Investor seluruh dunia, mungkin juga termasuk Sobat Cuan, nampaknya kompak gigit jari selama sepekan terakhir. Betapa tidak, nilai saham AS, saham domestik, hingga aset kripto terombang-ambing keras sepanjang pekan ini gara-gara satu hal! Apakah itu? Simak selengkapnya di Pasar Sepekan berikut!
Beberapa aset kripto boleh saja tersenyum ringan di akhir pekan karena membukukan pertumbuhan mantap pekan ini. Namun, beberapa aset kripto lainnya harus tak berdaya dengan mendekam di zona merah di waktu yang sama. Sobat Cuan bisa melihat ringkasannya dalam tabel berikut!
Di awal pekan, rentetan sentimen positif terlihat mendorong laju aset kripto. Salah satunya datang dari Rusia, di mana bank sentral dan pemerintah negara tersebut akhirnya sepakat untuk merancang aturan yang bakal melegalisasi kripto sebagai mata uang. Hal ini merupakan kabar baik, mengingat sebelumnya negara beruang merah itu justru berniat melarang total aktivitas berbau kripto.
Sentimen lainnya datang dari Amerika Serikat (AS). Departemen Kehakiman negara Paman Sam tersebut akhirnya berhasil menangkap kedua pelaku pencurian 120.000 keping BTC yang terjadi di platform exchange Bitfinex pada 2016 lalu.
Hanya saja, sentimen tersebut perlahan buyar memasuki pertengahan pekan setelah AS merilis data inflasi tahunan Januari sebesar 7,5%. Ternyata, inflasi tersebut merupakan level tertingginya sejak 1982 silam!
Memang, inflasi tinggi seharusnya menjadi sentimen positif bagi aset kripto. Hal ini tak terlepas dari anggapan bahwa inflasi memiliki korelasi yang negatif dengan aset kripto, sehingga pelaku pasar bisa menggunakan aset digital tersebut sebagai instrumen lindung nilai.
Namun, pelaku pasar justru khawatir dengan rencana bank sentral AS The Fed yang kemungkinan bakal mengerek suku bunga acuan lebih agresif dalam merespons data tersebut. Sebab, hal itu bisa bikin investor menghindari pasar aset berisiko dan memilih membenamkan dana di instrumen yang "pasti-pasti saja".
Kemudian, inflasi AS yang tinggi pun membuat nilai Dolar AS meroket pekan ini. Nah, karena nilai aset kripto berkorelasi negatif dengan Dolar AS, maka tak heran jika nilai aset kripto berguguran setelah perilisan data tersebut.
Kendati demikian, tak semua aset kripto tumbang. Buktinya, nilai XRP masih bisa melonjak 14,83% sepanjang pekan ini.
Sekadar informasi, nilai XRP melesat seiring gugatan hukum yang diajukan otoritas pasar modal AS (The Securities and Exchange Commission/SEC) terhadap pengembang XRP, Ripple, mulai menemui titik terang.
Akhir 2020 lalu, SEC menggugat Ripple secara hukum karena diduga memasarkan aset sekuritas yang "ilegal" dan tak terdaftar di otoritas tersebut. Kemudian, di dalam persidangan, SEC meminta izin kepada hakim melalui legal memo untuk melakukan motion to strike, yakni upaya hukum untuk mengurangi satu atau beberapa barang bukti di pengadilan.
Namun, hakim Analisa Torres telah memberikan izin kepada Ripple untuk merespons legal memo yang diajukan SEC. Langkah ini, tentu saja, membuka jalan bagi Ripple untuk memenangkan gugatan tersebut.
Dari sisi teknikal, BTC sejatinya berhasil menjebol titik support-nya di US$43.225 per keping. Hanya saja, pergerakan ini sebenarnya terbilang flat mengingat reli BTC yang terbilang kencang di awal pekan.
Adapun support BTC saat ini berada di US$40.675 per keping, sementara resistance-nya berada di titik US$43.225.
Trio indeks saham AS harus memasuki akhir pekan dengan sendu setelah kinerjanya memble pada pekan ini. Nilai Nasdaq terlihat melorot 0,6%, sementara Dow Jones Industrial Average (DJIA) dan S&P 500 masing-masing ambyar 1,1% dan 1,3%.
Tingkat inflasi AS yang mencapai rekornya dalam 40 tahun lagi-lagi menjadi biang kerok melemahnya nilai indeks saham Wall Street.
Namun, di balik data tersebut, pelaku pasar sebenarnya malah mengkhawatirkan kenaikan suku bunga acuan The Fed demi merespons inflasi yang dimaksud.
Imbasnya, para bankir di AS pun meminta para trader agar tidak melawan arus dari kebijakan The Fed yang digadang akan menaikan suku bunga sampai tujuh kali tahun ini. Tak berhenti di situ, kekhawatiran terhadap kenaikan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin di Maret pun kian menghantui pasar saham AS.
Sikap tersebut lumrah saja, Sobat Cuan. Sebab, kenaikan suku bunga acuan bisa menghambat laju pertumbuhan saham-saham raksasa teknologi berkategori growth stocks yang saat ini mengambil porsi 20% dari indeks S&P 500.
Sekadar informasi, kenaikan suku bunga acuan akan mengerek bunga kredit dan ujungnya menghambat konsumsi masyarakat. Sementara itu, kinerja keuangan saham-saham growth stocks sangat tergantung dengan kekuatan daya beli masyarakat. Maka dari itu, tak heran jika investor pun mulai pesimistis dengan saham-saham teknologi.
Sepanjang pekan lalu, pelaku pasar sepertinya lebih selera mengoleksi saham yang berbau old-economy seperti Bank of America, Chevron, Verizon. Di sisi lain, inflasi yang menjadi-jadi bikin mereka meninggalkan saham teknologi dan konsumen.
Hanya saja, bukan berarti semua kinerja sektor teknologi benar-benar hancur di kala inflasi "pecah telor". Perusahaan teknologi seperti Apple mungkin akan mampu meneruskan dampak inflasi yang terjadi di komponen biaya ke pelanggannya, sehingga kinerja keuangannya diharapkan masih tetap aman.
Nah, kemampuan Apple ini dianggap tak dimiliki oleh perusahaan lainnya. Maka dari itu, jika Sobat Cuan mau mengoleksi saham AS, maka Apple bisa menjadi pertimbanganmu!
Kemudian, saham yang mendapatkan sorotan di minggu ini adalah Disney. Nilai sahamnya melejit 7,5% pada Kamis setelah perseroan melaporkan laporan keuangan yang mantap.
Penasaran dengan isi laporan keuangan Disney? Yuk, simak di tautan ini ya, Sobat Cuan!
Baca juga: Pluang Insight: Sahamnya Terus Longsor, Ada Apa dengan Facebook?
Harga emas boleh bertepuk dada memasuki akhir pekan. Harganya bertengger di Rp878.764 per gram pada Sabtu (12/2) pukul 07.48 WIB, alias melesat 2,61% dibanding sepekan lalu.
Nilai sang logam mulia ketiban berkah seiring pamornya sebagai aset safe haven mulai menanjak.
Ya, investor nampak kian getol mengoleksi emas setelah inflasi tahunan AS bertengger di 7,5% pada Januari, alias level tertingginya dalam 40 tahun terakhir. Maklum, emas merupakan aset yang dianggap ampuh untuk melindungi kekayaan kala inflasi meradang.
Inflasi AS yang kian ngamuk pun bikin James Bullard, salah satu pejabat The Fed, mengatakan bahwa The Fed bisa saja meredam inflasi dengan mengerek suku bunga acuan 1% pada Juli mendatang. Namun, pelaku pasar sepertinya bergeming merespons "ancaman" tersebut karena mereka tampaknya masih lebih takut terhadap inflasi.
Sejatinya, kekhawatiran pelaku pasar akan inflasi tak hanya terjadi pekan ini saja.
Sejak pekan lalu, investor memang agak ketar-ketir terhadap inflasi setelah AS menyerap 467.000 tenaga pekerjaan baru di Januari, lebih tinggi dari estimasi analis yakni 150.000 tenaga kerja. Selain itu, mereka juga kian mengkhawatirkan harga minyak dunia yang terus merangkak dan bisa memperparah inflasi energi.
Baca juga: Rangkuman Kabar: Harga Minyak Jadi Ancaman, BI Tahan Bunga Acuan
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) nampaknya bisa tersenyum manis di pekan ini. Betapa tidak, IHSG sukses menutup sesi perdagangan Jumat (11/2) di level 6.815,61 poin alias menguat 1,25% dibanding sepekan sebelumnya.
Bahkan, nilai IHSG pun sempat menyentuh rekor terbarunya di level 6.834,61 poin pada Rabu (9/2) lalu.
Kendati demikian, pergerakan IHSG pada pekan ini sejatinya cukup volatil mengikuti reaksi pelaku pasar atas inflasi AS. Meski memang, tingginya inflasi AS sebenarnya tidak terlalu berdampak pada pasar domestik.
Selain itu, pelaku pasar juga khawatir bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I akan oleng setelah pemerintah kembali mengerek status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3 di Jabodetabek.
Hanya saja, pelaku pasar nampaknya mengabaikan sentimen negatif tersebut. Mereka justru terlihat agresif memborong saham domestik hingga Rp7,62 triliun sepanjang pekan ini.
Mereka terlihat getol memborong saham big cap pelat merah seperti saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), dan PT Bank Negara Indonesia TbK (BBNI).
Di sisi lain, asing justru berbondong-bondong melepas saham PT Astra International Tbk (ASII), PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA) dan PT Matahari Department Store Tbk (LPPF).
Secara teknikal, IHSG sudah berhasil memecahkan level resistance-nya di 6.750 pada pekan ini. Hanya saja, Pluang berpandangan bahwa pergerakan IHSG justru terlalu agresif sebab ia telah meninggalkan gap di 6.730 pada Senin (7/2) .
Biasanya, harga aset yang meninggalkan gap tersebut akan melakukan pullback dan menutup gap-nya. Dalam kondisi ini, investor biasanya cenderung memilih untuk wait and see sampai gap ini tertutup. Atau, IHSG malah bisa tancap gas jika memang ada katalis yang kuat.
Berkaca dari hal tersebut, maka support IHSG akan berada di 6.800 sementara resistance terdekatnya akan berada di 6.885.
Sementara itu, dari sisi sektoral, Sobat Cuan perlu memantau saham-saham komoditas perkebunan hingga pertambangan di pekan depan. Mengapa demikian?
Sebab, bila melihat dari data historisnya, harga komoditas memang selalu diuntungkan dengan data inflasi AS. Nah, siapa tahu, kamu juga bisa ketiban cuan dengan fokus ke saham-saham tersebut!
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 dan Nasdaq index futures, serta aset kripto dan reksa dana! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang.
Bagikan artikel ini