Selamat akhir pekan, Sobat Cuan! Kondisi saham AS, kripto, dan IHSG pekan ini kian gacor setelah bank sentral AS The Fed tebar janji manis ke pelaku pasar. Seperti apa ulasannya? Simak di Pasar Sepekan berikut!
Pelaku pasar boleh kembali memasang raut senyum memasuki akhir pekan. Betapa tidak, aset kripto masih sukses melaju ke teritori positif dalam dua pekan berturut-turut.
Pekan ini, pelaku pasar memang gencar melakukan aksi akumulasi dan bahkan sukses mengantar nilai kapitalisasi pasar kripto kembali tembus US$1 triliun. Usut punya usut, sentimen makroekonomi yang tengah adem ternyata jadi amunisi mereka untuk meningkatkan selera risikonya di pasar kripto.
Seperti yang Sobat Cuan mungkin sudah ketahui, bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed kembali mengerek suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin pekan ini. Tapi, jika kamu mencerna peristiwa itu secara lebih detail, maka pangkal kebahagiaan pelaku pasar berasal dari komentar Ketua The Fed Jerome Powell selepas pengumuman tersebut.
Powell mengatakan, The Fed kemungkinan akan mengerek suku bunga acuannya dengan jumbo pada September mendatang.
Hanya saja, otoritas moneter tersebut kemungkinan akan memperlambat laju kenaikan bunga acuan setelahnya dengan mempertimbangkan dampak pengetatan kebijakan moneter tersebut terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi AS.
Pelaku pasar kemudian meyakini potensi itu kian terbuka lebar setelah AS mengumumkan pertumbuhan ekonomi tahunan di kuartal II sebesar -0,9%. Mereka percaya The Fed tak akan terus mengerek bunga acuannya dengan kencang dan membiarkan pertumbuhan ekonomi AS terus sekarat.
Nah, dari komentar tersebut, pelaku pasar sudah berandai-andai bahwa The Fed nantinya akan memangkas suku bunga pada 2023.
Sebagai pengingat, sejauh ini pelaku pasar berekspektasi bahwa The Fed akan mengerek suku bunga acuan hingga di level 3,25% hingga 3,5% sampai akhir 2022. Sehingga, kemungkinan The Fed untuk menyunat kembali bunga acuan mungkin saja benar-benar terjadi tahun depan.
Nah, skenario ini bikin pelaku pasar percaya bahwa The Fed akan memasuki fase puncak kenaikan suku bunga acuannya. Tak heran jika pelaku pasar pun menyambut hal ini dengan melancarkan aksi beli mumpung harga kripto masih "receh".
Lebih lanjut, optimisme pelaku pasar juga tercermin dari skor indeks Fear and Greed BTC yang sudah menyentuh level 42, alias mendekati ke zona "Greed".
Ini merupakan perkembangan yang menyenangkan mengingat skor indeks Fear and Greed BTC berada di bawah 10, atau zona "ketakutan ekstrem" sebulan sebelumnya.
Sementara itu, bintang utama pasar kripto pekan ini jatuh ke Ethereum Classic (ETC).
Nilainya melesat 60% dalam sepekan setelah ETC dikabarkan menerima kucuran dana US$10 juta dari perusahaan penambangan kripto Antpool. Antpool berharap, Ethereum Classic bisa menggunakan dana tersebut untuk mengembangkan proyek-proyek berkualitas.
Namun, mengapa situasi makroekonomi berperan penting bagi pergerakan pasar kripto? Bukankah sifat pasar kripto yang terdesentralisasi harusnya membuat ia independen dari segala dinamika ekonomi?
Sobat Cuan perlu ingat bahwa aset kripto adalah instrumen yang profil risikonya mirip dengan indeks Nasdaq. Bahkan, kini korelasi pergerakan harga aset kripto dan indeks Nasdaq sudah mencapai 1:1. Sehingga, pelaku pasar tentu akan memperhatikan faktor-faktor yang membuat indeks saham jungkat-jungkit.
Selain itu, pasar kripto saat ini dijejali investor institusi, yang gerak-geriknya sangat dipengaruhi oleh situasi makroekonomi dan likuiditas pasar.
Sebagai contoh, jika The Fed menurunkan suku bunga acuannya, maka investor akan lebih mudah menerima likuiditas. Jika mereka masih punya likuiditas "nganggur", maka bisa jadi mereka akan menaruhnya ke pasar kripto sebagai upaya diversifikasi aset.
Pertanyaan berikutnya, apakah aset kripto dapat mempertahankan relinya hingga pekan depan?
Menilik dari sisi teknikal secara harian, BTC berhasil breakout dari level krusialnya di US$22.530 setelah pengumuman suku bunga The Fed. Namun, kenaikan ini sebenarnya terlihat meragukan karena penguatan tersebut tak diiringi kenaikan volume perdagangan jumbo.
Sehingga, Pluang beranggapan bahwa harga BTC berpotensi menguat sampai ke level US$24.70 hingga US$25.960. Sementara support terdekat BTC berada di level US$22.530.
Namun, jika BTC berada di bawah level US$21.320, maka ia kemungkinan akan terjerumus untuk masuk kembali ke fase bearish seperti bulan lalu.
Selain itu, Pluang juga beranggapan bahwa Sobat Cuan dapat menjadikan kesempatan ini sebagai momentum untuk mengambil keuntungan atau trading dengan cepat.
Sebab, saat ini kondisi ekonomi tidak menampakkan sinyal perbaikan, sehingga tak ada bukti konkret bahwa aset berisiko akan terus tumbuh secara sinambung.
Setelah mengalami mimpi buruk sepanjang semester I, indeks saham AS mulai bangkit dan mencoba move on di Juli. Di pekan ini saja, nilai indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) tumbuh 3%, sementara indeks S&P 500 dan Nasdaq tumbuh lebih fantastis masing-masing 4,3% dan 4,7%.
Prestasi itu mengantar trio indeks Wall Street mengalami bulan terbaiknya sejak November 2020.
Sama seperti yang terjadi di pasar kripto, penguatan indeks saham AS pekan ini terjadi karena selera risiko investor sedang memuncak. Musababnya, apalagi kalau bukan goyahnya sikap hawkish The Fed.
Di samping itu, moncernya kinerja keuangan triwulanan emiten AS juga mendorong laju indeks Wall Street sepanjang pekan ini.
Data FactSet menunjukkan 75% perusahaan S&P 500 yang telah merilis laporan keuangannya ternyata berhasil menorehkan laba di atas ekspektasi analis. Hal ini membuktikan bahwa perusahaan AS masih mampu tahan banting meski dijegal inflasi tinggi dan ancaman resesi.
Nah, beberapa emiten sukses tersebut adalah saham-saham teknologi yang punya bobot besar di perhitungan indeks saham AS. Salah satunya adalah Apple yang berhasil membukukan laba bersih per saham (EPS) sebesar 3,9% lebih tinggi dari ekspektasi pasar.
Pluang beranggapan, kondisi ekonomi AS memang belum memperlihatkan sinyal pemulihan. Sehingga, ada kemungkinan pelaku pasar kini mampu melakukan priced in kabar-kabar tersebut dengan cepat.
Nah, mumpung momentumnya tepat, Sobat Cuan bisa mendulang cuan dari kondisi ini dengan trading jangka pendek. Namun, kamu mesti pikir-pikir lagi jika ingin melakukan trading jangka panjang. Apa alasannya?
Memang, The Fed menebar janji manis bakal mengerem suku bunga acuannya. Hanya saja, tidak ada satu pun yang tahu kekuatan inflasi AS dalam beberapa bulan mendatang.
Inflasi yang tinggi tentu akan menghantam daya beli, sebuah hal yang sejatinya sangat ditakutkan The Fed. Akibatnya, The Fed tetap masih berpotensi mempertahankan sikap hawkish-nya.
Baca Juga: Pluang Insight: Katanya Dunia di Ambang Resesi. Apa Sih Arti Resesi Ekonomi?
Harga emas di pasar spot bertengger di US$1.766,32 per ons di akhir pekan, melesat 2,27% dari posisi pekan lalu US$1.727 per ons.
Sepanjang pekan ini, pelaku pasar makin gemar mengoleksi emas mumpung "cuaca sedang mendukung". Pasalnya, dua musuh bebuyutan emas, nilai Dolar AS dan tingkat imbal hasil obligasi AS, kompak melemah sepanjang pekan ini.
Asal tahu saja, pelemahan nilai Dolar AS akan membuat harga emas relatif lebih murah bagi pelaku pasar yang jarang bertransaksi menggunakan mata uang tersebut. Sementara itu, pelemahan tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS akan membuat opportunity cost investor dalam menggenggam emas menjadi lebih murah.
Dua lawan sengit sang logam mulia tersebut tak berdaya setelah pelaku pasar meyakini The Fed tak akan mengerek suku bunga acuannya dengan agresif menyusul realisasi pertumbuhan ekonomi AS kuartal II yang mengecewakan.
Bahkan, pertumbuhan ekonomi AS yang melempem juga membuat pelaku pasar kian rajin mengakumulasi emas. Maklum, emas selama ini dianggap sebagai aset yang efektif melindungi kekayaan di saat ekonomi serba tidak pasti.
Baca Juga: Kabar Sepekan: Ekonomi AS Tak Berdaya, RI Siap Jadi Ladang Cuan Negara Asia
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup akhir pekan dengan bercokol di 6.951,12 poin, menguat 0,93% dibanding sepekan sebelumnya.
Memang, sang indeks domestik sukses melaju ke zoba hijau. Tapi, jika disandingkan dengan pergerakan saham AS dan pasar kripto di periode yang sama, maka Sobat Cuan akan menemukan bahwa performa sang indeks domestik terlihat paling culun.
Sejatinya, IHSG bergerak sideways saja pada pekan ini, yang utamanya disebabkan oleh ragam hasil kinerja keuangan emiten domestik.
Ya, pekan ini merupakan tenggat akhir bagi emiten untuk merilis laporan kinerja keuangannya di kuartal II. Oleh karenanya, tak heran jika mereka berbondong-bondong menerbitkan laporannya ke publik di pekan terakhir Juli.
Sebagai ringkasan, emiten sektor perbankan rata-rata mendulang pertumbuhan cuan yang signifikan pada triwulan lalu lantaran tingginya pertumbuhan penyaluran kredit. Pluang melihat, hal ini disebabkan oleh sikap debitur yang memanfaatkan biaya pendanaan murah mumpung Bank Indonesia (BI) belum mengerek suku bunga acuannya.
Namun, di sisi lain, kinerja keuangan emiten sektor konsumer pasrah terpukul di kuartal lalu lantaran tertekan inflasi yang kian menjadi-jadi. Sekadar pengingat, inflasi tahunan Indonesia sudah bertengger di 4,53% pada Juni, melebihi target batas atas inflasi BI yakni 4,5%.
Selain karena perilisan kinerja keuangan, rebalancing yang terjadi di indeks-indeks di bawah Bursa Efek Indonesia (BEI) pun membuat laju IHSG terbilang mixed.
Di awal pekan ini, BEI mengumumkan pergantian pemain untuk indeks LQ45, IDX30, IDX80, Kompas 100 dan INFOBANK 15 untuk periode Agustus 2022 hingga Januari 2023. Nah, "bongkar-pasang" ini memaksa manajer investasi yang merilis produk reksa dana indeks untuk memborong saham-saham pendatang baru dan membuang saham-saham yang didepak dari indeks-indeks tersebut.
Sebagai contoh, jika manajer investasi memiliki produk reksa dana berbasis indeks LQ45, maka mereka harus memasukkan saham pendatang baru di indeks tersebut, yakni PT Bank Jago Tbk (ARTO), PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS), dan PT Indika Energy Tbk (INDY), ke dalam portofolionya.
Di saat yang sama, mereka pun terpaksa menjual saham-saham yang ditendang dari indeks LQ45, yakni PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT PP Tbk (PTPP), dan PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk (TKIM)
Di tengah dinamika tersebut, investor asing ternyata masih giat memborong saham domestik. Hal ini tercermin dari nilai beli bersih asing (net foreign buy) sebesar Rp1,32 triliun, di mana setengahnya, atau Rp619,5 triliun, berasal dari sesi perdagangan Jumat (29/7).
Asing terlihat getol mengoleksi saham-saham perbankan yang mencetak kinerja keuangan cetar seperti PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).
Namun, mereka juga mengoleksi saham PT Astra International Tbk (ASII) setelah anak usahanya, PT United Tractors Tbk (UNTR), berhasil membukukan pertumbuhan laba kuartalan sebesar 40% pada triwulan lalu.
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 dan Nasdaq index futures, Saham AS CFD, serta lebih dari 130 aset kripto dan belasan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Selain itu, kamu sekarang bisa berdiskusi bersama komunitas di Pluang untuk mendapatkan kabar, insight, dan fakta menarik seputar investasi dari sudut pandang antar member pada Fitur Chatroom Pluang.
Tempat diskusi tanpa worry? Fitur Chatroom solusinya! Klik di sini untuk mendapatkan early access.
Bagikan artikel ini