Yang namanya berinvestasi, tentu Sobat Cuan paham bahwa indikator makroekonomi memiliki peranan yang penting dalam investasi. Sebab, naik turunnya jenis-jenis indikator ekonomi akan sangat berdampak pada pergerakan harga aset, yang nantinya juga akan mempengaruhi raihan cuan investasimu.
Nah, dalam berinvestasi, ada dua jenis indikator makroekonomi yang perlu Sobat Cuan perhatikan. Yakni, inflasi dan data ketenagakerjaan. Mengapa demikian?
Untuk tahu jawabannya, yuk simak artikel ini sampai habis, ya!
Baca juga: Apa itu Inflasi?
Sobat Cuan perlu paham bahwa inflasi adalah kenaikan harga barang-barang secara umum dalam satu periode tertentu. Inflasi punya dua sisi, ada yang bersifat baik namun juga buruk bagi perekonomian.
Jika inflasi barang-barang bergejolak naik, maka artinya harga barang-barang memang tengah menanjak. Hal itu bisa mengancam daya beli masyarakat nantinya.
Namun, jika yang meningkat adalah inflasi inti, sebuah negara boleh bersorak karenanya. Sebab, ini adalah indikasi bahwa kenaikan harga barang dan jasa disebabkan oleh kenaikan permintaan barang dan jasa di sebuah wilayah. Dengan kata lain, perbaikan daya beli tengah terjadi di masyarakat
Namun, bagaimana investor melihat inflasi? Apakah mereka fokus ke sisi baik atau buruk dari jenis indikator satu ini?
Ternyata, investor cenderung menjadikan inflasi sebagai momok yang harus dikalahkan. Sebab, jika kenaikan harga barang dan jasa lebih tinggi dari imbal hasil investasi mereka, maka cuan yang mereka dapatkan pun akan sia-sia.
Makanya, ketika inflasi meradang, investor hanya punya dua pilihan: Mencari aset untuk melindungi nilai kekayaannya dari gerusan inflasi atau mencari aset yang pertumbuhan return-nya lebih tinggi dari inflasi.
Untuk pilihan pertama, investor biasanya memilih aset pelindung nilai (safe haven) seperti emas. Ini lantaran sifat emas yang mengandung logam mulia. Ia tidak bisa berkarat, sehingga kadar kemuliaan emas akan bertahan bahkan 100 hingga 500 tahun lagi.
Dengan kata lain, kamu “mengabadikan” nilai uangmu saat ini secara jangka panjang dengan berinvestasi emas.
Sementara untuk pilihan kedua, investor biasanya memfokuskan diri dalam mengais-ngais instrumen ekuitas yang punya imbal hasil lebih besar dari inflasi.
Di dalam pasar saham, investor biasanya memantau ketat dan memilah saham berkategori growth stocks dan value stocks. Sebab, kinerja saham-saham ini mungkin bisa memberi investor petunjuk cara mendulang cuan berikutnya.
Penasaran apa itu growth stocks dan value stocks? Yuk, cek di artikel ini.
Baca juga: Tahun 2020, Tenaga Kerja dan Gaji Karyawan Startup Diprediksi Melonjak
Jika inflasi sedang tinggi, hingga menimbulkan kecemasan investor akan susutnya nilai harta mereka, otoritas moneter pun tidak akan tinggal diam. Bank sentral seperti BI di Indonesia atau Federal Reserve di Amerika Serikat akan berupaya menekan jumlah uang beredar.
Caranya dengan menaikkan suku bunga acuan yang membuat imbal hasil perbankan dan surat utang jadi menarik. Dengan begitu, investor cenderung akan beralih investasi ke produk perbankan atau membeli surat utang.
Sebaliknya, jika inflasi terlalu rendah bersamaan dengan kurang bergairahnya perekonomian, bunga acuan akan dipangkas. Tujuannya, agar masyarakat tidak menahan konsumsi dan membuat uang beredar semakin langka.
Sayangnya, pemangkasan suku bunga acuan tentu berlaku juga untuk surat utang, deposito dan instrumen investasi lainnya. Akibatnya, kinerja portofolio investasimu pun akan ikut melambat sejalan dengan inflasi dan laju perekonomian.
Penyerapan tenaga kerja selalu menjadi perhatian utama pemerintah di seluruh dunia sebab sangat erat kaitannya dengan perekonomian nasional. Sebaliknya, perekonomian yang bergairah akan menciptakan lapangan kerja yang dpaat menyerap pengangguran.
Apa yang membuat penyerapan tenaga kerja sangat penting bagi Sobat Cuan? Jawabannya adalah data ini mencerminkan kinerja perekonomian suatu negara. Data ini juga memberitahu kamu industri mana yang sedang bergairah. Dengan begitu, kamu jadi bisa menentukan di aset mana kamu akan berinvestasi.
Sebagai contoh, Badan Pusat Statistik mencatat hinga Februari 2021 terdapat 205,36 juta angkatan kerja di Indonesia.
Dari jumlah itu 19,10 juta diantaranya terdampak pandemi COVID-19, baik karena menurunnya pemasukan, kehilangan pekerjaan maupun PHK sepihak. Jumlah ini sudah menurun ketimbang Agustus 2020 yang menccapi 29,12 juta jiwa.
Meski situasi ketenagakerjaan tanah air gonjang-ganjing, nyatanya masih terdapat beberapa sektor yang masih menyerap tenaga kerja. Misalnya, sektor pertanian, sektor perdagangan, industri pengolahan, dan akomodasi. Sehingga, Sobat Cuan mungkin bisa melirik untuk berinvestasi di saham tiga sektor tersebut saat pandemi kemarin.
Selain pengangguran, data Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga penting untuk disimak. BPS menyebutkan hingga Februari 2021, TPAK mencapai 68,8%. Dari jumlah itu 59,62% bekerja di sektor informal.
Sebanyak 84,14 juta masyarakat Indonesia bekerja penuh waktu 35 jam perminggu. Sisanya, yakni 46, 92 juta pekerja menjadi pekerja paruh waktu. Namun, rata-rata upah buruh di Indonesia masih terbilang rendah, yakni Rp 2.76 juta.
Baca juga: Dolar AS Melemah, Apa Dampaknya Terhadap Perekonomian Asia?
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 index futures, serta aset kripto Bitcoin dan Ethereum! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Sumber: BPS, Tickertape
Bagikan artikel ini