Investor lagi-lagi gagal senyum di akhir pekan. Betapa tidak, pasar saham Amerika Serikat (AS), kripto, dan IHSG kompak tak mampu unjuk gigi di pekan ini. Apa penyebabnya? Simak selengkapnya di Pasar Sepekan berikut!
Pasar kripto kembali terombang-ambing setelah melaju ke teritori positif pekan lalu. Lihat saja, 10 aset kripto berkpaitalisasi pasar terbesar sejagat kembali mendekam di zona merah dalam 24 jam terakhir.
Investor kembali mengalami pekan yang brutal. Tak heran, mengingat pemain kripto kelas kakap (whales) ramai-ramai melakukan aksi jual karena banyaknya drama di pasar kripto.
Drama pertama adalah kondisi makroekonomi.
Pekan ini, pelaku pasar terpaksa menjauhi pasar berisiko, termasuk pasar kripto, setelah ketua bank sentral AS The Fed, Jerome Powell, menegaskan niatan untuk terus mengerek suku bunga acuannya demi meredam inflasi. Bahkan, ia sesumbar mengatakan bahwa ekonomi AS terbilang "cukup prima" untuk menghadapi efek samping dari pengetatan kebijakan moneter tersebut.
Selain itu, whales juga terpaksa melikuidasi aset kriptonya karena rentetan kabar buruk di jagat kripto.
Salah satu broker aset kripto Voyager Digital Ltd. pada Jumat kemarin mengumumkan suspensi atas trading, deposit dan penarikannya. Sementara itu, BlockFi, salah satu platform pinjam-meminjam aset digital, memiliki potensi untuk diakuisisi oleh FTX.
Kedua peristiwa tersebut merupakan buntut atas musibah yang menimpa firma modal ventura kripto kondang, Three Arrows Capital Ltd (3AC), yang dirumorkan berada di ambang kebangkrutan. Bahkan, kabar terbarunya, pengadilan British Virgin Island telah memerintahkan 3AC untuk melikuidasi asetnya.
Rentetan sentimen negatif tersebut berhasil mengantar nilai kapitalisasi pasar kripto ke kisaran US$800 miliar, turun drastis dari posisinya awal tahun US$2 triliun. Pasar kripto pun mencatat salah satu performa terburuknya sepanjang masa di semester I ini.
Namun, jika Sobat Cuan melihat lebih seksama, terdapat rebound kecil pada hari Jumat kemarin pada awal sesi perdagangan kripto dikarenakan penutupan bulan Juni. Selain itu, aksi Microstrategy dan El Salvador yang memutuskan buy the dip BTC juga menopang kinerja pasar kripto meski dampaknya tidak signifikan.
Pluang beranggapan, berdasarkan analisis data on-chain dan sisi teknikal, aset kripto masih berpotensi melemah cukup dalam meskipun level harga aset kripto saat ini terbilang sudah murah.
Pada pekan ini, sekitar 2.000 hingga 4.000 keping BTC dan ETH terlihat mengalir kembali dari dompet kripto kembali ke platform exchange. Hal ini menjadi indikasi bahwa terdapat aksi jual besar-besaran oleh beberapa pihak dan membuat suplai BTC dan ETH di platform exchange kembali membengkak. Pluang menduga, aksi tersebut dilakukan oleh penambang aset kripto yang terpaksa menjual kepemilikan BTC dan ETH-nya demi menutup biaya operasional penambangan kripto yang kian membengkak.
Selain itu, dari sisi teknikal, Bitcoin saat ini memiliki support terdekat di level US$17.700 dengan resistance terdekat di US$21.051. Namun, terlihat bahwa volume pembuangan pada pekan ini tampak begitu besar, sehingga semakin besar pula potensi BTC untuk melanjutkan pelemahannya dan menguji level support kuatnya di US$11.500 dalam jangka panjang.
Baca Juga: Pluang Insight: Cardano Siap Hard Fork! Apakah Jadi Sentimen Positif bagi ADA?
Investor pasar modal AS kembali dihantui mimpi buruk lantaran trio indeks saham Wall Street kompak tersungkur pekan ini. Nilai indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melorot 1,29% selama sepekan terakhir, sementara nilai indeks S&P 500 dan Nasdaq masing-masing runtuh 2,21% dan 4,13% di waktu yang sama.
Awalnya, pergerakan indeks saham AS terlihat baik-baik saja menyusul aksi buy the dip yang dilakukan investor. Maklum, pelaku pasar memang kerap memanfaatkan lesunya kinerja pasar saham untuk mengoleksi saham-saham jagoannya mumpung harganya murah.
Hanya saja, aksi borong kemudian berubah menjadi aksi jual setelah pelaku pasar mengantisipasi ancaman resesi ekonomi AS.
Ya, pelaku pasar khawatir bahwa ekonomi AS akan terjun ke jurang resesi setelah melihat bahwa pertumbuhan belanja masyarakat AS hanya tumbuh 0,2% di Juni atau jauh di bawah ekspektasi 0,4%. Mengingat konsumsi berkontribusi 70% terhadap pertumbuhan ekonomi AS, tak heran jika pelaku pasar cemas bahwa pertumbuhan ekonomi AS akan terjungkal di masa depan.
Selain itu, data lain menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi AS kuartal I melorot 1,6% secara tahunan atau kontraksi ekonomi pertama AS sejak kuartal II 2020. Nah, dengan rencana The Fed yang ngebet mengerek suku bunga acuannya dengan kencang, maka maklum saja mereka berharap bahwa cuaca ekonomi AS ke depan masih terbilang mendung.
Dengan demikian, pekan ini menandakan pelemahan ke-11 indeks saham AS selama 13 pekan terakhir. Tetapi, berbeda dengan dua pasar bearish sebelumnya, banyak dana terus mengalir ke produk turunan indeks saham AS meski kinerja pasar modal terbilang memble. Sekadar informasi, aliran dana yang masuk ke produk reksa dana berbasis ekuitas tercatat US$70 miliar dalam lima bulan terakhir.
Di samping itu, investor retail juga tampak enggan jauh-jauh dari pasar saham karena masih berharap bisa mendulang cuan dari emiten unggulan di pasar depan plus menempatkan uang di saham meme. Hal ini tercermin dari data terakhir yang menunjukkan para investor ritel baru melepas 10% dari kepemilikannya, lebih rendah dari kondisi 2018 lalu yakni 30% hingga 35%.
Pluang beranggapan, koreksi valuasi saham yang masif saat ini masih belum menunjukkan titik bottom sesungguhnya. Pasalnya, pada bulan Juni kemarin, rasio harga saham terhadap pendapatan (P/E) perusahaan-perusahaan S&P500 berada di level 19x, masih lebih tinggi dari nilai rata-ratanya dalam jangka panjang.
Jika terdapat bounce back, maka hal itu pun bisa dibilang hanyala bersifat sementara saja karena valuasi saham AS sekarang bisa dibilang masih di level premium. Kondisi ini lumrah saja mengingat realisasi pengetatan kebijakan moneter The Fed hingga saat ini belum mampu menekan valuasi saham AS.
Harga emas bertengger di US$1.810 per ons di akhir pekan, melorot 0,87% dari akhir pekan lalu US$1.826 per ons.
Kilau sang logam mulia semakin pudar akibat tekanan aksi jual investor yang kuat sepanjang pekan ini. Ya, pelaku pasar semakin jaga jarak dengan emas karena mencerna sikap hawkish The Fed dalam mengerek suku bunga acuannya.
Kenaikan suku bunga acuan The Fed dikhawatirkan bakal membuat dua musuh bebuyutan emas, nilai Dolar AS dan tingkat imbal hasil obligasi AS, kian perkasa.
Sekadar informasi, kenaikan nilai Dolar AS membuat harga emas menjadi relatif lebih mahal bagi pelaku pasar yang jarang bertransaksi menggunakan mata uang tersebut. Sementara kenaikan yield obligasi pemerintah AS akan membuat opportunity cost dalam menggenggam emas menjadi relatif lebih mahal.
Untungnya, masih ada sebagian pelaku pasar yang memilih mengoleksi emas lantaran mengantisipasi ancaman resesi ekonomi.
Asal tahu saja, kenaikan suku bunga acuan yang agresif mengancam pertumbuhan konsumsi dan investasi, dua motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, emas memang selalu dianggap sebagai instrumen lindung nilai efektif ketika prospek ekonomi terbilang buram di masa depan.
Baca Juga: Kabar Sepekan: Beli Pertalite Pakai Aplikasi, Indonesia Kena Ancaman Inflasi!
Kondisi setali tiga uang juga terjadi di pasar saham domestik. Tengok saja, nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bertengger di 6.794,32 poin pada Jumat (1/7) atau ambrol 3,53% dibanding sepekan sebelumnya.
Pekan ini pun menjadi salah satu pekan terburuk bagi IHSG. Pasalnya, sang indeks domestik melemah selama lima hari beruntun tanpa ampun.
Pelemahan IHSG kali ini tak lepas dari kondisi makroekonomi Indonesia yang kian mengkhawatirkan. Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa inflasi tahunan Indonesia sudah mencapai 4,53% pada Juni, melebihi rentang target inflasi Bank Indonesia (BI) yakni 2,5% hingga 4,5%.
Melihat data tersebut, pelaku pasar sontak menghindari pasar modal. Sebab, mereka khawatir bahwa BI kemungkinan akan mengerek suku bunga acuannya dari posisi saat ini 3,5% demi mengekang inflasi dalam negeri.
Terlebih, potensi pengetatan suku bunga acuan semakin kuat setelah The Fed berkali-kali menegaskan niatannya untuk menaikkan suku bunga acuan meski pertumbuhan ekonomi AS menjadi taruhannya. Patut diingat bahwa BI belum menaikkan suku bunga acuannya sepanjang tahun ini meski The Fed telah melakukannya berulang kali.
Selain perkara inflasi, pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS juga semakin menekan kinerja pasar domestik. Pada pekan ini, kurs Rupiah terhadap Dolar AS sempat menyentuh Rp14.960 menyusul niatan The Fed yang berkomitmen mengerek suku bunga acuannya. Imbasnya, arus modal keluar asing (capital outflow) pun tak terbendung.
Sepanjang pekan ini, investor asing mencatat aksi jual bersih (net foreign sell) sebanyak Rp3,89 Triliun. Mereka terlihat paling banyak melego PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM).
Meski demikian, di waktu yang sama, pelaku pasar tetap memborong beberapa saham domestik seperti PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) dan PT Harum Energy Tbk (HRUM).
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 dan Nasdaq index futures, Saham AS CFD, serta lebih dari 90 aset kripto dan belasan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Selain itu, kamu sekarang bisa berdiskusi bersama komunitas di Pluang untuk mendapatkan kabar, insight, dan fakta menarik seputar investasi dari sudut pandang antar member pada Fitur Chatroom Pluang.
Tempat diskusi tanpa worry? Fitur Chatroom solusinya! Klik di sini untuk mendapatkan early access.
Bagikan artikel ini