Selamat akhir pekan, Sobat Cuan! Situasi makroekonomi terlihat kalang kabut sepanjang pekan ini dan menyandung kinerja saham AS, kripto, hingga IHSG. Seperti apa lengkapnya? Simak di Pasar Sepekan berikut!
Pergerakan aset kripto utama terbilang bervariasi, mengindikasikan bahwa pasar kripto sedang mengalami goncangan kuat sepanjang pekan ini. Sobat Cuan bisa melihat buktinya melalui tabel di bawah ini.
Sepanjang pekan ini, aset kripto terlihat "diobok-obok" oleh pergerakan nilai Dolar AS yang jungkat-jungkit.
Sebagian besar aset kripto sempat terbanting parah di pertengahan pekan gara-gara nilai indeks Dolar AS yang menjulang ke level 114 atau tingkat tertingginya dalam 20 tahun terakhir. Untungnya, nilai indeks Dolar AS kembali melandai menuju akhir pekan dan ditutup melemah 0,75% dibanding pekan lalu.
Sekadar informasi, pergerakan indeks Dolar AS memang berkorelasi negatif dengan kinerja aset kripto. Pasalnya, pelaku pasar tentu akan melepas aset kripto, yang merupakan aset berisiko, demi Dolar AS yang dianggap punya profil risiko yang lebih minim.
Namun, pelemahan Dolar AS bukan satu-satunya faktor yang bikin aset kripto berhasil bangkit di akhir pekan.
Kuat dugaan, investor institusi melakukan aksi borong di akhir September demi memoles tampilan portofolio mereka di akhir kuartal III tahun ini. Selain itu, pelaku pasar juga sengaja melancarkan aksi akumulasi untuk mengulangi fenomena tahunan yang disebut Uptober, yakni kondisi ketika harga aset kripto kompak reli kencang di Oktober setelah terpukul di September.
Di saat yang sama, volume perdagangan harian BTC juga meningkat 100% hingga 300% pada pekan ini setelah nilai tukar Poundsterling dan Euro keok dihantam Dolar AS. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kinerja mata uang fiat memang berlawanan dengan aset kripto.
Adapun kabar yang menarik perhatian pelaku pasar pekan ini berasal dari XRP.
Pelaku pasar kini semakin optimistis bahwa perusahaan di balik XRP, Ripple, akan memenangkan gugatan hukum yang diajukan otoritas pasar modal AS (The Securities and Exchange Commission/SEC).
Sekadar informasi, kasus hukum Ripple versus SEC bermula pada 2020 silam. Kala itu, SEC menggugat Ripple ke pengadilan federal karena dituduh mendistribusikan instrumen ilegal senilai US$1,3 miliar. Keduanya pun akhirnya bergulat dalam proses hukum selama hampir dua tahun terakhir.
Perkembangan terbarunya, hakim federal Annalisa Torres telah meminta SEC untuk menyerahkan dokumen berupa draf atau bukti lain terkait pidato salah satu mantan direktur SEC, William Hinman, pada 2018 lalu.
Dalam pidato tersebut, Hinman diyakini menyebut bahwa perdagangan Ethereum dan aset kripto lainnya tidak termasuk ke dalam kategori perdagangan sekuritas. Nah, jika Hinman terbukti pernah menyampaikan pidato tersebut, maka kans Ripple untuk memenangkan perkara hukumnya versus SEC semakin tinggi.
Tak ketinggalan, ATOM juga menarik perhatian komunitas kripto hari ini setelah jaringan memperkenalkan whitepaper atas upgrade jaringan Atom 2.0. Dalam dokumen tersebut, Atom mengatakan akan meningkatkan kapasitas jaringannya demi membangun aplikasi dan infrastruktur berkualitas "next generation".
Dari sisi teknikal, terlihat bahwa BTC masih belum berhasil menembus downtrend line-nya di rentang waktu hariannya (daily time frame). Kondisi ini tercermin dari harga BTC yang terpental kembali setelah memasuki level US$20.000 per keping.
Namun, Sobat Cuan jangan merasa putus asa. Justru, kondisi ini menjadi tanda positif bahwa buyer telah mengoleksi BTC di level US$20.000 lantaran itu dianggap sebagai level psikologis. Melihat hal tersebut, Pluang menganggap BTC bisa melakukan retest ke level US$20.400 dengan support terkuat di US$18.125.
Selain itu, Pluang beranggapan bahwa pasar kripto saat ini sudah tepat di pusaran musim dingin gara-gara kondisi makroekonomi yang belepotan. Namun, Sobat Cuan bisa melalui "cuaca buruk" ini dengan memilih aset kripto yang prospek pengembangannya terlihat menjanjikan seperti Chainlink dan Atom.
Investor pasar saham AS kompak tepok jidat sepanjang pekan ini. Pasalnya, nilai indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 2,93%, sementara S&P 500 dan Nasdaq kompak tumbang 2,91% dan 2,69% di pekan terakhir September.
Kesalnya, pasar saham AS ternyata mencetak pelemahan terburuknya sejak Maret 2020 alias awal pandemi COVID-19. Bahkan, S&P 500 juga mencetak performa terburuknya sejak 2009 setelah mengakhiri tiga kuartal berturut-turut di zona merah.
Pelaku pasar terlihat jaga jarak dengan pasar modal setelah dihantui rasa takut akan resesi ekonomi. Kecemasan itu muncul setelah The Fed mengerek suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin pada pekan lalu. Kemudian, pada pekan ini, jajaran pejabat The Fed silih berganti memberi sinyal untuk terus mengetatkan kebijakan moneter lebih erat demi meredam inflasi.
Ancaman resesi di AS pun semakin dipertegas oleh laporan Biro Analisis Ekonomi AS yang mengonfirmasi bahwa pertumbuhan ekonomi AS kuartal II 2022 terkontrasi 0,6% secara tahunan.
Dengan menimbang pertumbuhan ekonomi AS yang berada di -1,6% pada kuartal sebelumnya, maka AS secara teori sudah masuk ke fase resesi ekonomi. Sebab, secara teknisnya, resesi terjadi jika pertumbuhan ekonomi berada di zona merah dalam dua kuartal berturut-turut.
Lebih lanjut, tak cuma perkara resesi, kekacauan di pasar finansial Inggris juga menambah tekanan bagi indeks Wall Street di pekan ini.
Sekadar informasi, pemerintah Inggris pada pekan lalu mengumumkan pemangkasan tarif pajak paling drastis selama 50 tahun demi menggairahkan kegiatan ekonomi di negara tersebut. Hanya saja, pelaku pasar cemas kebijakan itu akan menyunat penerimaan negara Inggris dan membuat negara Eropa itu gagal membayar utangnya.
Imbasnya, investor pun minggat dari pasar obligasi pemerintah Inggris. Selain itu, pelaku pasar juga melepas saham-saham yang punya eksposur terhadap instrumen finansial di Inggris.
Setelah dibikin linglung sepanjang pekan ini, investor sepertinya akan melakukan aksi wait and see menanti perilisan data makroekonomi yang bejibun, seperti data lapangan pekerjaan AS dan inflasi berdasarkan indeks harga konsumen. Sebab, data itu bisa memberikan gambaran lebih jelas terkait langkah yang akan diambil The Fed ke depan.
Di samping itu, pelaku pasar juga akan memusatkan perhatiannya terhadap hujan perilisan laporan keuangan perusahaan yang dimulai pada bulan ini. Mereka penasaran dengan performa keuangan emiten AS di tengah momok inflasi tinggi, penguatan Dolar AS, ancaman suku bunga tinggi, dan melambatnya permintaan pasar.
Sementara itu, jika dilihat dari sisi teknikal, Nasdaq masih belum mampu menembus level resistennya di level 11.120. Imbasnya, Nasdaq memiliki potensi untuk melakukan retest support di level 10.404.
Jika Nasdaq berhasil bertahan di level tersebut, maka ia berpotensi untuk kembali retest di level 11.120. Namun, Nasdaq tidak menutup kemungkinan untuk merosot hingga level 9.780 jika tekanan makroekonomi semakin kacau.
Baca Juga: Pluang Insight: NVIDIA Siap Rilis Produk Anyar, Gimana Prospek Sahamnya?
Harga emas di pasar spot berada di US$1.660,7 per ons pada akhir pekan, menguat tipis 0,97% dari US$1.644 per ons pada pekan lalu.
Sepanjang pekan ini, nilai sang logam mulia terpantau "digoyang-goyang" oleh dinamika Dolar AS. Ia sempat terpukul tajam ketika sang aset greenback menyentuh level tertingginya dalam 20 tahun terakhir pada pertengahan pekan ini. Untungnya, emas kembali "balas dendam" menjelang akhir pekan seiring melemahnya nilai Dolar AS.
Sekadar informasi, pergerakan harga emas punya korelasi negatif dengan keperkasaan Dolar AS. Pasalnya, kenaikan nilai Dolar AS akan menyebabkan harga emas menjadi relatif lebih mahal bagi pelaku pasar yang jarang bertransaksi menggunakan mata uang tersebut.
Tak ketinggalan, kenaikan tingkat imbal hasil obligasi (yield) pemerintah AS juga sempat menyandung laju harga emas.
Sepanjang pekan ini, tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS kian tangguh menyusul rentetan komentar pejabat The Fed yang menegaskan kembali komitmennya untuk terus mengerek bunga acuan. Sayangnya, tokcernya yield obligasi pemerintah AS membuat opportunity cost dalam menggenggam emas menjadi lebih mahal.
Baca Juga: Kabar Sepekan: Dunia Darurat Resesi, Dolar AS Semakin Unjuk Gigi
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya bisa geleng-geleng kepala sepanjang pekan ini. Betapa tidak, ia menutup pekan ini di level 7.040,8 poin atau melemah 1,92% dibanding sepekan sebelumnya.
Sebenarnya, fundamental makroekonomi Indonesia yang masih kokoh seharusnya bisa menjadi daya tarik pasar modal domestik pekan ini. Sebagai contoh, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbilang surplus Rp107,04 triliun per Agustus yang setara dengan 0,58% Produk Domestik Bruto (PDB). Kondisi ini membaik dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencatat defisit 2,26%.
Hanya saja, di saat yang sama, situasi makroekonomi eksternal sedang terlihat suram. Pelaku pasar seantero dunia sejatinya takut bahwa aksi kenaikan suku bunga acuan bank-bank sentral dunia dapat menuntun ekonomi global ke jurang resesi.
Salah satu bukti bahwa ekonomi berada di bibir resesi terlihat di pasar obligasi AS. Saat ini, tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor dua tahun berada di level 4%, lebih tinggi dari instrumen sama yang bertenor 10 tahun. Situasi yang kerap dikenal sebagai inverted yield curve ini memang dipercaya investor sebagai indikator resesi yang paling utama.
Nah, prospek ekonomi yang mendung itu otomatis membuat investor berbondong-bondong melarikan dana mereka dari aset berisiko tinggi.
Sialnya, niatan pelaku pasar untuk minggat dari pasar domestik semakin mantap setelah nilai Dolar AS semakin membubung tinggi. Pada penutupan Jumat (30/9) kemarin, nilai indeks Dolar AS ditutup di level 112,17 atau menanjak 3,2% dibanding sebulan sebelumnya. Usut punya usut, hal ini terjadi akibat sikap The Fed yang tak kunjung dovish dan pelemahan kurs Poundsterling Inggris gara-gara kebijakan pemangkasan pajak terbesar Inggris dalam 50 tahun.
Hanya saja, jika dilihat secara lebih detail, kurs Rupiah masih lebih tahan banting ketimbang Euro atau Poundsterling ketika dihajar Dolar AS. Hal ini terjadi berkat aksi gercep Bank Indonesia yang langsung melakukan intervensi di pasar spot valuta asing, pasar obligasi, dan pasar Non-Deliverable Forward (NDF) domestik.
Seluruh rentetan peristiwa di atas meyakinkan investor asing untuk membawa dana mereka "pulang kampung" ke AS. Hal ini wajar saja, mengingat mereka akan kehilangan capital gain jika nilai tukar Rupiah kian melemah. Sehingga, tak heran jika investor asing mencetak nilai jual bersih (net foreign sell) fantastis Rp3,1 triliun sepanjang pekan ini.
Saham perbankan berkapitalisasi pasar terbesar menjadi target aksi jual kali ini, misalnya PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dan PT Astra International Tbk (ASII). Kendati begitu, mereka tetap masih mencicil saham-saham seperti PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dan PT Medikaloka Hermina Tbk (HEAL) di waktu bersamaan.
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 dan Nasdaq index futures, Saham AS, serta lebih dari 140 aset kripto dan belasan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Bagikan artikel ini