Selamat berakhir pekan, Sobat Cuan! Kondisi market kembali memasuki periode penuh gejolak pekan ini akibat rentetan kabar kurang sedap. Apa saja kabar tersebut? Simak di sini!
Investor kripto kembali tak bisa tidur nyenyak selama sepekan belakangan. Setelah harganya mencuat dan bikin investor ngarep, jajaran aset kripto utama pasrah melorot di zona merah di akhir pekan ini.
Tak bisa dipungkiri jika volatilitas pasar kripto cukup kuat di pekan ini.
Di satu sisi, selera risiko pelaku pasar sedang redup karena prospek makroekonomi yang tidak pasti. Apalagi, indeks saham AS, yang selama ini menjadi tolok ukur pelaku pasar untuk melihat selera risiko secara umum, juga sedang tak bergairah.
Tekanan di pasar kripto semakin berat setelah nilai Dolar AS semakin kuat di pekan ini. Hal ini dapat dimaklumi karena pelaku pasar tentu akan merasa lebih cuan ketika menggenggam Dolar AS saat harganya naik ketimbang berkutat di pasar berisiko seperti aset kripto.
Menjelang akhir pekan, optimisme pelaku pasar semakin goyah menyusul barisan kabar buruk dari jagat kripto. Misalnya adalah kabar dari platform pinjam meminjam kripto Celsius yang akhirnya mengajukan kebangkrutan ke pengadilan niaga New York dan niatan platform Non-Fungible Token (NFT) paling hits, OpenSea, untuk memangkas 20% dari jumlah karyawannya.
Kendati demikian, bisa dibilang kondisi pasar kripto saat ini lebih sehat dibanding sebelum-sebelumnya. Sebab, pelaku pasar terpantau sangat reaktif terhadap kabar-kabar positif yang menyangkut jaringan blockchain.
Pada pekan ini, pelaku pasar disuguhi kabar mengenai aksi Binance yang membakar (coin burning) 1,9 juta keping Binance Coin (BNB). Di samping itu, Celsius juga mengumumkan telah melunasi utangnya ke dua platform keuangan terdesentralisasi, Compound dan Aave, meski harus berujung kebangkrutan.
Tak ketinggalan, terdapat pula kabar mengenai isi draf RUU stablecoin, perpajakan, dan regulasi kripto AS yang ternyata sangat menekankan aspek perlindungan konsumen sembari mendukung inovasi di ranah blockchain. Adapun draf setebal 68 halaman tersebut bertebaran di media sosial Twitter sepanjang pekan ini.
Nah, rentetan kabar positif yang datang bersamaan itu sukses meningkatkan optimisme pelaku pasar. Bahkan, mereka pun tampak mengabaikan pengumuman inflasi AS Juni sebesar 9,1%. Padahal, jika merunut pada data historisnya, data inflasi selalu memukul kinerja pasar kripto.
Dari sisi teknikal, BTC saat ini memiliki support terdekat di level US$20.000 dengan target kenaikan terdekat ke US$21.300 hingga US$22.500. Namun, pergerakan ini sebenarnya masih dalam rentang sideways saja dan belum bisa dikatakan masuk ke fase bullish.
Pluang juga beranggapan, dinamika pasar kripto pekan ini menjadi pertanda bahwa altcoin season sudah semakin panas. Hal ini tercermin dari pergerakan BTC yang mulai tidak selaras dengan koin lainnya.
Investor saham AS kembali dihantui mimpi buruk sepanjang pekan ini. Lihat saja, nilai indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,2%, sementara nilai S&P 500 dan Nasdaq malah terjungkal lebih dalam masing-masing 0,9% dan 1,6% .
Sepanjang lima hari terakhir, investor dihantui kecemasan akan potensi kenaikan suku bunga acuan yang meroket tajam. Lantas, dari mana pangkal kecemasan tersebut?
Sobat Cuan mungkin sudah paham bahwa AS mengumumkan tingkat inflasi tahunan 9,1% pada Juni, lebih tinggi dari konsensus analis 8,8%.
Sejatinya, pelaku pasar melakukan priced in kabar tersebut dengan cepat karena mereka memang sudah menganggap bahwa inflasi memang belum bisa melandai sesegera mungkin. Namun, mereka justru lebih takut terhadap respons The Fed dalam menanggapi tingkat inflasi tersebut.
Akibatnya, muncul spekulasi liar di pasar bahwa The Fed kemungkinan akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 100 basis poin pada bulan ini. Nah, ramalan-ramalan itulah yang mendorong pelaku pasar melakukan aksi jual besar-besaran di bursa saham.
Hanya saja, pejabat The Fed kemudian silih berganti menepis spekulasi tersebut.
Presiden The Fed Atlanta Raphael Bostic dan Presiden The Fed St. Louis James Bullard mengatakan, mereka tidak setuju jika The Fed menaikkan suku bunga acuan hingga 1 persen poin di pertemuan FOMC bulan ini. Komentar tersebut akhirnya bikin pelaku pasar lega menjelang akhir pekan.
Selain perkara makroekonomi, kinerja bapuk saham-saham emiten keuangan AS juga menekan laju trio indeks Wall Street. Ini terjadi setelah mereka melaporkan rentetan kinerja keuangan yang memble di kuartal II. Sebut saja JP Morgan Chase & Co (JPM) yang membukukan laba bersih di bawah ekspektasi karena kondisi makroekonomi yang sedang ngablu.
Ternyata, kondisi makroekonomi yang mendung tak hanya menghantam kinerja keuangan mereka. Pasalnya, JPM bersama bank lainnya, Citigroup, juga mengumumkan akan mengentikan sementara aktivitas buyback saham karena prospek makroekonomi yang serba tidak pasti.
Pluang beranggapan, pelaku pasar nantinya mungkin bakal jenuh melakukan aksi jual karena sudah terbiasa tertimpa kabar negatif yang bertubi-tubi. Sehingga, mereka nantinya bakal bereaksi biasa saja dan melakukan priced in dengan cepat jika aroma tidak sedap kembali menyeruak di pasar.
Baca Juga: Pluang Insight: Mengenal Volatilitas, Apakah Selalu Jadi Musibah bagi Investor?
Sementara itu, kilau harga emas semakin memudar di pekan ini. Di akhir pekan, harganya bertengger di US$1.708 per ons alias terjun 1,95% dari US$1.742 per ons sepekan sebelumnya.
Dengan kata lain, harga emas semakin kritis lantaran hampir menyentuh level psikologisnya US$1.700 per ons.
Nilai sang logam mulia luntur akibat derasnya aksi jual pelaku pasar setelah nilai Dolar AS semakin perkasa. Bahkan, nilai indeks Dolar AS sempat menyentuh level tertingginya dalam 20 tahun terakhir di pekan ini!
Ya, nilai sang aset greenback terus mencuat setelah AS mencatat tingkat inflasi tertingginya dalam 41 tahun terakhir. Pelaku pasar terpantau semakin rajin mengoleksi emas karena meyakini The Fed akan merespons inflasi tersebut dengan mengerek suku bunga acuannya secara lebih agresif.
Sayangnya, kondisi tersebut menjadi buah simalakama bagi harga emas. Pasalnya, kenaikan nilai Dolar AS akan membuat harga emas menjadi relatif lebih mahal bagi pelaku pasar yang jarang bertransaksi menggunakan mata uang tersebut. Alhasil, pelaku pasar pun menurunkan permintaannya terhadap emas.
Kendati demikian, terdapat pula pelaku pasar lainnya yang justru malah mengakumulasi sang logam mulia lantaran khawatir akan resesi ekonomi.
Mereka beranggapan, kenaikan suku bunga acuan The Fed akan menyumbat aktivitas konsumsi dan investasi dan ujungnya bakal mengerem pertumbuhan ekonomi. Nah, dalam kondisi tersebut, tentu mengoleksi emas adalah langkah jitu untuk melindungi nilai kekayaannya dari situasi makroekonomi yang serba tidak pasti.
Baca Juga: Kabar Sepekan: Harga BBM Makin Ganas, Ekonomi Global Semakin Lemas!
Investor saham domestik harus gigit jari memasuki akhir pekan. Betapa tidak, sebab nilai IHSG mendarat di 6.651,91 poin di penutupan Jumat (15/7) alias turun 1,31% dalam sepekan terakhir.
Sama seperti pekan lalu, derasnya aksi jual investor asing kembali jadi biang kerok lesunya kinerja indeks domestik. Bursa Efek Indonesia mencatat, investor asing mencetak nilai jual bersih (net foreign sell) sebesar Rp1,7 triliun sepanjang pekan ini.
Kali ini, aksi jual asing menyasar saham-saham perbankan big cap seperti PT Bank Rakyat Indonesia (Tbk), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). Nah, karena nilai kapitalisasi pasar mereka terbilang jumbo, tak heran jika kemudian aksi jual tersebut menyakiti pergerakan indeks saham domestik.
Usut punya usut, aksi jual asing tersebut terjadi setelah nilai Dolar AS kian perkasa setelah tingkat inflasi AS menyentuh puncak tertingginya dalam 41 tahun terakhir.
Namun, aksi tersebut sejatinya lumrah saja, Sobat Cuan. Sebab, menggenggam Dolar AS saat ini lebih menarik ketimbang menggenggam instrumen aset apapun yang dihitung dengan satuan Rupiah.
Lebih lanjut, pelaku pasar ternyata tak cuma mencemaskan inflasi yang terjadi di AS saja. Pada pekan ini, mereka juga meningkatkan kewaspadaan mereka terhadap inflasi domestik yang berpotensi kian ngadi-ngadi.
Kecemasan mereka berhulu dari data penjualan ritel Indonesia yang tumbuh 2,9% secara tahunan di Mei alias melambat dari 8,5% sebulan sebelumnya. Ini mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat sudah mulai terpukul, menimbulkan spekulasi pasar bahwa Indonesia sebentar lagi akan memasuki rezim inflasi tinggi.
Kendati diterpa kabar negatif yang bejibun, pasar domestik masih mendapat embusan angin segar dari data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang mengumumkan penjualan mobil di Indonesia pada Juni tumbuh 60,1% dibanding sebulan sebelumnya.
Data tersebut memberi sinyal bahwa daya beli masyarakat Indonesia sebenarnya tidak jelek-jelek amat. Sehingga, Bank Indonesia (BI) bakal lebih leluasa untuk mengerek suku bunga acuannya sebelum inflasi menjadi duri dalam daging bagi ekonomi domestik.
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 dan Nasdaq index futures, Saham AS CFD, serta lebih dari 90 aset kripto dan belasan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Selain itu, kamu sekarang bisa berdiskusi bersama komunitas di Pluang untuk mendapatkan kabar, insight, dan fakta menarik seputar investasi dari sudut pandang antar member pada Fitur Chatroom Pluang.
Tempat diskusi tanpa worry? Fitur Chatroom solusinya! Klik di sini untuk mendapatkan early access.
Bagikan artikel ini