Pelaku pasar kembali harus memasang raut kecut memasuki akhir pekan. Betapa tidak, seluruh kelas aset terpantau memble sepanjang pekan ini. Lantas, apa yang membuat cuaca market mendung? Simak selengkapnya di Pasar Sepekan berikut!
Investor kripto kembali gagal memanfaatkan cuannya untuk menikmati akhir pekan. Sebab, aset kripto harus kembali terjebak di zona merah selama sepekan terakhir. Apalagi, pelemahan aset kripto pekan ini pun terlihat tidak kaleng-kaleng.
Seperti Sobat Cuan ketahui, pelemahan aset kripto kali ini disebabkan oleh sikap pelaku pasar yang masih belum pede berkubang di pasar kripto. Hal itu disebabkan oleh prospek makroekonomi yang masih amburadul.
Akhir pekan lalu, AS mengumumkan inflasi tahunan Mei sebesar 8,6% atau level tertingginya dalam 40 tahun terakhir. Kemudian, di pertengahan pekan ini, bank sentral AS The Fed mengumumkan kenaikan suku bunga acuannya 75 basis poin, kenaikan tertinggi sejak 1994 silam.
Rentetan peristiwa makroekonomi ini pun membuat pelaku pasar mencari suaka di aset-aset yang lebih minim risiko. Maklum, aset berisiko selama ini memang dikenal sebagai musuh bebuyutan dari kenaikan suku bunga acuan.
Secara natural, kondisi makroekonomi sebenarnya tak berkorelasi langsung dengan kinerja aset kripto. Bahkan, melihat contoh kasus di masa lalu, tingginya inflasi sebenarnya berdampak baik bagi permintaan dan laju harga Bitcoin (BTC) mengingat statusnya sebagai aset kripto penyimpan kekayaan (store of value).
Namun, saat ini kondisinya cukup berbeda. Pasar kripto dijejali oleh investor institusi yang gerak-geriknya sangat dipengaruhi oleh dinamika makroekonomi.
Di samping itu, pelaku pasar pun diselimuti kepanikan setelah beberapa perusahaan kripto mulai menunjukkan tanda-tanda senjakala.
Awal pekan ini, salah satu raksasa platform exchange Coinbase mengumumkan akan memangkas 18% karyawannya. Kemudian, terdapat pula kabar yang menyebut bahwa platform pinjam-meminjam kripto Celsius di ambang kebangkrutan karena menghentikan proses withdrawals BTC akibat "kondisi pasar yang ekstrem".
Bencana lainnya datang dari Three Arrow Capitals (3AC). Perusahaan modal ventura tersebut juga diisukan mengalami kebangkrutan setelah dikabarkan melikuidasi asetnya US$400 juta setelah harga ETH ambrol.
Nah, kabar-kabar dari pemain besar kripto tersebut pun mempengaruhi likuiditas di pasar kripto. Sebagai efek bola salju, pelaku pasar dilanda kepanikan. Aksi jual pun kemudian tak dapat dibendung.
Sementara itu, dari sisi teknikal, pelaku pasar juga dihebohkan dengan teka-teki titik bottom aset kripto yang sesungguhnya. Ya, beberapa analis menduga, pelaku pasar ogah mengakumulasi aset kripto karena yakin bahwa titik saat ini bukanlah titik bottom yang sebenarnya.
Analis beranggapan, sikap pelaku pasar tersebut mungkin mengacu pada Bitcoin Crash pada 2013 lalu. Kala itu, harga BTC terjun bebas 80% dari titik tertingginya sebelum akhirnya beranjak lagi menuju titik tertinggi terbarunya.
Kali ini, harga BTC berada di kisaran US$20.000 atau sekitar 70% lebih rendah dari level tertingginya US$68.000 di akhir tahun lalu. Oleh karenanya, tak heran jika pelaku pasar kemudian bespekulasi bahwa harga BTC kali ini juga bisa terjun hingga 80% seperti 2013 silam.
Pluang beranggapan, trader maupun investor saat ini sebaiknya bersikap wait and see terlebih dulu. Sebab, ketidakpastian pasar saat ini kemungkinan akan terus berlanjut.
Pluang juga melihat terdapat downside risk pada BTC sampai ke level US$18.500 atau sekitar 9% dari level sekarang untuk sementara waktu. Namun, dengan berkembangnya rantai masalah yang ada, tidak menutup kemungkinan BTC melakukan retest di level US$13.700 untuk jangka panjang.
Baca juga: Pluang Insight: Katanya Dunia di Ambang Resesi. Apa Sih Arti Resesi Ekonomi?
Sudah jatuh tertimpa tangga. Ya, seperti itulah nasib trio indeks saham AS sepanjang pekan ini.
Seolah-olah tak cukup mendera pelemahan tajam di pekan lalu, kini nilai indeks S&P 500 harus ambles 4,78%, diikuti oleh indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) dan Nasdaq yang masing-masing longsor 4,82% dan 5,79%. Bahkan, indeks S&P 500 kembali menyentuh titik terendahnya sejak Desember 2020.
Pekan ini, pelaku pasar memang menghindari pasar modal karena takut ekonomi AS akan menuju jurang resesi yang dalam. Musababnya, apalagi kalau bukan langkah The Fed yang mengerek suku bunga acuan sebesar 75 basis poin Rabu (15/6) kemarin.
Memang, Ketua The Fed Herome Powell sebelumnya menenangkan pelaku pasar dengan mengatakan bahwa otoritas moneter AS itu akan mengerek suku bunga di kisaran 50 hingga 75 basis poin bulan depan.
Hanya saja, pelaku pasar yakin sikap agresif The Fed akan berlanjut dalam jangka menengah karena inflasi AS sepertinya sangat sukar untuk diredam.
Jika The Fed benar-benar bersikap super hawkish, maka bunga kredit pun akan meningkat pesat. Sayangnya, hal tersebut akan menghambat pertumbuhan konsumsi dan investasi, dua motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi. Imbasnya, ekonomi AS tak bisa mengelak dari resesi.
Selain itu, pelaku pasar pun mengkhawatirkan seretnya likuiditas di pasar modal gara-gara bank sentral seantero dunia juga ikut mengecangkan ikat pinggangnya, contohnya adalah Bank Nasional Swiss.
Pluang beranggapan bahwa pelemahan trio indeks AS hanyalah bersifat sementara. Sebab, pelaku pasar bakal tetap optimistis akan upaya The Fed dalam mengekang inflasi meski kenaikan suku bunga acuan membawa perkara ke pasar modal. Sekadar informasi, The Fed berniat mengembalikan inflasi ke level 2% di akhir tahun ini.
Di samping itu, pergerakan pasar modal yang tidak terlalu fluktuatif sejatinya menandakan bahwa pelaku pasar telah melakukan priced in atas kenaikan suku bunga kemarin.
Hanya saja, pertanyaan terbesar bagi investor saat ini adalah apakah perusahaan tetap bisa bertahan di rezim suku bunga tinggi? Lalu, bagaimana nasib pendapatan mereka di tengah penurunan permintaan, inflasi ngamuk, dan suku bunga tinggi?
Harga emas bertengger di level US$1.840 per ons di akhir pekan, melorot 1,65% dibanding sepekan sebelumnya US$1.871 per ons.
Tekanan yang menghampiri emas pekan ini terbilang bertubi-tubi.
Pertama, harga emas terjungkal setelah tingkat imbal hasil obligasi AS mencapai 3,45% pada pekan ini, atau level tertingginya sejak 2011 silam. Sekadar informasi, kenaikan yield obligasi AS akan membuat opportunity cost dalam menggenggam emas menjadi lebih mahal. Sehingga, investor memilih untuk melepas emas, sebuah aset yang tak menghasilkan imbal periodik.
Kedua, kenaikan harga Dolar AS juga menekan kinerja emas sepanjang pekan ini. Asal tahu saja, nilai Dolar AS yang terdongkrak akan membuat harga emas menjadi relatif lebih mahal bagi pelaku pasar yang jarang bertransaksi menggunakan mata uang tersebut.
Menanjaknya yield obligasi dan Dolar AS merupakan imbas dari antisipasi dan reaksi pelaku pasar atas kenaikan suku bunga acuan The Fed.
Baca juga: Pluang Insight: Menjejak Hikmah dari Napak Tilas Drama Kejatuhan LUNA
IHSG pun ternyata ikut bernasib apes pekan ini. Tengok saja, nilai sang indeks domestik ditutup di 6.939,97 poin atau melemah 2,11% dibanding akhir pekan sebelumnya.
IHSG terkapar tak berdaya akibat kena hantaman eksternal, utamanya dari kenaikan suku bunga acuan Fed Rate. Ya, aksi The Fed yang mengerek suku bunga acuan 75 basis poin pekan ini membuat pelaku pasar khawatir bahwa Bank Indonesia (BI) mau tak mau akan meresponsnya dengan mengerek suku bunga acuannya BI 7 Days Reverse Repo Rate (7DRR).
Selain itu, kenaikan suku bunga AS juga akan ikut mengerek nilai Dolar AS pada jangka pendek dan menengah. Sehingga, investor asing pun akan menarik uangnya "pulang kampung" ke negara asalnya.
Selain dari sisi eksternal, terdapat pula sentimen negatif yang melumpuhkan IHSG pekan ini.
Pada awal pekan ini, pemerintah berencana menaikkan tarif listrik untuk golongan rumah tangga kaya. Kebijakan ini tentu akan semakin membebani inflasi dalam negeri, sementara pihak-pihak yang terdampak kemungkinan akan mengurangi porsi konsumsi sekunder dan tersiernya. Nah, jika itu terjadi, maka kinerja keuangan emiten pasar domestik di masa depan bisa kena getahnya.
Pelemahan IHSG mencapai puncaknya Jumat (17/6) ketika asing tiba-tiba melancarkan aksi jual bersih (net foreign sell) sebesar Rp1,1 triliun. Bahkan, aksi jual kemarin ternyata mengambil porsi 81,5% dari total net foreign sell pekan ini sebesar Rp1,35 triliun.
Usut punya usut, aksi jual tersebut ternyata didorong oleh rebalancing indeks MVIS. Kemarin, MVIS mendepak beberapa saham Indonesia dari dua indeksnya, yakni MVIS Indonesia Index (MVIDX) dan indeks MVIS Global Junior Gold Miners (MVGDXJ).
Pluang beranggapan bahwa asing akan kembali melancarkan aksi beli pasca aksi rebalancing tersebut. Pasalnya, harga beberapa saham akan jadi lebih murah setelah "cuci gudang" tersebut. Investor, tentu saja, tak mau meninggalkan momentum tersebut untuk buy the dip.
Pada pekan ini, asing paling banyak melego saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), , PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), PT Astra International Tbk (ASII), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI).
Di sisi lain, mereka justru memborong saham PT Bumi Rersources Minerals Tbk (BRMS), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) dan juga PT Vale Indonesia Tbk (INCO).
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 dan Nasdaq index futures, Saham AS CFD, serta lebih dari 90 aset kripto dan belasan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Bagikan artikel ini