Belakangan, perusahaan AS tengah berlomba mengambil ceruk cuan di teknologi AI. Namun, apa alasan di balik motivasi tersebut?
Sejak awal tahun, terdapat satu kata yang kerap dibicarakan di dunia investasi: Teknologi kecerdasan buatan (AI). Secara mengejutkan, nama teknologi tersebut menghiasi pemberitaan dan bahkan sejumlah perusahaan pun berlomba-lomba merebut ceruk pasarnya.
Namun pertanyaannya, mengapa teknologi ini mendadak jadi buah bibir? Kemudian, mengapa tiba-tiba perusahaan teknologi menggantungkan asa di inovasi satu ini?
Seluruh ingar-bingar itu bisa dijejak mulai November tahun lalu ketika chatbot AI ChatGPT diperkenalkan ke publik. Dalam waktu singkat, teknologi tersebut menjadi viral. Bahkan, ChatGPT sukses berhasil menghimpun 100 juta pengguna dalam kurun dua bulan sejak peluncurannya.
Ketenaran mendadak ChatGPT pun bukan terjadi tanpa alasan. Pasalnya, banyak fans teknologi menganggap ChatGPT sebagai teknologi “pintar” dengan kecerdasan hampir setara manusia.
Sekadar informasi, ChatGPT adalah teknologi AI generatif, yakni model AI yang memproduksi konten sesuai instruksi penggunanya. Terobosan baru ini dianggap memiliki potensi signifikan sebagai “tangan kanan” manusia dalam melakukan aktivitasnya.
Sebagai gambaran, beberapa pekerjaan yang dapat dilakukan AI generatif adalah memproduksi konten dan ide, meningkatkan efisiensi melalui percepatan pekerjaan repetitif seperti menulis surat hingga coding, dan bahkan bisa menciptakan konten dan informasi yang spesifik untuk penggunanya.
Namun, teknologi AI sendiri sebenarnya bukan barang baru. Konsep kecerdasan buatan sejatinya sudah hadir sejak 1950, di mana ilmuwan saat itu sengaja menciptakan mesin yang dapat mengerjakan pekerjaan yang sebelumnya dilakukan manusia.
Kendati demikian, pengembangan teknologi AI memasuki babak baru di tahun lalu. Apalagi, manfaatnya pun terbilang relevan di tengah era serba daring seperti saat ini.
Baca Juga: Apa Saja 4 Saham AI Populer di Pasar Saham AS?
Pesatnya pertumbuhan pelanggan ChatGPT pun lambat laun menarik perhatian perusahaan teknologi. Maklum, setelah kinerja keuangannya ditekan ketidakpastian makroekonomi dalam dua tahun terakhir, mereka lantas menganggap teknologi AI sebagai “obat kuat” yang mampu mendongkrak kinerja keuangannya selama ini.
Selain itu, dengan menjadi pentolan di dunia AI, perusahaan dapat menonjolkan citranya sebagai perusahaan teknologi berkaliber unggul lantaran mampu menjual produk canggih.
Namun, di antara seluruh berkah yang dibuka teknologi AI, terdapat dua alasan utama yang mendorong perusahaan berlomba memenangkan terobosan AI, yakni:
Teknologi AI berpotensi yang tinggi untuk semua industri, mulai dari pekerjaan pelayanan konsumen hingga aspek bisnis lainnya.
Perusahaan teknologi optimistis bahwa AI dapat memperbaiki proses, efisiensi, dan memberikan inovasi solutif. Singkatnya, AI bisa menjadi “jalan pintas” bagi mereka untuk menguasai pangsa pasar di sektor teknologi.
AI dapat mengoptimalkan operasional bisnis dengan mengotomasi pekerjaan repetitif, menganalisis data yang besar, dan membantu proses pengambilan keputusan berdasarkan data.
Keunggulan tersebut diharapkan dapat mengurangi beban operasional dunia bisnis, dan pada akhirnya mampu memperbaiki profitabilitasnya. Nah, karena punya manfaat tinggi bagi dunia bisnis, perusahaan teknologi yakin produk-produk berbasis AI akan laris di pasaran.
Lantaran AI dianggap mampu membuka peluang bejibun di masa depan, tak heran jika raksasa teknologi kemudian berebut cuan di sektor satu ini. Microsoft, contohnya, menyuntikkan dana miliaran ke ChatGPT. Tak ketinggalan, duo raja internet Google dan Baidu pun berkomitmen untuk mengintegrasikan AI ke produk mesin pencariannya.
Bahkan, tak hanya perusahaan teknologi saja yang merasa bakal ketiban “durian runtuh” dari AI. Produsen chip seperti Nvidia bahkan sesumbar bahwa kehadiran teknologi kecerdasan buatan akan mendongkrak permintaan produknya di masa depan.
Kondisi saat ini membuktikan bahwa perusahaan teknologi sedang berkompetisi untuk berebut berkah dari teknologi AI. Mereka meyakini, “harta karun” tersebut dapat menjadi bintang di masa depan.
Ambisi yang tinggi sejatinya sah-sah saja dimiliki perusahaan teknologi. Namun nyatanya, tak semua perusahaan mampu mengembangkannya karena sektor ini pun tak lepas dari rintangan dan hambatan di masa depan.
Riset terbaru dari lembaga konsultasi Boston Consulting Group (BCG) mengatakan bahwa hanya 11% perusahaan yang bakal kecipratan berkah dari investasi di teknologi AI di masa depan. Sebagian perusahaan lainnya, meski telah mencoba, diramal bakal “tenggelam” ketika menyelam di kolam AI lantaran memiliki fondasi digital yang kurang memadai.
Di samping itu, nasib AI di masa depan pun ibarat seperti peribahasa “tebak-tebak buah manggis”. Dengan kata lain, perusahaan bisa mengecap buah manis dari teknologi ini di masa depan, atau justru malah menjadi bumerang yang berbahaya.
Pasalnya, meski AI generatif tampak canggih, beberapa investor merasa cemas dengan beberapa kekurangan yang dimilikinya seperti:
Tak ketinggalan, AI generatif juga berpotensi menghilangkan ratusan, bahkan ribuan, jenis pekerjaan di dunia dan menyebabkan pemutusan hubungan kerja massal. Jika sekian negara kompak membatasi penggunaan AI melalui undang-undang, maka harapan atas pertumbuhan industri ini pun akan pupus.
Baca Juga: Mengenal Perplexity AI, Teknologi Pesaing Baru ChatGPT
Terlepas dari pro-kontra atau pesimisme-optimisme terhadap teknologi AI, investor sepatutnya tetap menaruh perhatian pada perkembangan teknologi AI. Bahkan, AI sepertinya akan menjadi tren investasi menarik yang tak boleh dilewatkan di tahun ini. Namun, apa alasan utamanya?
Seperti yang diketahui, perusahaan teknologi kompak melakukan PHK massal. Sebagai buktinya, 150.000 pekerja AS terpaksa menyandang status pengangguran akibat aksi tersebut per pertengahan Mei 2023. Ketidakpastian makroekonomi dan rezim suku bunga tinggi ditunjuk menjadi alasan utama atas aksi tersebut.
Namun, aksi itu sepertinya diselubungi maksud tertentu: Mereka ingin menggarap AI semakin getol, sehingga mereka rela memangkas jumlah karyawan dan berkomitmen investasi besar-besaran di pengembangan AI. Upaya ini diharapkan dapat mengoptimalisasi biaya di masa depan.
Suku bunga AS yang telah mencapai 5% telah membuat pelaku pasar berpikir bahwa arus kas perusahaan akan mengetat.
Namun, lembaga Brownstone Research mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan di dunia mau tak mau harus memperbarui teknologi piranti lunaknya meski posisi kasnya seret agar bisa menciptakan produk yang selangkah lebih maju dari kompetitornya.
Kondisi tersebut tentu bisa membuka peluang bagi perusahaan teknologi untuk menawarkan serangkaian perangkat keras dan piranti lunak canggih berbasis AI ke dunia bisnis. Berkaca pada potensi ini, maka perusahaan piranti lunak dan keras akan kena “rezeki nomplok” ke depan.
Secara tidak langsung, AI dipercaya akan menggantikan pekerjaan manusia yang repetitif. Oleh karena itu, perusahaan yang dapat mengimplementasikan penggunaan AI akan diuntungkan dengan optimalisasi biaya dan output yang lebih cepat dan presisi.
Download aplikasi Pluang untuk investasi Saham AS, emas, ratusan aset kripto dan puluhan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Bagikan artikel ini