Investasi

down-icon
item
Investasi di pasar terbesar dunia dengan Saham AS

Fitur

down-icon
support-icon
Fitur Pro untuk Trader Pro
Temukan fitur untuk menjadi trader terampil

Fitur Proarrow-icon

support-icon
Dirancang untuk Investor
Berbagai fitur untuk investasi dengan mudah

Biaya

Keamanan

Akademi

down-icon

Lainnya

down-icon
item
Temukan peluang eksklusif untuk meningkatkan investasi kamu
support-icon
Bantuan

Hubungi Kami

arrow-icon

Pluang+

Berita & Analisis

Kerap Disamakan, Inilah Perbedaan Resesi Ekonomi dan Krisis
shareIcon

Kerap Disamakan, Inilah Perbedaan Resesi Ekonomi dan Krisis

20 Jan 2021, 10:00 AM·Waktu baca: 3 menit
shareIcon
Kategori
Kerap Disamakan, Inilah Perbedaan Resesi Ekonomi dan Krisis

Resesi ekonomi pernah menjadi topik yang menghangat sejak tahun lalu. Terlebih, setelah pandemi COVID-19 yang terjadi di seluruh belahan dunia membanting kegiatan perekonomian secara keras.

Indonesia pun tak luput dari resesi tersebut. Pada kuartal III laiu, pemerintah mengonfirmasi bahwa Indonesia masuk ke jurang resesi setelah pertumbuhan ekonomi di kuartal itu kembali memasuki zona negatif dua kali berturut-turut.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal III lalu terbilang minus 5,32% secara tahunan. Hal ini meneruskan pertumbuhan ekonomi yang minus 3,49% secara tahunan yang terjadi di kuartal II.

Namun, topik resesi nampaknya masih akan membayangi perekonomian dunia di tahun ini.

Pada pekan ini, contohnya, ekonom memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi di zona Eropa akan mengalami fenomena yang disebut double dip recession. Adapun, double dip recession adalah resesi ekonomi yang kembali terjadi setelah kondisi ekonomi di periode sebelumnya menunjukkan tanda-tanda pemulihan.

Para ekonom memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi zona Eropa di kuartal IV 2020 berada di rentang minus 1,8% hingga 2,3%, yang diikuti oleh kontraksi ekonomi yang lebih dalam di awal 2021. Ini akan menjadi resesi ekonomi kedua kalinya di Eropa dalam dua tahun terakhir.

Hanya saja, banyak masyarakat kerap menganggap resesi sebagai krisis ekonomi. Padahal, keduanya cukup berbeda. Lantas, apa perbedaannya?

Baca: Jangan Panik, Ini 9 Cara Positif Atasi Resesi Ekonomi Akibat COVID-19

Apa Perbedaan Antara Resesi dan Krisis Ekonomi?

Dilihat dari cakupan keparahannya, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan bahwa krisis ekonomi masih lebih “ringan” ketimbang resesi ekonomi.

Krisis ekonomi adalah situasi di mana terjadi penurunan beberapa indikator ekonomi tertentu. Misalnya, seperti krisis finansial, yang berarti hanya sektor keuangan, nilai tukar rupiah, hingga kinerja perbankan saja yang mengalami masalah.

Sementara itu, resesi ekonomi terjadi ketika indikator makroekonomi penting suatu negara memasuki zona negatif. Di mana, melemahnya indikator-indikator tersebut bisa memukul sektor riil dan sektor pasar modal di waktu bersamaan.

Pengertian resesi juga ditegaskan oleh lembaga penelitian di AS, National Bureau of Economic Research (NBER), yang mengatakan bahwa resesi adalah indikasi turunnya daya beli masyarakat secara umum dan naiknya angka pengangguran.

Dengan kata lain, dampak resesi ekonomi tentu akan lebih parah dibanding krisis. Namun, perbedaan resesi dan krisis ekonomi tak hanya terletak di sisi keparahannya, tetapi juga pada panjang waktunya.

Bhima mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang negatif di satu kuartal bisa dikategorikan sebagai krisis. Hanya saja, hal itu tidak serta merta bisa dikategorikan sebagai resesi. Sebab, menurut pengertiannya, resesi adalah pertumbuhan ekonomi yang masuk ke zona negatif dalam dua kuartal berturut-turut.

Baca juga: Apa Itu Resesi?

Banner Blog Pluang

Seperti Apa Tanda-Tanda Resesi Ekonomi?

Di bawah ini adalah ciri-ciri yang umum digunakan untuk mendeteksi resesi ekonomi:

1. Guncangan ekonomi yang tiba-tiba

Terjadinya pandemi COVID-19 yang memukul sektor ekonomi di seluruh dunia adalah contoh yang lebih baru dari goncangan ekonomi yang tiba-tiba.

2. Utang yang berlebihan

Saat individu atau dunia usaha mengambil terlalu banyak utang, mereka bisa terjebak ke gagal bayar utang. Kondisi inilah yang membuat kebangkrutan dan membalikkan perekonomian.

3. Gelembung aset

Investasi berlebihan di pasar saham atau real estate diibaratkan seperti gelembung yang bisa membesar. Ketika gelembung meletus, terjadi penjualan dadakan yang dapat menghancurkan pasar dan menyebabkan resesi.

4. Inflasi Terlalu Tinggi

Inflasi adalah tren harga yang stabil dan naik seiring waktu. Inflasi bukanlah hal yang buruk, tetapi inflasi yang berlebihan adalah fenomena yang berbahaya. Bank sentral tentu akan mengendalikan inflasi ini dengan menaikkan suku bunga. Namun, suku bunga yang lebih tinggi menekan kegiatan ekonomi.

Nikmati Keuntungan dengan Investasi Aman di Pluang!

Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 index futures, serta aset kripto Bitcoin dan Ethereum! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!

Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!

Sumber: Financial Times, Kompas.com

Ditulis oleh
channel logo

Linda Noviana

Right baner

Linda Noviana

Bagikan artikel ini

Artikel Terkait
ekonomi
Memahami Pengertian Outsourcing Serta Kelebihan dan Kekurangan
news card image
no_content

Trading dan Investasi dengan Super App Investasi  #1