Terminologi Ethereum Killer sempat populer beberapa waktu lalu di jagat kripto. Namun, apa sih pengertian Ethereum Killer sesungguhnya? Simak di sini!
Dalam jagat kripto, Ethereum Killer adalah jaringan blockchain yang diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah utama yang dihadapi Ethereum, yakni pionir jaringan blockchain berbasis smart contract. Karena keandalan jaringan-jaringan ini dianggap bisa mengalahkan dominasi Ethereum sebagai platform berbasis smart contract, tak heran jika rentetan blockchain tersebut dikenal dengan nama pembunuh Ethereum (Ethereum Killer).
Istilah ini sendiri muncul pada 2016 dan 2017 silam, ketika jaringan blockchain alternatif Ethereum seperti Cardano dirilis ke publik. Lambat laun, jaringan blockchain smart contract yang dianggap bisa menjadi substitusi Ethereum pun bermunculan bak jamur, misalnya Tezos, Solana, Fantom, Polkadot, hingga Avalanche.
Jika melihat angka kapitalisasi pasarnya, Binance Coin (BNB), ADA, SOL, dan DOT menjadi Ethereum Killer utama di pasar kripto saat ini. Bahkan, kini fans kripto pun umum melabeli aset-aset kripto yang berasal dari blockchain smart contract dan mampu menjadi kediaman aplikasi terdesentralisasi (decentralized application) sebagai Ethereum Killer.
Namun pertanyaannya, apa sebenarnya masalah yang dihadapi Ethereum sehingga bisa muncul jaringan-jaringan alternatifnya?
Semua fans kripto paham bahwa Ethereum (ETH) selama ini didapuk sebagai aset kripto terpopuler kedua sejagat setelah Bitcoin (BTC). Namun, di balik pamornya yang mumpuni, jaringan Ethereum ternyata punya segudang masalah yang sulit untuk diurai.
Pertama, karena merupakan jaringan smart contract populer, Ethereum selalu dihadapkan pada masalah padatnya transaksi. Dengan kata lain, seluruh transaksi yang terjadi di dalamnya tidak bisa difinalisasi secara kilat. Satu transaksi dengan transaksi lainnya harus mengantre panjang untuk "disahkan" sebagai transaksi valid di jaringan tersebut.
Hal ini pun mengakibatkan biaya transaksi (gas fees) di jaringan Ethereum pun terus meningkat. Nah, kondisi ini menjadi salah satu perkara Ethereum yang ingin dikapitalisasi oleh jaringan-jaringan lain. Di mana, jaringan-jaringan tersebut menawarkan fitur dan fungsi yang sama dengan Ethereum, namun dengan waktu pemrosesan transaksi yang lebih cepat dengan biaya yang murah.
Kedua, algoritma konsensus di jaringan Ethereum dulunya masih berbasis Proof-of-Work (PoW) yang dianggap mengonsumsi daya listrik cukup besar. Artinya, pengguna Ethereum harus membayar tagihan listrik cukup besar dan meninggalkan jejak karbon yang tinggi hanya demi memanfaatkan jaringan tersebut.
Akhinya, jaringan-jaringan alternatif ini pun muncul dengan menawarkan algoritma konsensus lain, seperti Proof-of-Stake, Delegated Proof of Stake (DPoS) dan Proof of Authority (PoA), yang dianggap lebih hemat daya listrik. Meski demikian, Ethereum akhirnya beralih menggunakan algoritma konsensus Proof of Stake melalui pembaruan The Merge yang berlangsung September 2022.
Menurut pendiri Ethereum Vitalik Buterin, banyaknya perkara yang mengungkung Ethereum ini disebabkan oleh kondisi yang disebut trilema blockchain. Konsep ini menjelaskan bahwa sebuah jaringan tidak dapat mengoptimalisasi tiga aspek, yakni aspek desentralisasi, aspek keamanan, dan aspek skalabilitas, secara bersamaan.
Alasannya, ketiga aspek tersebut merupakan persoalan yang saling tumpang tindih. Maksudnya, jika suatu jaringan mementingkan skalabilitas, maka unsur keamanan dan desentralisasi pastinya akan terganggu. Begitu pun sebaliknya.
Salah satu contohnya adalah penggunaan algoritma konsensus PoW di jaringan Ethereum. Meski unggul dari sisi keamanan, pemanfaatan algoritma konsensus tersebut dianggap kurang mendukung skalabilitas transaksi. Apalagi, permasalahan skalabilitas transaksi di Ethereum kian menjadi-jadi seiring banyaknya pengembang yang membangun aplikasi terdesentralisasi di jaringan tersebut.
Trilema ini kemudian menjadi pekerjaan rumah yang sulit dipecahkan pengembang Ethereum sehingga menjadi celah bagi developer aset kripto lain untuk mengembangkan blockhain yang lebih futuristik dan ramah lingkungan. Aset-aset tersebut konon menjual peluang yang lebih besar dan menjanjikan hingga pertumbuhannya demikian pesat.
Sebetulnya, Ethereum sendiri telah melakukan sejumlah upgrade untuk menangani isu-isu tersebut. Kendati begitu, para trader tetap melihat celah yang ditawarkan oleh sederet aset kripto bertitel Ethereum Killer masih menjanjikan bagi masa depan keuangan terdesentralisasi (DeFi). Akhirnya, beberapa jaringan alternatif Ethereum itu pun masih menyandang status Ethereum Killer hingga saat ini.
Supaya sobat cuan tidak semakin penasaran, yuk kita ulas beberapa aset kripto yang digadang sebagai Ethereum Killer beserta solusi alternatif yang dibawa!
Saat ini Solana masih menyandang predikat sebagai blockchain dengan jaringan tercepat. Tak hanya itu, dari segi inovasi dan keamanan pun Solana masih unggul ketimbang Ethereum. Solana dapat memproses 2000 transaksi per detik berkat protokolnya yang efisien yakni Proof of History (PoH).
Keunggulan lainnya ialah biaya transaksi yang jauh lebih murah, yakni sekitar US$0,00025 per transaksi. Tentu jauh lebih terjangkau ketimbang Ethereum yang mencapai US$6,43 per transaksi. Berkat sederet keunggulan tersebut, Solana berjaya di kalangan gamers dan kolektor NFT.
Cardano (ADA) didirikan oleh salah satu pendiri Ethereum sendiri, yakni Charles Hoskinson. Blockchain Cardano bersifat terbuka bagi publik dengan konsensus tersendiri yang dinamai konsensus Auroboros.
Sebagaimana Ethereum, blockchain Cardano juga dapat mengoperasikan smart contract dan aplikasi terdesentralisasi dengan biaya yang lebih murah serta efisien. Tak heran, ADA jadi salah satu aset digital yang paling dibicarakan pada tahun 2021 lalu, tahun dimana blockchain ini mulai beroperasi penuh laiknya Ethereum.
Polkadot memiliki pola operasi yang terbilang unik, yakni mampu menghubungkan satu blockchain dengan blockchain lainnya sehingga mempermudah komunikasi antar blockchain.
Protokol yang digunakan oleh Polkadot juga lebih simpel, yakni Proof-of-Stake, sehingga tidak terdapat fork sebagaimana pada Ethereum. Implikasinya, pengoperasian yang lebih sederhana memungkinkan skalabilitas yang lebih besar. Polkadot dapat memproses 1.000 transaksi per detik.
Tentunya masih banyak aset kripto lain yang menyandang gelar sebagai Ethereum killer dengan keunggulannya masing-masing. Kendati begitu, sederet aset dengan inovasi mutakhir nan efisien itu tetap saja tak mampu mengalahkan Ethereum yang bercokol di posisinya sebagai runner up.
Pasalnya, Ethereum memang unggul sebagai pendahulu para koin dan blockchain digital. Apalagi banyak token yang beroperasi pada jaringan ini.
Lagipula, Ethereum sendiri tak tinggal diam menyelesaikan isu-isu dalam blockchain-nya. Berulang kali, Ethereum memasang pembaruan jaringan yang memungkinkan transaksi lebih cepat dengan biaya lebih efisien.
Alih-alih tergeser, saat ini pegiat kripto malah optimistis Ethereum dapat menggeser kedudukan Bitcoin sebagai rajanya aset kripto, melalui sebuah peristiwa yang digadang akan disebut sebagai The Flippening.
Meski demikian, prospek masa depan koin-koin Ethereum Killer ini tetap menarik lho, Sobat Cuan! Untuk mempelajarinya lebih jauh, kamu bisa menyimak beberapa koin pembunuh Ethereum di seri Pluang Academy Crypto Menengah di tautan berikut.
Di samping itu, kamu juga bisa trading dan berinvestasi koin-koin pembunuh Ethereum di aplikasi Pluang. Apalagi, kamu bisa mengoleksi ratusan aset kripto mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja di aplikasi Pluang!
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi Saham AS, indeks saham AS, emas, ratusan aset kripto dan puluhan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Sumber: Realvision, deCrypt
Bagikan artikel ini