Kokohnya singgasana GOOG sebagai mesin pencari terbesar di dunia, hingga Google Pixel jadi harapan baru perusahaan. Simak selengkapnya disini!
Siapa yang tak kenal dengan Alphabet Inc. ($GOOG)? Perusahaan satu ini adalah salah satu dari tiga konglomerasi terbesar di dunia sekaligus menjadi induk usaha raja internet, Google.
Google sendiri memang menjadi cikal bakal dari Alphabet. Awalnya, Google didirikan pada 1998 oleh duo Larry Page dan Sergey Brin dan melempar sahamnya ke bursa saham untuk pertama kalinya pada 2004. Namun, setelah melakukan restrukturisasi pada 2015, Google kemudian dimasukkan sebagai anak usaha dari Alphabet.
Sebagai anak usaha andalan Alphabet, Google menopang 99% pendapatan perusahaan. Adapun 85% pendapatan Google berasal dari pemasangan iklan daring, sementara sisanya berasal dari penjualan aplikasi di Google Play, pemasangan konten di YouTube, dan peralatan smart home seperti Nest dan Google Home.
Untuk memperoleh penjelasan lebih detail, Sobat Cuan bisa menyimak rincian segmen usaha Google berikut ini.
Berbincang mengenai mesin pencarian, Google bisa dibilang sebagai “juara abadi” di sektor tersebut. Betapa tidak, hingga September 2023, Google menguasai 92,6% pangsa pasar sektor mesin pencarian (search engine) secara global alias jauh mengungguli pesaing-pesaingnya. Hal ini pun tak lepas dari keputusan raksasa teknologi dunia, seperti Samsung dan Apple, yang menggunakan Google sebagai mesin pencarian bawaan (default) di gawai-gawai populernya.
Hanya saja, dominasi Google di kancah sektor mesin pencarian bikin penegak hukum di sejumlah negara gerah. Pasalnya, pengaruh kuat Google tersebut berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat di sektor mesin pencarian.
Alhasil, pada 12 September 2023, Google pun digugat secara hukum oleh departemen kehakiman AS dan kejaksaan agung dari 38 negara karena dituduh telah melakukan aksi monopoli di sektor mesin pencarian. Peristiwa ini menimbulkan satu pertanyaan: Apakah Google bisa mempertahankan tahta sebagai jawara mesin pencarian di tengah hujan gugatan hukum tersebut?
Dalam hal ini, terdapat dua skenario yang mungkin bakal dialami Google. Pertama, Google memenangkan gugatan tersebut dan mempertahankan status quo. Kedua, Google kalah dalam gugatan tersebut dan harus membayar denda serta terpaksa menghentikan kontrak eksklusifnya dengan sejumlah perusahaan teknologi.
Pluang menganggap, Google akan memenangkan gugatan tersebut dan tetap akan menjadi mesin pencarian default di gawai-gawai populer, seperti ponsel pintar Samsung dan iPhone.
Argumen itu pun didasarkan atas tiga alasan.
Pertama, perusahaan teknologi tentu membutuhkan waktu lama dan dana super jumbo untuk mengembangkan mesin pencarian internalnya secara mandiri. Kedua, pelanggan tentu ujung-ujungnya akan memilih Google sebagai mesin pencarian andalannya karena sudah terbiasa menggunakannya, sehingga gugatan tersebut semestinya tidak menggoyahkan dominasi Google di sektor mesin pencarian.
Ketiga, perusahaan-perusahaan teknologi pun kemungkinan bakal enggan melepas kemitraannya dengan Google lantaran tidak ada mesin pencarian lain yang memiliki kemampuan monetisasi sebaik Google.
Asal tahu saja, perusahaan-perusahaan teknologi selama ini ikut kecipratan pendapatan yang diperoleh dari transaksi di produk-produk Google yang terpasang di gawai-gawai penggunanya. Sehingga, jika perusahaan-perusahaan tersebut dipaksa “bercerai” dengan Google, maka pendapatan mereka pun berpotensi ikut menyusut.
Search Engine Market Share Di Dunia dan US (September 2023)
Teknologi kecerdasan buatan (AI) terbilang ngetren sejak tahun lalu berkat kehadiran chatbot viral ChatGPT. Tak heran jika sejumlah perusahaan teknologi tertarik untuk ikut mereguk cuan dari “tambang emas” baru bernama teknologi AI, tak terkecuali Alphabet.
Saat ini, Alphabet tengah mengembangkan beberapa Large Language Model (LLM) seperti Gemini dan PaLM 2 yang bisa menjadi algoritma dasar bagi pengembangan produk-produk berbasis kecerdasan buatan.
Namun, perusahaan berdalih bahwa profitabilitas bukanlah motivasi utama dalam mengembangkan sejumlah algoritma tersebut. Alphabet mengatakan, produk teknologi memang membutuhkan kehadiran teknologi AI agar kinerja chip Tensor Processing Unit (TPU) bisa lebih optimal, sehingga nantinya performa mesin pencarian dan perlindungan data-data krusial bisa menjadi lebih baik dan lebih aman.
Selain menggodok LLM secara mandiri, Alphabet juga diketahui telah mengintegrasikan teknologi AI untuk mendongkrak pendapatan iklan dari produk-produk ngetopnya seperti YouTube dan mesin pencarian Google Search.
Sebagai contoh, perusahaan telah memasang teknologi AI di Google Search dan YouTube agar iklan-iklan yang ditayangkan ke pengguna sesuai dengan konten-konten yang mereka cari atau tonton sebelumnya. Hal tersebut merupakan dampak positif dari integrasi Google Search dan YouTube dengan teknologi chatbot besutan perusahaan bernama Bard.
Hal ini diharapkan membuat pemasangan iklan di platform-platform Google menjadi lebih efektif dan tepat sasaran.
Upaya tersebut bisa dibilang sudah berbuah manis. Saat ini, perusahaan mencatat bahwa 80% dari total layanan periklanan di Google Search dan YouTube telah diproses melalui teknologi AI, mulai dari proses pembuatan konten iklan hingga bagaimana iklan-iklan itu bisa ditampilkan ke pengguna di momentum yang tepat.
Integrasi teknologi AI tersebut, plus basis pengguna yang masif dan ekosistem yang besar, diharapkan dapat memperkokoh posisi Google di sektor mesin pencarian yang diramal bakal terus bertumbuh setiap tahun. Adapun ukuran pasar dari mesin pencarian diharapkan akan tumbuh dari US$167 miliar di 2021 menjadi US$447 miliar di 2031, atau tumbuh 11,1% secara CAGR.
Berbicara mengenai diversifikasi bisnis Alphabet, bisa dibilang bahwa ponsel pintar Google Pixel merupakan salah satu upaya diversifikasi perusahaan yang paling sukses.
Betapa tidak, meski pendapatan yang dihasilkan dari Google Pixel hanya berkontribusi sekitar 10% dari total pendapatan perusahaan, pertumbuhan pendapatannya sejatinya terbilang cukup pesat, yakni dari US$14 miliar di 2018 menjadi US$29 miliar di 2022 alias tumbuh 27,5% secara CAGR.
Pluang menganggap, pertumbuhan tersebut bakal semakin kinclong di tahun depan setelah perusahaan merilis dua seri Google Pixel terbarunya, Pixel 8 dan Pixel 8 Pro, di Oktober 2023. Pasalnya, keduanya merupakan gebrakan baru di industri ponsel pintar lantaran ditenagai teknologi AI, sehingga Alphabet sejatinya memiliki keunggulan first-mover advantage di tipe produk tersebut.
Google bisa dibilang sangat beruntung ketika mengakuisisi YouTube sebesar US$1,65 miliar pada 2006 silam. Sebab, kini platform tersebut telah menjelma menjadi sarana berbagi video paling populer di dunia.
Sebagai gambaran, saat ini YouTube menjadi rumah bagi 100.000 kreator konten di seluruh dunia dan memiliki pengguna aktif bulanan (MAU) sebesar lebih dari 2,5 miliar pengguna. Bahkan, pengguna YouTube pun diproyeksikan akan tumbuh dari 2,9 miliar pengguna di 2023 menjadi 3,2 miliar pengguna di 2024.
Nah, pertumbuhan basis pengguna itu diharapkan dapat memberi angin segar bagi pertumbuhan pendapatan Alphabet ke depan. Sebab, YouTube berpotensi meraup pendapatan iklan dan pendapatan berlangganan yang lebih besar lagi dari posisi saat ini.
Sekadar informasi, pendapatan iklan dan biaya berlangganan dari penggunanya adalah dua motor utama pendapatan YouTube. Sobat Cuan bisa melihat performa dua sumber pendapatan tersebut sejak 2020 melalui grafik di bawah ini.
Di satu sisi, pendapatan iklan didorong oleh kemitraan YouTube dengan berbagai jenama melalui dua tipe iklan. Adapun iklan video berdurasi 30 detik yang tidak bisa dilompati penggunanya (unskippable ads) merupakan tipe iklan yang paling menguntungkan bagi YouTube karena memiliki tarif lebih mahal dibanding tipe iklan lainnya. Maklum saja, tipe iklan satu ini memiliki tingkat impression yang juga tinggi, yakni sebesar 70%.
Di sisi lain, YouTube juga menggaet pendapatan dari paket-paket langganan yang ditawarkan ke penggunanya.
Sebagai contoh, pengguna bisa menonton video tanpa iklan jika berlangganan YouTube Premium dengan rata-rata harga berlangganan US$12 per bulan. Di samping itu, YouTube juga menawarkan produk berlangganan lain seperti YouTube TV dan YouTube Music.
Saat ini, pengguna yang membayar biaya langganan YouTube masih terbilang “mini”, yakni sekitar 80 juta pelanggan saja. Namun, angka tersebut diharapkan bertumbuh seiring jumlah pengguna YouTube yang diramal meningkat di tahun depan.
Alphabet meraup pendapatan US$282,84 miliar di 2022 atau tumbuh lebih dari 15% secara CAGR dari 2018.
Dari angka tersebut, penyumbang terbesarnya adalah segmen Google Services dengan nilai US$253,52 miliar atau 86,94% dari total pendapatan perusahaan. Selain itu, pendapatan segmen Google Services juga mencatat pertumbuhan yang cukup mumpuni, yakni 6,72% jika dibanding setahun sebelumnya.
Rupanya, pertumbuhan pendapatan itu didorong oleh besarnya ukuran ekosistem Google. Dengan kata lain, hanya dengan membuat satu akun saja, pengguna bisa menikmati serangkaian produk-produk unggulan Google seperti Chrome, Google Mail, YouTube, Google Search, Android, dan Google Play Store.
Nah, luasnya ekosistem tersebut sukses membuat penggunanya susah berpaling dari Google. Bahkan, menurut data terakhir, terdapat lebih dari 2 miliar pengguna yang menikmati masing-masing aplikasi yang ditawarkan Google.
Ternyata, hal tersebut juga berimbas positif bagi pendapatan iklan Google. Pemasang iklan tentunya semakin pede untuk mempromosikan produk-produknya melalui aplikasi-aplikasi di bawah naungan Google setelah melihat basis pengguna Google yang sangat masif.
Akibatnya, iklan-iklan yang dipasang di Google Service pun sukses mendatangkan penghasilan US$148,91 miliar atau 88,5% dari total pendapatan iklan Google sepanjang 2022.
Segmen komputasi awan Google, Google Cloud, sepertinya gagal tampil necis di tahun lalu. Sebab, meski meraup pendapatan US$26,3 juta di 2022, Google Cloud ternyata mencetak rugi operasional sebesar US$2,97 juta.
Namun, nasib apes itu diharapkan bakal berubah berkat tiga inisiatif yang saat ini tengah digodok perusahaan.
Pertama, Google Cloud bakal mengintegraiskan teknologi AI dengan produk teknologi awan miliknya. Dalam hal ini, Google akan memasang Bard dan memanfaatkan TPU untuk mempersempit kompetisinya dengan produk awan lain seperti AWS milik Amazon dan Azure milik Microsoft.
Kedua, Google Cloud juga berencana untuk menggarap segmen ritel dan pelayanan kesehatan, sebuah target pasar yang sampai saat ini masih susah ditembus oleh AWS Amazon. Asal tahu saja, perusahaan besar pada segmen ritel dan pelayanan kesahatan enggan menggunakan AWS karena layanan awan itu terintegrasi dengan Amazon.com, yang merupakan pesaing langsung dari perusahaan-perusahaan tersebut.
Ketiga, Google Cloud juga akan memperluas kemitraannya dengan menggandeng integrator sistem piranti lunak seperti Palo Alto Networks dan Nvidia.
Alphabet membukukan laba kotor dan laba bersih masing-masing sebesar US$156,6 miliar dan US$59,97 miliar di 2022. Meski nilai laba tersebut terbilang mumpuni, Alphabet tidak membagikan dividen dan justru menaruhnya sebagai laba ditahan (retained earnings) demi membiayai pengembangan inovasi-inovasi baru.
Di samping itu, perusahaan juga memiliki arus kas bebas positif yang juga ditujukan untuk membiayai kegiatan investasi yang dilakukan perusahaan. Sobat Cuan bisa menyimak pertumbuhan laba dan arus kas bebas Alphabet antar tahun melalui grafik berikut:
Data Bloomberg menunjukkan bahwa valuasi perusahaan dari segi rasio nilai perusahaan terhadap laba sebelum pajak, bunga, amortisasi, dan depresiasi (EV/EBITDA) berada di level 12,7x per 12 Oktober 2023 alias lebih tinggi dibanding rata-ratanya selama lima tahun 12,4x.
Sementara itu, analis menganggap bahwa valuasi wajar dari Alphabet Inc berada di US$150,44, sehingga mereka pun menggSanjar saham perusahaan dengan rating BUY lantaran terdapat potensi keuntungan sebesar 7,2%.
Layanan Google memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap kondisi perekonomian mengingat pendapatan utama perusahaan didorong oleh pendapatan iklan.
Dengan kata lain, jika situasi ekonomi sedang lesu, maka pendapatan perusahaan-perusahaan akan ikut layu. Akibatnya, mereka pun akan memangkas anggaran pemasarannya, salah satunya adalah pemasangan iklan di Google.
Alphabet selama ini mendapatkan pendapatan terbesarnya dari Amerika Serikat (AS) dan kawasan Eropa dan Timur Tengah (EMEA) jika ditilik dari aspek geografis. Namun implikasinya, pendapatan dari perusahaan bisa goyah dengan cepat jika terdapat regulasi baru yang mengancam sepak terjang perusahaan di kedua wilayah tersebut.
Di samping itu, kehadiran regulasi baru tersebut mungkin bakal membuat Alphabet merogoh kocek lebih dalam untuk menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku di kedua wilayah tersebut.
Seperti yang disinggung sebelumnya, sejumlah perusahaan teknologi memasang Google Search sebagai mesin pencari default di gawai-gawai besutannya. Kerja sama ini pun sukses membuahkan pendapatan sebesar US$1 miliar bagi perusahaan di 2022, yang utamanya berasal dari bagi hasil (revenue sharing) Google Search dan Play Store antara Google dan perusahaan-perusahaan teknologi tersebut.
Namun, jika perusahaan-perusahaan tersebut memutuskan hubungannya dengan Google, maka kinerja keuangan Alphabet pun bisa kena getahnya.
Pembatalan kontrak tersebut akan menurunkan pangsa pasar Google di sektor mesin pencarian. Hal itu tentu kemudian akan diikuti oleh penurunan pendapatan iklan atau revenue sharing seiring menyusutnya jumlah pengguna mesin pencarian Google Search.
Download aplikasi Pluang untuk investasi Saham AS, emas, ratusan aset kripto dan puluhan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Bagikan artikel ini