Indeks S&P 500 tampaknya bakal segera mengakhiri bulan madunya dengan musim laporan keuangan, atau yang dikenal dengan earning season. Pasalnya, di tengah reli kenaikan yang terjadi selama sepekan kemarin, hadir ancaman berupa inflasi yang kabarnya bisa memotong tren kenaikan harga tersebut.
Inflasi yang mungkin hadir merupakan buah dari kebijakan pemberian paket stimulus pemerintah Amerika Serikat agar bisa pulih dari pandemi COVID-19. Yang pertama, adalah stimulus sebesar US$1,9 triliun untuk memulihkann negara adidaya tersebut. Kemudian, terdapat pula wacana lain seperti stimulus infrastruktur sebesar US$2 tiliun dan rencana stimulus pengembangan keluarga dan pendidikan sebesar US$1,8 triliun.
Mengapa stimulus tersebut bisa menaikkan inflasi? Maklum, dengan adanya kebijakan tersebut, jumlah dolar AS yang beredar akan bertambah. Menurut analisis terakhir, setiap 1% kenaikan jumlah uang beredar akan meningkatkan inflasi sebesar 2,45%.
Selain masalah uang beredar, stimulus tersebut juga akan meningkatkan kemampuan daya beli warga AS. Nah, kondisi tersebut tentu akan meningkatkan permintaan barang dan jasa. Yang ujungnya pun mengerek harga-harganya, dan bermuara pada inflasi.
Kepala Strategi Ekuitas Global Jefferies Christoper Wood mengatakan dengan kondisi seperti itu maka invstor harus bersiap untuk menghadapi inflasi terbesar di Amerika sejak re-opening economy di tahun 1980 silam.
Lantas, apa alasan investor saham begitu ketar-ketir dengan tingkat inflasi ini?
Baca juga: Apa Hubungan Antara Risiko dan Tingkat Pengembalian Investasi?
Ancaman inflasi ke indeks saham bisa lewat transmisi yang beragam.
Pertama, yakni dari segi beban keuangan perusahaan yang terdaftar di indeks saham tersebut. Konsep inflasi adalah meningkatnya harga barang-barang, termasuk bahan baku produksi.
Sehingga, ketika inflasi menerjang, tentu beban operasional yang ditanggung perusahaan akan membengkak. Jika beban menggembung, hal itu tentu akan mempengaruhi capaian laba bersih perusahaan. Secara singkatnya, penurunan laba pun pada akhirnya membuat bobotnya terhadap nilai indeks akan amblas.
Kedua, yakni dari segi return riil yang diterima investor. Tingkat inflasi yang melonjak akan mempertipis kekuatan “daya beli” investor, jika ia melakukan konsumsi menggunakan return dari investasi saham tersebut.
Sebagai contoh: Di tahun 2019, seorang investor mendapat return investasi ekuitas sebesar 6% per tahun dengan tingkat inflasi 2% per tahun. Artinya, return riil yang ia dapatkan berada di kisaran 4%.
Di tahun 2020, investor tersebut mendapatkan return sebesar 8%. Tapi di saat yang bersamaan, inflasi melonjak menjadi 6% per tahun. Artinya, return riil dia hanya 2%. Atau dengan kata lain, kemampuan sang investor dalam membeli barang menggunakan return investasi di 2020 jauh lebih kecil dibanding tahun 2019.
Kalau situasinya sudah begini, investor tentu akan berpaling dari pasar saham dan memilih investasi lain yang lebih cuan.
Ketiga, dampak inflasi terhadap pasar saham akan kian parah jika bank sentral meresponsnya dengan kenaikan suku bunga acuan.
Kenaikan suku bunga acuan akan mengerek suku bunga kredit. Kondisi tersebut akan membuat perusahaan enggan melakukan ekspansi bisnis dengan meminjam uang ke bank. Ini lantaran ongkos meminjam (cost of borrowing) semakin mahal.
Selain itu, kenaikan suku bunga kredit juga akan mengerem konsumsi. Ketika konsumsi melemah, tentu permintaan barang dan jasa juga amblas. Nah, kedua hal tersebut tentu akan menyakiti pendapatan dan laba bersih perusahaan.
Jika investasi saham semakin tak menjanjikan, investor akan mengalihkan dananya ke obligasi pemerintah. Sebab, imbal hasil obligasi pemerintah akan menanjak jika bank sentral mengerek suku bunga acuannya.
Dalam kondisi sekarang, yang menjadi pertanyaan adalah berapa lama inflasi akan berlangsung dan bagaimana bank sentral AS The Fed merespons hal tersebut. Utamanya, melalui kebijakan perubahan suku bunga acuan. Namun, The Fed sudah menjelaskan bahwa mereka masih belum akan mengubah kebijakan suku bunga acuan sampai ekonomi benar-benar pulih.
Meski demikian, itu tak menyurutkan ketakutan investor akan inflasi. Pada Selasa (27/4), data Bloomberg menunjukkan bahwa tingkat inflation break-even 10 tahun sudah di angka 2,4%. Di mana, angka ini merupakan yang tertinggi dalam delapan tahun terakhir.
Sekadar informasi, tingkat inflation break-even menggambarkan persepsi investor terhadap tingkat inflasi di masa depan. Indikator itu didapatkan dengan menghitung selisih antara imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun dan aset sekuritas tahan inflasi (Treasury Inflation-Protected Securities/TIPS).
Di sisi lain, imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 Tahun terus meningkat sejak Februari lalu. Nah, peristiwa ini sejatinya merupakan bentuk keyakinan investor atas langkah The Fed yang bakal mengetatkan kebijakan moneternya demi merespons tingkat inflasi gila-gilaan di masa depan.
Baca juga: Apa Itu Inflasi?
Selama The Fed tidak menarik janjinya untuk menunda pengetatan, beberapa analis mengatakan bahwa wacana kenaikan suku bunga kemungkinan tidak akan membahayakan pasar saham. Asal, The Fed pun mau mengomunikasikan kebijakannya itu secara tegas.
Opini tersebut salah satunya dilontarkan oleh Brian Nick, Chief Investment Strategist di perusahaan perencanaan keuangan Nuveen. Nick mengatakan, The Fed perlu memberikan kepastian ihwal jangka waktu dalam menahan suku bunga acuan agar investor tak ketar-ketir terhadap inflasi.
Memang, inflasi adalah ancaman serius bagi pasar modal. Tetapi, investor sejatinya bisa “mengecoh” inflasi.
Pada 1983 dan 1984, begawan saham Warren Buffett pernah menulis surat pada pemegang saham tentang bagaimana cara “mengalahkan” inflasi. Yakni, berinvestasi di saham perusahaan yang tidak butuh modal besar dalam berekspansi. Salah satunya, adalah perusahaan teknologi.
Mengapa demikian? Sebab, perusahaan dengan karakteristik demikian tidak akan terlalu terpengaruh dengan dampak inflasi. Sehingga, ketika inflasi mereda, maka imbal hasil yang diberikan akan mendekati imbal hasil riil-nya. Ini seperti fasilitas lindung nilai yang dimilki oleh emas.
Untungnya, saat ini, penghuni-penghuni raksasa S&P 500 adalah perusahaan yang bergerak di sektor usaha tersebut. Indeks S&P 500 dengan konsentrasi bisnis teknologinya tampaknya bisa menjadi pemenang dalam pertarungan melawan inflasi kali ini, sama seperti yang terjadi pada tahun 1980-an silam.
Apakah Sobat Cuan juga tertarik berinvestasi di indeks S&P 500? Yuk, langsung saja berinvestasi di micro e-mini S&P 500 index futures di Pluang!
Baca juga: Waswas Optimisme Ekonomi AS Bayangi Harga Emas Hari Ini
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 index futures, serta aset kripto Bitcoin dan Ethereum! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Sumber: Market Watch, Seeking Alpha
Bagikan artikel ini