The Flippening adalah sebuah konsep di mana ETH pada akhirnya akan berhasil mengungguli BTC. Namun, dari mana asal-usul konsep tersebut? Simak di sini!
The Flippening adalah sebuah konsep hipotetis yang merujuk pada situasi di mana kapitalisasi pasar Ethereum (ETH), yang saat ini menduduki kursi nomor dua kripto terpopuler sejagat, bakal mengalahkan dominasi Bitcoin (BTC) di kancah kripto.
Ini merupakan konsep ambisius yang semakin populer di tengah makin eksisnya blockchain Ethereum di kalangan pegiat cryptocurrency. Para loyalis ETH meyakini kelak aset kripto jagoannya tersebut bakal mampu menyalip dominasi BTC. Namun, mereka pun sampai saat ini masih belum tahu kapan tepatnya peristiwa itu akan terjadi.
Hanya saja pertanyaannya, mengapa konsep ini bisa muncul di kalangan fans aset kripto? Selain itu, apa peristiwa pencetusnya?
Bitcoin (BTC) telah merajai dunia kripto sejak kemunculannya pertama kali pada Januari 2009. Satoshi Nakamoto, sang pencetus whitepaper BTC berhasil membuat konsep uang digital diterima oleh masyarakat sebagai alat tukar baru yang kekinian.
Namun, dunia cryptocurrency terus berevolusi menghadirkan terobosan demi terobosan. Salah satunya adalah Ethereum yang lahir enam tahun setelah kemunculan BTC.
Rupanya, Ethereum pun menjelma menjadi pionir dari segudang terobosan blockchain yang tidak dapat dikesampingkan, seperti penciptaan aplikasi terdesentralisasi. Hal ini pun tak terlepas dari kehadiran teknologi smart contract yang berada di tubuh Ethereum.
Lambat laun, popularitas Ethereum pun kian menanjak sebagai jaringan blockchain multifungsi. Anggapan ini kian menguat setelah komunitas kripto pun menganggap jaringan Bitcoin sebagai jaringan usang dan tidak memiliki kecanggihan seperti Ethereum.
Alhasil, para pegiat kripto berspekulasi bahwasannya kelak di satu titik, ETH bakal mampu menumbangkan rezim BTC lantaran lebih banyak kegunaan dan inovasinya.
Tidak berhenti di sana, para spekulan Flippening bahkan membuat berbagai situs seperti Blockchain Center dan Flippening Watch demi memantau persaingan dua jagoan aset kripto ini.
Konsep The Flippening rupanya kian dianggap serius oleh komunitas kripto pada Juni 2017. Sebab, kala itu, nilai kapitalisasi pasar ETH tiba-tiba sempat mencuat ke 25,32% dari total seluruh kapitalisasi pasar aset kripto.
Hal ini pun tak lepas dari perkembangan yang dilakukan Ethereum. Pada tahun itu, Ethereum baru saja meluncurkan fitur yang memungkinkan penciptaan token-token baru dengan berbasis algoritma konsensus Proof of Work (PoW).
Meski kini protokol tersebut dianggap ketinggalan zaman dan kurang efisien, terobosan Ethereum bikin dunia cryptocurrency makin semarak dengan lahirnya token-token yang jadi cikal bakal cryptocurrency baru.
Tentunya Bitcoin tidak tinggal diam. Sebagai pelopor aset kripto, Bitcoin pun melakukan berbagai upgrade seperti Bitcoin Taproot dan Bitcoin Halving, yakni upaya menekan biaya transaksi (gas fees) dan waktu transaksi, serta memotong reward dari aktivitas menambang bitcoin.
Langkah-langkah tersebut sukses membuat animo para hodler kembali membara untuk menyokong kapitalisasi market BTC. Dilansir dari Coin Market Cap per Kamis (11/5), kapitalisasi pasar BTC berada di US$534,53 miliar sementara sang runner up tertinggal jauh di angka US$224 miliar.
Ternyata, kapitalisasi pasar bukan satu-satunya kunci penentu jawara dalam dunia kripto. Sejumlah metrik kunci lainnya seperti total transaksi, volume transaksi, biaya transaksi hingga pencarian di mesin pencari Google pun turut jadi pertimbangan.
Total transaksi yang dimaksud disini ialah transaksi on-chain yang terjadi pada masing-masing blockchain. Ethereum telah resmi memenangkan metrik ini dengan total transaksinya yang jauh melampaui Bitcoin.
Tahun 2022, data statistik dari metrik-metrik kunci transaksi Bitcoin dan Ethereum menunjukkan fakta yang menarik, yakni total transaksi ETH mencapai 408,5 juta, alias lebih tinggi 338% ketimbang BTC yang 'hanya' 93,1 juta kali ditransaksikan sepanjang tahun tersebut.
Hingga saat ini, rata-rata transaksi harian ETH mencapai 1,1 juta transaksi, mengungguli petahana yang hanya mencetak rata-rata 255.000 kali transaksi per hari.
Volume transaksi merepresentasikan nilai transaksi aset kripto dalam satuan dolar AS pada masing-masing blockchain. Metrik ini masih dimenangkan oleh BTC dengan volume transaksi harian berkisar US$20, 7 miliar per hari, separuh dari volume transaksi harian ETH yakni US$10 miliar per hari.
Akan tetapi, metrik ini hanya menghitung transaksi dalam mata uang kripto saja. Jika ditotal dengan transaksi token dan stablecoin yang beroperasi pada jaringan blockchain Ethereum, maka volume transaksi harian yang terjadi pada masing-masing blockchain tetap dimenangkan oleh Ethereum.
Fee transaksi terkait dengan skalabilitas jaringan Blockchain. Kendati Ethereum terkenal dengan skalabilitasnya yang rendah ketimbang Ethereum Killer lainnya, yakni sekitar 15 transaksi per detik, fee transaksi Ethereum rata-rata hanya berkisar US$62 hingga US$44 per transaksi.
Biaya ini jauh lebih murah ketimbang biaya transaksi pada jaringan blockchain Bitcoin yang mencapai kisaran US$1.500 hingga US$5.100 per transaksinya.
Meski unggul di banyak metrik lainnya, rupanya popularitas Ethereum masih kalah total dengan Bitcoin yang telah melegenda. Hal ini terbukti dari total pencarian google yang dimenangkan secara telak oleh Bitcoin dengan total pencarian rata-rata sebanyak 28,4 juta per bulan.
Ethereum hanya mencetak rata-rata 3,8 juta kali pencarian tiap bulannya. Bahkan, tahun lalu peringkat ETH jauh di bawah koin meme seperti Dogecoin dan Shiba Inu yang tengah naik daun.
Duduk pada peringkat runner up selama bertahun-tahun membuat beberapa kalangan pecinta aset kripto optimistis momen Flippening bakal terjadi.
Para spekulan Flippening punya alasan yang cukup paten dibalik optimisme mereka. Selain didorong oleh unggulnya Ethereum di sejumlah metrik kunci, Ethereum memiliki utilitas utilitas dan proyek yang memang jauh lebih futuristik dibanding Bitcoin.
Namun, pandangan objektif mengenai persaingan sengit dua jawara kripto ini menyebut flippening bukanlah momentum yang perlu kamu nantikan. Sebab, kedua aset kripto ini sejatinya punya ceruk pasarnya tersendiri.
Para investor cenderung menimbun Bitcoin yang dianggap sebagai emas zaman baru.
Bitcoin hanya tersedia sebanyak 21 juta keping di dunia. Saat ini, jumlah yang sudah berhasil ditambang telah melampaui 18 juta, yang artinya beberapa tahun mendatang Bitcoin bakal jadi artefak langka yang tidak dapat diproduksi kembali.
Jumlahnya yang terbatas membuat Bitcoin secara alamiah punya kemampuan membendung inflasi nilai intrinsiknya. Karenanya aset digital yang satu ini lebih digandrungi oleh para hodler berduit dingin.
Baca juga: Mengenal Ekosistem Ethereum
Di sisi lain, Ethereum menjadi rumah bagi sejumlah token dan koin meme hasil inovasi jaringan blockchain. Berkat Ethereum, transaksi DeFi semakin berwarna dengan probalititas pemanfaatan yang tak terbatas. Inovasi yang ditawarkan oleh Ethereum membuat komunitas pecinta ETH memiliki segudang opsi mengembangkan potensi jaringan blockchain.
Selain itu, blockchain Ethereum juga menjadi rahim bagi sejumlah koin dan token baru yang kelas bakal jadi mata uang kripto yang bisa mengoperasikan jaringan blockchainnya sendiri.
Utilitasnya yang luas dan inovatif menjadi keunggulan Ethereum yang tidak terbantahkan. Tak heran ETH memenangkan sejumlah metrik kunci dari persaingan flippening. Tentunya, ini juga menjadi bukti bahwa ETH menempati tempat tersendiri di kalangan pecinta kripto, meski kapitalisasi marketnya bahkan tidak sampai separuh kapitalisasi market BTC saat ini.
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi Saham AS, indeks saham AS, emas, ratusan aset kripto dan puluhan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Sumber: Fool, Coin Market Cap, Bybit
Bagikan artikel ini