Ekonomi deskriptif adalah cabang ilmu ekonomi yang didasarkan pada data dan fakta. Lantas, seperti apa penjelasan dan contoh ilmu ekonomi deskriptif?
Ekonomi deskriptif adalah ilmu ekonomi yang melibatkan pengumpulan fakta atau data empiris tentang peristiwa ekonomi tertentu.
Ketika menjalankan ilmu ekonomi deskriptif, ekonom akan mengobservasi sebuah peristiwa ekonomi, memperhatikan pola-pola yang terjadi di dalamnnya, dan kemudian mencatat sekaligus mengompilasi data-data atau fakta yang terkait.
Lebih lanjut, ekonomi deskriptif adalah hal yang berbeda dengan teori ekonomi. Kendati demikian, keduanya saling berhubungan satu sama lain.
Di satu sisi, ilmu ekonomi deskriptif berfokus pada pengumpulan data dan fakta ekonomi. Kemudian, data-data tersebut akan diinterpretasikan ke dalam serangkaian hipotesis mengenai akar penyebab dari peristiwa tersebut. Nah, proses interpretasi data dan hipotesis itulah yang kemudian disebut sebagai teori ekonomi.
Dalam hal ini, Sobat Cuan bisa mengambil contoh teori permintaan dan penawaran dalam ekonomi.
Teori ekonomi itu pada awalnya didasarkan pada hipotesis bahwa masyarakat akan mengurangi sebuah permintaan barang dan jasa jika harganya meningkat.
Hipotesis itu sendiri didasarkan pada ekonomi deskriptif, di mana ekonom telah mengumpulkan data empiris dan observasi yang menunjukkan bahwa masyarakat benar-benar menurunkan konsumsinya jika harga barang dan jasa tersebut naik.
Selain itu, ilmu ekonomi deskriptif juga berkontribusi terhadap ilmu ekonomi terapan (applied economics). Pasalnya, teori ekonomi yang disimpulkan dari ekonomi deskriptif nantinya bisa diterapkan dan diimplementasikan ke situasi di dunia nyata.
Ilmu ekonomi ini biasanya diterapkan oleh pihak-pihak yang menghimpun data-data terkait kondisi sosial dan ekonomi. Di Indonesia, misalnya, lembaga yang menghimpun data-data sosial dan ekonomi secara makro dan mikro adalah Badan Pusat Statistik (BPS).
Baca Juga: Mengenal Pengertian Sistem Ekonomi Liberal dan Ciri-cirinya
Ekonomi deskriptif adalah sebuah ilmu yang sangat esensial. Namun, apa sebenarnya fungsi ekonomi deskriptif itu sendiri? Berikut adalah beberapa di antaranya:
Ekonomi deskriptif dapat membantu masyarakat dalam memahami situasi ekonomi yang sebenarnya terjadi di satu ruang lingkup tertentu.
Pasalnya, ilmu ekonomi ini didasarkan pada fakta dan data yang terbebas dari unsur subjektivitas apapun.
Ekonomi deskriptif adalah alat bagi pemangku kebijakan sebagai proses "pembelajaran" terhadap peristiwa-peristiwa ekonomi yang kurang menggembirakan di masa lalu.
Sehingga, pemerintah bisa melakukan serangkaian kebijakan yang bisa mencegah peristiwa itu untuk terulang lagi di masa depan.
Ekonomi deskriptif juga dapat membantu pemerintah dalam merencanakan kebijakan ekonomi yang tepat sasaran dan efektif.
Jika kebijakan ekonomi yang dilakukan tepat sasaran, maka kondisi ekonomi suatu negara diharapkan bisa tetap stabil.
Baca Juga: Mengenal Jenis Pelaku Ekonomi dan Perannya
Ekonomi deskriptif adalah sebuah ilmu ekonomi yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Ekonomi deskriptif didasarkan pada data dan fakta, sehingga tidak ada unsur subjektivitas di dalamnya.
Karena didasarkan pada data empiris, maka ilmu ekonomi deskriptif bisa dijelaskan melalui visualisasi baik dalam bentuk grafik maupun kurva.
Meski didasarkan pada data faktual, namun ekonomi deskriptif masih memiliki celah untuk memberikan hasil yang tidak akurat. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti kesalahan metodologi penarikan data atau kesengajaan dari pihak-pihak tertentu untuk merekayasa data-data yang telah dihimpun.
Ilmu ekonomi deskriptif kerap digunakan untuk menganalisis peristiwa ekonomi yang berdampak signifikan bagi masyarakat. Berikut adalah contoh ekonomi deskriptif berdasarkan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu.
Salah satu peristiwa ekonomi yang masih menjadi perdebatan para ekonom adalah pertumbuhan ekonomi yang pesat (economic boom) yang terjadi di negara-negara barat pasca Perang Dunia II.
Ilmu ekonomi deskriptif Antara dekade 1950-an hingga awal 1970-an, Amerika Serikat (AS) dan Eropa Barat tiba-tiba mengalami pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang signifikan. Meski memang, meroketnya pertumbuhan ekonomi di masing-masing wilayah terjadi di waktu yang berbeda-beda.
Data empiris tentang peristiwa tersebut menggugah para ekonom untuk mencari sumber utama atas kinclongnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara barat. Oleh karenanya, mereka pun melempar serangkaian hipotesis terkait mengapa hal itu bisa terjadi.
Teori pertama adalah mengenai kemampuan negara-negara Eropa Barat untuk mengejar inovasi-inovasi ekonomi baru yang muncul di AS.
Teori ini menjelaskan bahwa perang dunia, baik Perang Dunia pertama maupun kedua, lebih berdampak negatif ke negara-negara Eropa dibanding AS. Hal ini mengingat medan peperangan utama kedua perang tersebut terjadi di benua Eropa.
Terjadinya kedua perang tersebut membuat negara-negara Eropa memusatkan perhatiannya pada perang dan menempatkan inovasi ekonomi sebagai prioritas terakhir. Namun, di saat yang sama, AS justru berhasil menciptakan inovasi-inovasi baru seperti industri otomotif hingga alat bahan baku industri buatan bernama teflon.
Setelah kedua perang itu berakhir, negara-negara Eropa pun menyadari bahwa mereka sedikit tertinggal dari segi inovasi ekonomi dibanding AS. Sehingga, negara-negara Eropa pun memilih untuk mendatangkan fasilitas manufaktur untuk memodifikasi dan mempercanggih inovasi-inovasi yang sebelumnya diciptakan di AS, dan membuat pertumbuhan ekonominya melesat kencang.
Selain itu, terdapat teori kedua yakni meningkatnya kerja sama ekonomi antar negara-negara barat.
Sebagai contoh, usai Perang Dunia kedua, AS memberikan bantuan bantuan finansial kepada 17 negara Eropa untuk memulihkan demokrasi dan ekonominya pascaperang yang akrab dikenal sebagai Marshall Plan. Negara-negara Eropa kemudian berhasil memanfaatkan bantuan tersebut untuk menumbuhkan ekonominya.
Apapun hipotesisnya, economic boom pascaperang menjadi contoh ekonomi deskriptif yang baik yang dapat mendorong ekonom untuk menemukan akar penyebab satu peristiwa ekonomi tertentu.
Salah satu contoh ekonomi deskriptif lainnya adalah penjelasan mengenai krisis ekonomi yang sempat melanda Indonesia pada 1998.
Kala itu, data-data menunjukkan bahwa Indonesia mengalami sempat mengalami inflasi sebesar 77,93% secara tahunan. Tak ketinggalan, Indonesia juga mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi hingga 13% di waktu yang sama.
Data dan fakta ilmu ekonomi deskriptif tersebut kemudian digunakan untuk menganalisis keruntuhan ekonomi yang terjadi saat itu.
Ekonom kemudian berpendapat bahwa hal itu adalah imbas dari krisis moneter yang terjadi di Thailand, di mana nilai tukar Baht Thailand terperosok menghadapi Dolar AS. Hal ini menyebabkan Thailand rela meninggalkan sistem kurs tetap dan beralih ke rezim nilai tukar mengambang (float rate) dan meroketkan nilai Dolar AS.
Sayangnya, kondisi tersebut justru menular ke negara-negara lainnya, termasuk Indonesia, dan menyebabkan rasio utang terhadap PDB masing-masing negara tersebut meningkat.
Selain itu, krisis moneter tersebut juga menyebabkan masyarakat melakukan penarikan besar-besaran dari bank (bank run) sebagai langkah berjaga-jaga dalam menghadapi apresiasi nilai tukar Rupiah yang kian melemah.
Baca Juga: Sistem Ekonomi Campuran
Contoh ekonomi deskriptif berikutnya adalah penjelasan mengenai krisis finansial global yang terjadi 2008, yang digadang sebagai bencana keuangan terparah AS sejak The Great Depression di 1929.
Kala itu, sistem keuangan AS tiba-tiba terguncang dan bahkan menyebabkan salah satu bank terbesar AS, Lehmann Brothers, kolaps. Hal itu kemudian disertai dengan bank run dan penurunan pertumbuhan ekonomi AS secara signifikan.
Data dan fakta ekonomi deskriptif itu mendorong ekonom untuk mencari biang keladinya. Rupanya hal utu disebabkan oleh bubble harga rumah di AS sejak 2006, yang membuat broker hipotek dan bank untuk merelaksasi syarat-syarat pengajuan kredit aset tersebut.
Sebagai hasilnya, mereka pun menawarkan subprime mortgage, yakni hipotek "ecek-ecek" dengan risiko gagal bayar tinggi dan bunga tinggi, agar semakin banyak masyarakat mau mengambil kredit itu.
Rupanya, lembaga-lembaga tersebut "mengemas" hipotek berkualitas "buruk" itu ke dalam sebuah instrumen bernama Mortgage-Based Securities (MBS) dan menawarkannya ke investor institusi.
Hasilnya, seperti yang sudah ditebak, bubble pun selesai dan membuat harga rumah pun runtuh. Nasabah subprime mortgage pun tak mampu melunasi utang-utang berbunga jumbo itu.
Hal itu pun berdampak kepada imbal hasil MBS dan pada akhirnya menyebabkan keguncangan di sistem finansial AS.
Download aplikasi Pluang untuk investasi Saham AS, emas, ratusan aset kripto dan puluhan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Sumber: Reference, Statista, Accurate, Investopedia
Bagikan artikel ini