oscillator tersebut? Yuk, simak artikel ini ya, Sobat Cuan!
Stochastic Oscillator adalah indikator momentum yang membandingkan nilai penutupan sebuah aset di satu titik waktu tertentu dengan rentang pergerakannya dalam periode waktu yang spesifik.
Indikator ini mencerminkan bahwa momentum pergerakan harga aset akan terus berubah-ubah sebelum akhirnya pergerakan harga aset tersebut benar-benar berganti haluan. Nah, oleh karenanya, pelaku pasar biasanya menggunakan indikator ini untuk memprediksi perubahan tren harga aset.
Sama seperti RSI, indikator ini bertujuan untuk mencari sinyal jenuh beli (overbought) atau jenuh jual (oversold) dengan rentang nilai antara 0 hingga 100. Tingkat senstivitas indikator ini terhadap pergerakan harga aset yang sebenarnya sangat tergantung dengan kerangka waktu yang digunakan atau hasil Moving Average dari harga aset.
Adapun grafik Stochastic Oscillator terdiri dari dua garis, di mana satu garis menggambarkan nilai oscillator sebenarnya di setiap sesi perdagangan sementara garis lainnya merupakan refleksi atas Simple Moving Average (SMA) selama tiga hari ke belakang. Karena pergerakan harga selalu mengikuti momentum, maka persilangan antara dua garis tersebut sering dianggap sebagai sinyal bahwa tren harga akan berubah.
Secara umum, kondisi overbought akan terjadi jika kedua garis tersebut berada di atas nilai 80. Sementara itu, kondisi oversold terjadi jika keduanya berada di bawah nilai 20.
Hanya saja, keterangan-keterangan tersebut tidak selalu mengindikasikan bahwa tren harga aset benar-benar berganti arah. Sebab, pada kenyataannya, kedua garis tersebut bisa berada di zona overbought atau oversold dalam jangka waktu lama jika trennya benar-benar kuat.
Oleh karenanya, pelaku pasar perlu memperhatikan interaksi antara kedua garis tersebut dengan pergerakan harga aset yang sebenarnya untuk mencari petunjuk tentang perubahan tren harga aset ke depan.
Salah satu penggunaan penting Stochastic Oscillator adalah melihat divergensi antara kedua indikator oscillator dengan pergerakan harga aslinya. Sobat Cuan bisa melihat contohnya di grafik Stochastic Oscillator Bitcoin (BTC) dengan rentang waktu satu hari berikut!
Pada grafik di atas, garis biru menunjukkan nilai oscillator sebenarnya sementara garis merah mewakili SMA BTC dalam tiga hari terakhir.
Ketika harga aset mencapai titik tertinggi terbarunya sementara garis oscillator terlihat menyentuh titik terendah terbarunya ketika tren sedang bullish, maka kondisi itu bisa disebut sebagai divergensi negatif (negative divergence). Peristiwa ini merupakan sinyal bahwa tren harga akan berubah, sehingga pelaku pasar harus bersiap diri menghadapi risiko ke depan.
Namun, jika harga aset mencapai titik terendah terbarunya sementara kedua garis oscillator terus mencetak nilai tertinggi terbarunya saat kondisi pasar sedang bearish, maka hal tersebut bisa disebut sebagai divergensi positif (positive divergence). Kondisi tersebut menjadi pertanda bahwa masa-masa bearish akan segera lenyap dan berganti menjadi tren bullish, seperti terlihat di grafik berikut.
Indikator CCI membandingkan posisi harga saat ini dengan rerata harganya dalam satu rentang waktu tertentu.
Sama seperti indikator oscillator lainnya, indikator CCI menentukan titik overbought atau oversold dari pergerakan harga sebuah aset. Nilai CCI terbilang tinggi jika harga aset saat ini lebih tinggi dibanding reratanya dalam satu periode waktu terentu. Di sisi lain, nilai CCI relatif akan lebih rendah jika harga saat ini berada di bawah harga reratanya dalam rentang waktu yang spesifik.
Indikator ini berbentuk garis yang berfluktuasi dalam rentang di atas atau di bawah nilai 0, yang sekaligus menunjukkan teritori positif atau negatif.
Sering kali, atau mungkin 75% dari kejadian pada umumnya, nilai CCI bergerak dalam rentang -100 hingga +100. Namun, nilai CCI bisa saja bertengger di luar kedua titik nilai tersebut, yang biasanya mengindikasikan bahwa pergerakan harga sedang sangat lemah atau sangat kuat.
Ketika garis CCI bergerak dari teritori negatif menuju nilai di atas 100, maka itu menjadi pertanda bahwa tren harga aset tersebut akan meningkat. Pada titik tersebut, traders bisa ancang-ancang melakukan aksi beli jika memang kenaikan garis CCI diikuti oleh pelemahan singkat harga aset sebelum kemudian reli kencang.
Konsep yang sama juga berlaku untuk menerka tren harga menurun. Ketika garis CCI longsor dari teritori positif menuju angka -100, maka downtrend kemungkinan akan terjadi. Pelaku pasar bisa menggunakan peristiwa ini sebagai pertanda untuk menjual asetnya atau mendulang cuan dari short trading.
Pergerakan harga setiap aset punya rentang CCI yang berbeda. Namun biasanya, garis CCI selalu berada dalam bentangan -100 hingga +100. Bahkan, tidak menutup kemungkinan nilai CCI bisa mencapai titik ekstrem -200 hingga +200 atau -300 hingga +300.
Untuk mengetahui aplikasi CCI, Sobat Cuan bisa menyimak grafik CCI atas pergerakan harga BTC dalam rentang satu hari berikut!
Grafik di atas menunjukkan bahwa kondisi oversold terjadi ketika nilai CCI berada di bawah nilai -300 (titik A). Posisi ini memberi sinyal bagi para traders untuk segera melakukan aksi jual.
Nah, Sobat Cuan bisa melihat kondisi sebaliknya di grafik berikut!
Ketika garis CCI mendekati nilai +300 (pada titik B), maka situasi ini bisa dianggap sebagai kondisi overbought. Alhasil, trader harus mengantisipasi potensi tren penurunan harga setelah timbulnya peristiwa tersebut.
Sama seperti Stochastic Oscillator, indikator CCI juga bisa dimanfaatkan untuk melihat divergensi.
Ketika harga aset mencapai titik tertinggi terbarunya sementara garis CCI terlihat menyentuh titik terendah terbarunya ketika tren sedang bullish, maka kondisi itu bisa disebut sebagai divergensi negatif (negative divergence). Ini bisa menjadi sinyal bahwa tren harga akan segera berubah.
Namun, jika harga aset mencapai titik terendah terbarunya sementara garis CCI terus mencetak nilai tertinggi terbarunya saat kondisi pasar sedang bearish, maka hal tersebut bisa disebut sebagai divergensi positif (positive divergence). Traders bisa memanfaatkan kondisi tersebut untuk melakukan aksi jual.
Indikator berikutnya adalah the Price Rate of Change (ROC). Ini adalah indikator teknikal berdasarkan momentum yang mengukur persentase perubahan antara harga aset saat ini dengan harga aset di masa lampau.
Pelaku pasar biasanya juga menggunakan indikator ROC untuk mengukur tingkat overbought atau oversold. Namun bedanya, pelaku pasar juga memeriksa tingkat ROC berapakah yang menyebabkan tren harga berbalik arah di masa lalu. Dalam hal ini, pelaku pasar akan mencari nilai spesifik ROC, baik positif maupun negatif, yang bertepatan dengan titik perubahan harga aset di masa silam.
Indikator ini digambarkan dalam bentuk garis yang nilainya bergerak di atas atau di bawah 0. Tren harga yang membaik biasanya tercermin dari kenaikan garis ROC ke teritori positif alias di atas 0. Sehingga, pelaku pasar biasanya mengaitkan kondisi tersebut dengan aksi borong di pasar.
Begitu pun sebaliknya. Tren harga yang memburuk akan terlihat dari garis ROC yang terus melempem ke teritori negatif. Pelaku pasar biasanya menganggap hal tersebut sebagai cerminan aksi jual di pasar.
Ketika ROC terlihat mencapai nilai-nilai ekstrem, pelaku pasar harus meningkatkan kewaspadaannya akan perubahan tren pergerakan harga. Jika memang pergerakan harga aset tersebut mengonfirmasi sinyal yang diberikan ROC, maka pelaku pasar harus segera melakukan trading.
Sama seperti indikator oscillator lainnya, ROC juga kerap dimanfaatkan sebagai indikator yang bisa memberi sinyal perubahan tren harga di masa depan melalui divergensi. Dalam ROC, divergensi terjadi ketika arah pergerakan harga aset berbeda dengan arah pergerakan garis ROC.
Sobat Cuan bisa memahami maksud di atas melalui grafik ROC Bitcoin dalam rentang 1 hari berikut!
Grafik di atas menunjukkan bahwa garis ROC terus mencetak nilai terendah baru sementara harga BTC terus mencetak harga tertinggi barunya. Kondisi yang disebut divergensi negatif ini semestinya bikin pelaku pasar mengantisipasi pelemahan harga di masa yang akan datang.
Di sisi lain, divergensi positif terjadi ketika harga aset terus menuju nilai terendah terbarunya meski garis ROC mencetak nilai tertinggi baru. Dalam situasi tersebut, pelaku pasar bisa mempertimbangkan untuk melakukan aksi beli karena tren harga akan menguat sebentar lagi. Sobat Cuan bisa menengok contohnya di grafik berikut.
ADX adalah indikator yang digunakan pelaku pasar untuk mengukur kekuatan tren pergerakan harga secara keseluruhan. Indikator ini dihitung berdasarkan Moving Average dari satu rentang harga aset tertentu pada satu rentang waktu tertentu. Pelaku pasar bisa memanfaatkan ADX untuk trading aset apapun, mulai dari saham, emas, kripto, reksa dana, hingga kontrak berjangka.
ADX terdiri dari beberapa tingkatan nilai dari 0 hingga 100 yang kerap digunakan pelaku pasar untuk mengidentifikasi tren yang paling kuat dan paling menghasilkan cuan ketika trading. Selain itu, nilai-nilai tersebut juga memberi petunjuk bagi pelaku pasar untuk menentukan apakah harga aset bergerak dalam sebuah tren atau tidak.
Indikator ADX sendiri digambarkan dalam bentuk garis tunggal yang tidak menuju arah tertentu dan bergerak di antara 0 hingga 100. Jika garis ADX berada di atas 25, maka pelaku pasar bisa melancarkan strategi trading berdasarkan tren. Namun, jika nilai ADX di bawah 25, maka pelaku pasar perlu menjauhi strategi tersebut.
Secara lebih rinci, berikut adalah tingkatan nilai yang umum berlaku di dalam ADX.
Sobat Cuan bisa melihat contoh ADX melalui garis ADX Bitcoin dalam rentang satu hari berikut!
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, nilai ADX di atas 25 menunjukkan penguatan tren harga aset. Namun, ketika harga BTC menciptakan nilai tertinggi baru dan garis ADX terus mencetak nilai terendah baru, maka tren penguatan harga BTC perlahan-lahan menjadi lemah. Nah, kondisi inilah yang disebut sebagai divergensi negatif (negative divergence) di dalam ADX.
Secara umum, divergensi bukanlah sinyal atas pembalikan tren harga aset. Hal itu justru merupakan peringatan bahwa momentum tren tengah berubah. Sehingga, pelaku pasar bisa memanfaatkan hal tersebut untuk memperketat stop-loss atau menarik sebagian cuannya.
Di samping itu, seperti yang telah disinggung sebelumnya, garis ADX tidak mengarah ke satu titik tertentu. Sehingga, jika nilai ADX berada di atas 25, maka ada kemungkinan tren harga aset malah bisa jadi terus melemah. Sobat Cuan bisa menengok contohnya di grafik berikut!
Grafik di atas menunjukkan bahwa ketika harga Bitcoin terus mencetak harga terendah terbarunya dan nilai terendah baru garis ADX lebih tinggi dari sebelumnya, maka tren pelemahan harga Bitcoin semakin melemah. Pelaku pasar bisa membaca sinyal ini sebagai pertanda bahwa momentum tren kemungkinan akan berubah.
Ultimate Oscillator adalah indikator teknikal yang dikembangkan untuk mengukur momentum harga aset di beberapa kerangka waktu tertentu.
Indikator berisikan pembobotan atas rata-rata pergerakan harga aset di tiga kerangka waktu yang berbeda, biasanya dalam tujuh, 14, dan 28 sesi perdagangan, dan punya volatilitas ringan. Namun, indikator ini memberikan sinyal-sinyal trading yang lebih sedikit jika dibandingkan indikator oscillator lain yang bergantung pada satu kerangka waktu saja.
Dalam menggunakan indikator tersebut, trader biasanya menangkap sinyal jual dan beli dari hasil divergensi. Tetapi, divergensi milik ULTOSC terbilang lebih sedikit dibandingkan indikator oscillator lainnya karena ULTOSC disusun di atas kerangka waktu yang berbeda-beda.
Indikator ULTOSC digambarkan ke dalam sebuah garis yang bergerak antara nilai 0 hingga 100. Mirip seperti indikator RSI, level oversold terjadi ketika garis melintang di bawah level 30 sementara level overbought terjadi ketika garis ULTOSC menembus di atas level 70.
Sinyal trading muncul ketika harga aset bergerak berlawanan arah dengan indikator ULTOSC. Namun, pelaku pasar perlu memperkuat keputusan trading mereka berdasarkan tiga karakteristik berikut.
Agar kamu tak bingung dengan penjelasan di atas, yuk tengok contohnya di grafik ULTOSC Bitcoin dalam rentang 15 menit berikut!
Dari grafik di atas, Sobat Cuan bisa melihat bahwa harga aset terendah di titik B lebih rendah dari titik harga terendah di titik A. Di saat yang bersamaan, titik terendah garis ULTOSC di titik D juga ternyata lebih tinggi dari level terendah sebelumnya, yakni titik C. Kondisi ini sesuai dengan syarat pertama sinyal trading seperti tertera di atas.
Selain itu, titik C juga berada di bawah level 30, persis sama seperti poin ke-dua karakteristik di atas.
Kemudian, kamu juga bisa melihat bahwa titik ULTOSC tertinggi setelah poin D terlihat melampaui poin E. Nah, di titik inilah kamu bisa melakukan aksi beli.
Lantas, bagaimana caranya kamu bisa menerima sinyal untuk melakukan aksi jual? Sama seperti sinyal aksi beli, terdapat tiga syarat yang perlu dipenuhi sebelum kamu melakukan aksi beli.
Contohnya bisa kamu lihat di grafik ULTOSC BTC dengan rentang 1 hari berikut!
Harga tertinggi aset yang berada di titik B lebih tinggi dari titik tertinggi sebelumnya, yakni di titik A. Di saat yang bersamaan, titik terendah garis ULTOSC di titik D juga ternyata lebih rendah dari level tertinggi sebelumnya, yakni titik C yang berada di atas level 70.
Kemudian, kamu bisa melihat bahwa garis ULTOSC terendah di TITIK E. Nah, ketika garis ULTOSC berikutnya menyentuh level yang sama setelah titik D, maka kamu bisa melakukan aksi jual.
Bagikan artikel ini