Buy the dip adalah sebuah istilah dalam investasi yang mengacu pada sikap investor yang memborong suatu aset ketika harganya turun. Selama ini, istilah buy the dip marak dipergunakan di investasi pasar modal. Namun belakangan, istilah ini sudah mulai merambah ke kancah investasi aset kripto.
Pada periode buy the dip, investor dan trader menganggap bahwa penurunan harga sebuah aset adalah saat yang tepat untuk mengakumulasi portofolio asetnya. Hal ini sesuai dengan konsep gelombang harga (price waves), di mana penurunan harga diramal bersifat sementara, sehingga mereka bisa mendulang cuan ketika harganya sudah merangkak naik.
Baca juga: Dari 30 Hari dalam Sebulan, Kapan Waktu Terbaik Membeli Bitcoin? Baca di Sini!
Istilah buy the dip sendiri memiliki beberapa konteks, tergantung situasinya. Beberapa trader mengartikan situasi buy the dip jika harga aset terjerembab dalam satu tren yang menunjukkan tren peningkatan harga di jangka panjang. Sehingga, mereka semua berharap bahwa reli harga akan berlanjut setelah anjloknya harga tersebut.
Namun, di sisi lain, beberapa trader mengartikan buy the dip sebagai kejatuhan harga sebuah aset, terlepas dari tren harganya jangka panjang. Tetapi, mereka semua yakin harga aset tersebut akan naik di masa depan. Sehingga, mereka semua memborong aset tersebut agar mendapat keuntungan ketika harganya naik di masa depan.
Jika seorang investor sudah menahan asetnya dan melakukan buy the dip, artinya mereka melakukan strategi averaging down. Adapun strategi averaging down adalah taktik investasi di mana investor menambah aset dengan harga rendah. Sehingga, rata-rata nilai portofolio mereka juga terkerek turun.
Baca juga: Lagi Naik Daun Saat Pandemi, Ini 10 Manfaat Investasi Emas buat Kamu!
Beberapa pihak yang mendukung strategi ini mengatakan bahwa konsep buy the dip adalah cara murah dalam mengakumulasi kekayaan.
Hanya saja, strategi buy the dip tidak selamanya menghasilkan cuan. Seorang investor bisa saja didera kerugian jika harga asetnya tak meningkat setelah melaksanakan aksi buy the dip.
Selain itu, turunnya harga aset juga tidak menjamin harganya akan pulih di kemudian hari. Terkadang, harga aset anjlok bukan karena tren semata, namun juga mencerminkan permasalahan di nilai dasar asetnya (underlying).
Kondisi tersebut kadang menyebabkan investor sukar membedakan antara penurunan harga aset secara temporer dengan sinyal-sinyal yang menunjukkan bahwa harga aset tersebut akan jatuh lebih dalam. Sehingga, jika investor berada pada situasi seperti demikian, maka ia disarankan untuk tidak melakukan strategi buy the dip. Bahkan, mereka disarankan untuk menganalisis penyebab penurunan harga aset itu.
Anggap saja sebuah harga saham turun dari Rp100.000 ke Rp80.000 per lembar. Mereka yang optimistis terhadap strategi buy the dip adalah strategi baik untuk menambah saham tersebut. Namun, mereka yang kritis akan menganalisis penyebab di balik penurunan harga tersebut untuk memutuskan aksi beli. Misalnya, jika harga aset disebabkan oleh prospek pertumbuhan yang buruk atau situasi ekonomi yang amburadul, tentu investor tak akan membeli aset tersebut. Sebab, ada kemungkinan harga asetnya malah akan turun terus.
Sebagai strategi investasi, tentu aksi buy the dip harus dibarengi dengan mengontrol risiko. Salah satunya bisa dilakukan dengan menentukan target harga jual saat investor sudah membeli aset tersebut di saat rendah.
Sebagai contoh, jika harga sebuah saham turun dari Rp100.000 menjadi Rp80.000 per lembar, maka investor bisa memasang titik cut loss di harga Rp70.000. Tentu, investor berharap harga saham itu akan melonjak lebih dari Rp80.000 saat buy the dip. Namun, jika kondisi berkata sebaliknya, mereka harus siap mengantisipasinya dengan membatasi kerugian mereka.
Strategi buy the dip akan berjalan dengan baik jika harga aset tersebut memang benar-benar dalam tren bullish. Cara menganalisisnya pun mudah. Jika titik harga terendah aset tersebut terus meningkat di sesi perdagangan setiap harinya, maka ada kemungkinan harganya sedang dalam tren meningkat.
Sebagai contoh, diketahui bahwa harga terendah Bitcoin pada perdagangan hari Senin di angka US$40.000 per keping. Pada sesi perdagangan Selasa, titik terendahnya naik ke angka US$41.000 per keping, dan naik ke US$43.000 di rabu. Itu bisa menjadi indikasi bahwa harga Bitcoin sedang dalam tren naik.
Namun, jika titik harga terendah sebuah aset semakin anjlok di perdagangan setiap harinya, maka aset tersebut tengah ada di tren penurunan. Biasanya, kebanyakan traders tidak mau terjebak dalam situasi seperti demikian. Namun, investor jangka panjang tentu melihatnya sebagai kesempatan untuk mengakumulasi aset.
Baca juga: Tetap Cuan! Ini Dia Strategi Investasi Bitcoin Saat Harga Turun!
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 index futures, serta aset kripto Bitcoin dan Ethereum! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Sumber: Investopedia
Bagikan artikel ini