Indikator ekonomi selalu disebut sebagai salah satu sentimen utama investasi. Lantas, apa saja lima contoh ekonomi makro yang perlu diketahui investor?
Ekonomi makro adalah cabang ilmu ekonomi yang membahas dinamika ekonomi dalam ruang lingkup yang lebih besar dan bersifat umum. Sementara itu, indikator ekonomi makro adalah data statistik yang mencerminkan dinamika-dinamika tersebut.
Biasanya, data-data indikator tersebut dirilis secara periodik, misalnya bulanan, triwulanan, atau tahunan. Data-data tersebut bisa saja dirilis oleh lembaga pemerintah atau bisa juga dirilis oleh lembaga swasta.
Sebagai contoh, Sobat Cuan mungkin pernah mendengar data seperti Indeks Harga Konsumen atau Produk Domestik Bruto. Nah, di Indonesia, data tersebut dirilis oleh lembaga pemerintah yang bernama Biro Pusat Statistik (BPS).
Indikator ekonomi makro bukanlah sekadar deretan angka-angka semata. Bagi ekonom dan pengambil kebijakan, data tersebut berfungsi sebagai cerminan atas tingkat "kesehatan" ekonomi sebuah wilayah. Sehingga, mereka pun nantinya bisa menyusun rekomendasi kebijakan atau peraturan yang bisa memperbaiki "kesehatan" tersebut.
Sementara itu, bagi investor, indikator ekonomi makro merupakan salah satu unsur untuk menentukan keputusan investasi ke depan. Contoh sederhananya, investor tentu akan tertarik berinvestasi ketika situasi ekonomi sedang cerah. Namun, mereka akan cenderung menahan uangnya dan enggan berinvestasi ketika situasi ekonomi terlihat mendung.
Lantas, sebagai investor, apa saja contoh indikator ekonomi makro yang dianggap penting dalam menentukan keputusan investasi?
Baca juga: PDB Per Kapita
Secara sederhana, Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai keseluruhan dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh satu wilayah tertentu dalam satu periode tertentu. Jika nilai PDB suatu waktu tertentu dibandingkan dengan PDB di periode lain di masa lalu, maka hasil perubahannya disebut sebagai pertumbuhan ekonomi.
Meski PDB dianggap sebagai indikator utama kinerja ekonomi makro, nyatanya PDB bukanlah metrik ekonomi yang sempurna.
Contohnya, data PDB tidak mencakup data peningkatan kualitas produk dalam perekonomian dan data transaksi non pasar (barter, underground economy) serta waktu perilisan yang cukup lama. Sehingga, sejumlah investor lebih memilih indikator ekonomi alternatif yang perilisannya lebih cepat.
Kendati demikian, bagi investor, pertumbuhan PDB antar waktu tetap dianggap sebagai sentimen utama dalam berinvestasi, utamanya investasi di aset berisiko seperti saham. Pasalnya, hal ini akan memberikan investor gambaran mengenai prospek instrumen tersebut ke depan.
Sebagai contoh, anggap saja Indonesia membukukan pertumbuhan ekonomi 5% di 2025 dan diproyeksikan akan bertumbuh lagi ke 6% setahun kemudian.
Hal ini menunjukkan bahwa geliat ekonomi Indonesia diramal semakin baik, sehingga permintaan barang dan jasa domestik kemungkinan besar akan meningkat. Nah, kenaikan permintaan tersebut tentu akan menjadi tambahan pundi-pundi penerimaan bahkan laba bagi dunia usaha. Sehingga, ada kemungkinan besar nilai saham perusahaan yang ketiban berkah dari pertumbuhan ekonomi tersebut pun ikut meningkat.
Contoh ekonomi makro lainnya adalah inflasi, yakni kenaikan tingkat harga barang dan jasa dalam suatu perekonomian antar waktu.
Secara teorinya, semakin tinggi tingkat inflasi, maka artinya harga barang semakin mahal sehingga masyarakat pun lambat laun akan mengerem daya belinya.
Namun, jika inflasi terlalu rendah, maka ada kemungkinan tingkat konsumsi masyarakat sedang lemah sehingga pertumbuhan ekonomi satu negara tidak akan optimal. Hal ini mengingat konsumsi merupakan satu dari empat indikator pembentuk PDB selain investasi, ekspor netto, dan belanja pemerintah.
Setiap negara punya cara masing-masing dalam mengukur inflasi. Di Indonesia, misalnya, patokan inflasi diturunkan dari perubahan IHK antar periode. Sementara itu, AS menggunakan perubahan IHK sebagai dasar perhitungan inflasi. Namun, bank sentral AS The Fed lebih memilih untuk menggunakan inflasi berdasarkan perubahan pengeluaran pribadi (Personal Consumption Expenditure/PCE) sebagai patokan utama dalam menyusun kebijakan moneternya.
Bagi investor, tingkat inflasi adalah faktor penting dalam membaca nasib iklim investasi, utamanya aset-aset berisiko.
Jika inflasi semakin tinggi, maka ada kemungkinan masyarakat akan memiliki sisa uang nganggur yang semakin sedikit. Maklum saja, hal itu disebabkan karena masyarakat terpaksa membayar barang dan jasa lebih mahal dari biasanya.
Nah, karena sisa uang masyarakat semakin menyusut, maka ada kemungkinan mereka akan mengerem investasi dan memilih untuk mencadangkan uangnya. Hasilnya, kinerja aset investasi mungkin bakal terguncang karena minimnya permintaan di pasar aset.
Namun, pada masa ini, investor biasanya beralih menempatkan dananya ke emas. Sebab, emas dianggap sebagai aset pelindung nilai dan penyimpan kekayaan yang tangguh melawan inflasi.
Untuk mengendalikan arah inflasi, bank sentral biasanya menggunakan satu instrumen kebijakan yang disebut suku bunga acuan. Apakah itu?
Suku bunga acuan adalah suku bunga utama yang ditetapkan bank sentral untuk mengontrol arah perekonomian suatu negara.
Jika bank sentral merasa bahwa pertumbuhan ekonomi perlu dinaikkan, maka ia pun akan menurunkan suku bunga acuannya. Namun, bank sentral akan mengerek suku bunga acuan jika inflasi saat ini dirasa perlu untuk diredam dan melindungi daya beli masyarakat.
Bagi investor, naik-turun suku bunga adalah faktor esensial dalam menentukan selera investasi di instrumen berisiko. Apa alasannya?
Kenaikan suku bunga secara otomatis akan mengerek suku bunga tabungan. Tapi, kondisi itu akan membuat masyarakat lebih senang menyimpan uangnya di perbankan atau instrumen minim risiko lantaran imbal hasilnya jadi terlihat menarik.
Imbasnya, masyarakat jadi tak tergugah untuk berinvestasi sehingga mereka pun akan menjual aset berisikonya dan mengalihkannya ke instrumen-instrumen "aman" tersebut. Hasilnya, kinerja instrumen investasi berisiko pun bisa berguguran.
Baca juga: Suku Bunga Pengaruhi Investasi? Ini 3 Sektor Vital yang Terkena Imbas
Tingkat pengangguran adalah rasio yang membandingkan antara jumlah tenaga kerja yang tidak memiliki pekerjaan terhadap total tenaga kerja di satu negara. Data ini memberi cerminan terhadap situasi bisnis dan ekonomi yang terjadi di satu wilayah tertentu.
Bagi investor, data ini bisa memberi sinyal mengenai dua hal utama, yakni siklus ekonomi dan inflasi.
Sebagai contoh, tingkat pengangguran rendah mengindikasikan bahwa perekonomian suatu negara sedang bergeliat. Sehingga, pertumbuhan ekonomi suatu negara dianggap sedang memasuki masa ranum.
Rendahnya tingkat pengangguran juga mengindikasikan penyerapan tenaga kerja yang semakin optimal. Namun, kenaikan penyerapan tenaga kerja tentu akan berdampak pada kenaikan pendapatan masyarakat.
Kenaikan pendapatan tentu bisa mengerek permintaan barang dan jasa di masyarakat. Sehingga, jika hal itu berlangsung terus menerus, maka inflasi pun tak terelakkan.
Cadangan devisa adalah indikator penting yang dapat menunjukkan seberapa kuat fundamental perekonomian suatu negara.
Dalam jumlah yang cukup, cadangan devisa dapat menjadi salah satu jaminan tercapainya stabilitas moneter dan perekonomian makro suatu negara. Selain itu, cadangan devisa juga kerap digunakan bank sentral untuk mengintervensi pasar valuta asing demi menstabilkan nilai tukar mata uangnya.
Indonesia memperoleh cadangan devisa melalui valuta asing yang didapat dari mengekspor hasil sumber daya alam ke luar negeri dan melakukan pinjaman ke negara lain.
Baca juga: Yuk, Kenalan Dengan 2 Jenis Indikator Ekonomi yang Pengaruhi Investasi
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi Saham AS, indeks saham AS, emas, ratusan aset kripto dan puluhan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Sumber: Investopedia
Bagikan artikel ini