Sobat Cuan mungkin sering membaca faktor makroekonomi, mulai dari kebijakan The Fed hingga inflasi, menjadi biang kerok volatilitas pasar kripto beberapa waktu terakhir. Namun, mengapa laju kripto berkaitan erat dengan makroekonomi? Dan indikator makroekonomi apa saja yang berpengaruh kuat ke pasar kripto? Simak jawabannya di Pluang Insight!
Pluang sebenarnya sudah membeberkan seluk beluk mengenai makroekonomi di artikel berikut. Namun, secara singkatnya, makroekonomi adalah cabang ilmu ekonomi yang mempelajari perilaku ekonomi secara luas atau agregat dalam satu lingkup geografis tertentu.
Kehadiran makroekonomi menjadi penting karena ia mencerminkan tingkat "kesehatan" ekonomi suatu wilayah tertentu. Biasanya, ekonom atau analis menggunakan beberapa indikator makroekonomi untuk menentukan "sehat" atau tidaknya kondisi ekonomi sebuah kawasan.
Sobat Cuan sebenarnya sering menemukan ragam indikator makroekonomi berseliweran di pemberitaan, contohnya adalah inflasi, pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, dan suku bunga acuan bank sentral.
Masing-masing indikator tersebut merepresentasikan "wajah" ekonomi yang berbeda-beda. Inflasi, misalnya, mencerminkan kondisi kenaikan harga barang dan jasa di satu wilayah. Sementara itu, tingkat pengangguran melukiskan kondisi penyerapan tenaga kerja di sebuah area tertentu.
Lebih lanjut, makroekonomi juga merupakan indikator penting bagi investor. Mereka biasanya menggunakan indikator makroekonomi untuk menentukan waktu yang tepat untuk masuk dan keluar dari sebuah pasar aset. Namun, apakah situasi serupa juga terjadi di pasar kripto?
Baca Juga: Pluang Insight: Mengenal Volatilitas, Apakah Selalu Jadi Musibah bagi Investor?
Aset kripto dikenal memiliki sifat desentralisasi. Dengan kata lain, tidak ada satu lembaga atau otoritas manapun yang berhak mengintervensi seluruh kegiatan yang berkaitan di dalamnya.
Dengan demikian, secara konsep, harusnya aset kripto cukup independen dari segala dinamika makroekonomi. Bahkan, saking "mandirinya" aset kripto, dulu Bitcoin (BTC) sempat digadang sebagai aset lindung nilai pesaing utama emas.
Hanya saja, saat ini situasinya sudah berubah. Ternyata, semakin banyak investor institusi yang berminat membenamkan dananya di aset digital satu ini. Terlebih, kini banyak sekali manajemen investasi yang menerbitkan produk-produk investasi berbasiskan, atau dengan underlying asset, berupa aset kripto.
Investor institusi dan perusahaan manajemen aset tentu tak hanya menaruh uang di pasar kripto semata. Mereka pasti akan melakukan diversifikasi aset secara berkala untuk mendulang imbal hasil yang optimal. Nah, keputusan mereka dalam mengalokasikan dana investasi rupanya sangat tergantung dengan situasi makroekonomi.
Sebagai contoh, anggap saja bank sentral mengerek suku bunga acuannya dan membuat tingkat imbal hasil obligasi pemerintah meningkat. Sebagai hasilnya, investor tentu akan mengurangi alokasi dananya di pasar berisiko, termasuk kripto, dan memindahkannya ke obligasi pemerintah.
Memang, kondisi tersebut tidak akan berdampak signifikan ke pasar kripto jika investor ritel yang melakukannya. Namun, aksi itu akan membuat gelombang besar di pasar kripto jika dilakukan investor institusi mengingat aliran dananya yang berukuran jumbo.
Melihat kasus di atas, Sobat Cuan bisa melihat bahwa peristiwa atau perilisan data makroekonomi sebenarnya tidak secara langsung mempengaruhi pasar kripto. Tetapi, indikator makroenomi mempengaruhi selera risiko pelaku pasar, sebuah faktor krusial bagi mereka untuk masuk atau keluar dari pasar aset berisiko termasuk kripto.
Setelah melihat alur pengaruh makroekonomi terhadap pasar kripto, maka pertanyaan yang timbul berikutnya adalah indikator makroekonomi apa saja yang perlu Sobat Cuan perhatikan sebagai investor kripto? Yuk, simak jawabannya di bawah ini!
Bank sentral AS, The Fed, adalah salah satu bank sentral paling berkuasa di dunia. Betapa tidak, melalui kebijakan moneternya, ia mengendalikan permintaan dan penawaran Dolar AS, mata uang yang menjadi standar umum transaksi internasional.
Sementara itu, dari sisi investasi, jumlah Dolar AS beredar terbilang esensial bagi pergerakan harga aset. Mengapa demikian?
Jika peredaran Dolar AS membuncah, maka masyarakat kemungkinan akan menggunakan uang nganggur yang dimilikinya untuk investasi. Hal ini akan meningkatkan permintaan masyarakat atas aset investasi dan pada akhirnya akan menciptakan reli harga aset.
Begitu pun sebaliknya. Permintaan akan aset investasi bakal menurun jika sirkulasi Dolar AS kian mengering. Imbasnya, harga aset investasi pun bakal nyungsep.
Nah, salah satu mekanisme The Fed untuk mengendalikan pasokan Dolar AS adalah menaikkan atau menurunkan suku bunga acuannya, atau kerap dikenal dengan Fed Fund Rate. Tujuan utamanya sebenarnya bukan untuk menguras sirkulasi Dolar AS, namun untuk meredam inflasi.
Jika The Fed mengerek suku bunga acuannya, maka jumlah Dolar AS beredar akan melandai karena investor tentu lebih suka menggenggamnya atau menaruhnya di kelas aset yang minim risiko. Hasilnya, harga instrumen berisiko, termasuk aset kripto, jadi merendah.
Namun, jika The Fed menurunkan suku bunga acuannya, maka jumlah Dolar AS beredar akan bertambah. Nah, sesuai penjelasan sebelumnya, kondisi itu tentu akan menjadi durian runtuh bagi pergerakan harga aset-aset berisiko.
Sobat Cuan bisa melihat contohnya pada 2020 lalu ketika The Fed memasang suku bunga acuannya mendekati 0% dan menggelontorkan stimulus triliunan Dolar AS demi memacu ekonomi AS di tengah pandemi COVID-19. Hasilnya, pasar aset berisiko seperti indeks saham AS dan aset kripto pun reli hebat di akhir 2020 hingga akhir 2021 lalu.
Oleh karenanya, wajib hukumnya bagi Sobat Cuan untuk memperhatikan pengumuman-pengumuman The Fed terkait arah kebijakan moneternya.
Biasanya, The Fed memberikan pernyataan ihwal perkara tersebut melalui konferensi pers, risalah rapat (minutes of meeting) komite pasar terbuka federal (FOMC), dan pengumuman resmi.
Pada umumnya, The Fed akan memberi sinyal arah kebijakan moneternya di dalam risalah rapat. Dari situ, kamu bisa menaksir apakah The Fed akan menurunkan atau mengerek bunga acuannya berdasarkan pandangan mereka soal inflasi saat ini. Jangan lupa juga untuk menyimak konsensus analis dan pelaku pasar tentang prakiraan suku bunga The Fed.
Setelahnya, kamu tinggal memantau pengumuman resmi The Fed tentang kebijakan suku bunga acuannya.
Jika arah kebijakan moneter sesuai ekspektasi pasar, maka kamu boleh bernapas lega. Sebab, ada kemungkinan hal itu tidak akan berdampak buruk bagi dinamika aset kripto.
Namun, jika langkah The Fed tidak sesuai dengan harapan pasar, maka kamu boleh deg-degan karena harga aset kripto berpotensi tertekan.
Hal ini sejatinya cukup wajar lantaran kebijakan moneter The Fed di luar harapan akan membuat investor seantero dunia panik. Maklum, yang namanya investor tentu benci dengan hal bernama ketidakpastian.
Baca Juga: Pluang Insight: Benarkah Kripto Dihantam 'Musim Dingin'? Bagaimana Menghadapinya?
Faktor berikutnya yang perlu kamu perhatikan adalah tingkat inflasi AS yang biasanya diukur melalui indeks harga konsumen (CPI) dan indeks pengeluaran pribadi AS (PCE).
Sebenarnya, kedua indikator tersebut mengukur bagaimana warga AS menghabiskan uangnya pada barang dan jasa. Namun, The Fed lebih condong menggunakan PCE sebagai indikator inflasi lantaran ruang lingkupnya lebih luas dibanding CPI dan memberikan gambaran tentang perubahan pola konsumsi masyarakat akibat inflasi.
Bagi investor kripto, indikator inflasi terbilang penting karena ia bisa memberikan sinyal terkait kebijakan suku bunga acuan AS ke depan.
Jika inflasi sesuai ekspektasi analis dan pelaku pasar, maka ada kemungkinan The Fed tidak akan mengubah suku bunga acuannya. Sehingga, pasar aset berisiko diramal tetap aman dari badai.
Tetapi, inflasi yang lebih tinggi dari prakiraan akan membuat The Fed menaikkan suku bunga acuannya. Alhasil, harga aset-aset berisiko bisa jadi bakal terjun bebas.
Data ketenagakerjaan AS, baik data penyerapan tenaga kerja maupun data pengangguran, adalah parameter penting bagi The Fed untuk melihat kualitas pertumbuhan ekonomi AS. Oleh karenanya, The Fed juga akan menggunakan data ini untuk menentukan kebijakan suku bunga acuan ke depan.
Sebagai contoh, saat ini The Fed menargetkan tingkat pengangguran 4% di 2022. Jika inflasi meningkat namun tingkat pengangguran di bawah 4%, maka The Fed tak akan ragu-ragu mengerek suku bunga acuannya karena menganggap ekonomi AS masih "stabil".
Namun, jika inflasi meningkat namun tingkat pengangguran dan penyerapan tenaga kerja AS masih melempem, maka ada kemungkinan The Fed mengurungkan niat untuk menaikkan suku bunga acuan.
Saat ini, kondisi makroekonomi kurang mendukung bagi investasi aset berisiko. Tingkat inflasi AS tahunan masih tinggi, tepatnya 8,6% di Juli. Hal itu membuat The Fed ngebet menaikkan suku bunga acuannya hingga inflasi benar-benar padam.
Sehingga, Pluang beranggapan bahwa Sobat Cuan lebih baik melakukan aksi trading saja ketimbang investasi di pasar kripto selama situasi makroekonomi masih penuh ketidakpastian.
Apalagi, situasi ekonomi ke depan juga terancam oleh kehadiran stagflasi. Yakni, kondisi di mana pertumbuhan ekonomi terbilang stagnan meski inflasi semakin ngamuk. Jika memang stagflasi terjadi, maka itu bisa menjadi momentum bagi Sobat Cuan untuk menyerok aset kripto dengan harga diskon.
Baca Juga: Pluang Insight: Mengupas 'The Great Reset', Dulu Konspirasi Viral Kini Fenomena Global
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 dan Nasdaq index futures, Saham AS CFD, serta lebih dari 140 aset kripto dan belasan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Bagikan artikel ini