Carbon trading adalah salah satu upaya mitigasi pemanasan global. Yuk, simak penjelasannya lewat artikel berikut ini!
Carbon trading adalah salah satu alternatif untuk mengurangi emisi karbon sekaligus mendatangkan cuan. Menurut investopedia, carbon trading atau perdagangan karbon adalah aktivitas jual beli izin untuk melepaskan carbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca lainnya ke udara.
Perdagangan ini melibatkan negara dalam transaksinya sebagai pemberi izin. Berangkat dari protokol Kyoto yang berlaku efektif sejak tahun 2005, skema perdagangan ini bertujuan untuk menekan emisi karbon secara bertahap dalam rangka mencegah pemanasan global.
Protokol Kyoto sendiri menargetkan penurunan emisi karbon sebanyak 5% dari level global di tahun 1990 pada tahun 2012. Meski hasilnya multitafsir, protokol ini tetap menjadi dasar praktek perdagangan karbon hingga hari ini dengan harapan laju peningkatan emisi global akan lebih terkendali berkat kapitalisasi karbon.
Baca juga: Mengenal Futures Trading dan 5 Persiapannya bagi Pemula
Prinsipnya, carbon trading adalah praktek untuk membatasi produksi karbon. Caranya dengan memberi kuota maksimal produksi karbon pada masing-masing negara.
Kuota tersebut merupakan insentif bagi negara yang telah menyepakati protokol Kyoto untuk menekan produksi karbonnya. Selain bertujuan agar produksi karbon tidak melebihi kuota yang ditetapkan, negara dengan kuota berlebih bisa memperoleh cuan dengan menjual kuota karbon pada negara lain yang mengalami surplus karbon.
Negara maju dengan aktivitas ekonomi tinggi memang cenderung memproduksi lebih banyak emisi karbon ketimbang negara yang ekonominya melambat. Karenanya, negara maju dengan devisa melimpah sering membeli kuota karbon dari negara yang lebih miskin.
Seiring waktu, negara-negara kaya mulai mengalihkan budget pembelian izin melepaskan karbon kepada investasi yang lebih ramah lingkungan. Sehingga mereka bisa mencukupi produksi karbonnya dengan kuota milik mereka sendiri tanpa harus membeli kuota milik negara lain.
Skema ini dianggap win-win solution. Entah surplus atau pun defisit karbon, keduanya memiliki imbas positif terhadap upaya masing-masing negara dalam mengatur produksi emis gas rumah kaca yang dihasilkan.
Hingga saat ini belum ada platform ataupun pasar yang mengakomodir terjadinya perdagangan karbon antar negara secara global. Namun, negara-negara dengan yurisdiksi yang bersilangan seperti Amerika Serikat dan Canada, serta Uni Eropa membuka pasar regionalnya sendiri dalam rangka memfasilitasi perdagangan emisi ini.
Di tahun 2021, China merilis pasar yang diklaim sebagai pasar karbon terbesar. Pasar tersebut melibatkan 40% penyumbang emisi di negara tirai bambu untuk bisa bertukar hak merilis karbonnya dengan imbalan tertentu.
Uni Eropa juga memiliki The European Union Emission Trading System yang disebut-sebut sebagai benchmark pasar karbon dunia. Kendati begitu, pasar-pasar karbon yang ada belum memiliki akses terbuka laiknya pasar finansial.
Baca juga: Memahami 5 Sumber Sinyal Trading Utama bagi Trader Pemula
Indonesia menerapkan carbon trading berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Mencapai Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Dasar hukum tersebut terbit setelah Indonesia meratifikasi perjanjian lanjutan dari praktek perdagangan karbon, yakni Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change.
Carbon trading di Indonesia menempatkan nilai ekonomi karbon sebagai objek perdagangannya. Definisinya adalah nilai dari setiap unit emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan kegiatan ekonomi.
Tiap nilai ekonomi karbon yang diproduksi akan menjadi pungutan, baik pungutan bagi pemerintah daerah (Pemda) maupun pungutan negara. Pungutan tersebut menghitung komponen kandungan karbon, potensi emisi karbon, jumlah emisi karbon hingga upaya mitigasinya dalam kalkulasi besaran pungutan.
Secara riil, pungutan karbon berupa pajak kendaraan bermotor, pajak bahan bakar, PPBM hingga pajak karbon. Nantinya, pungutan akan masuk dalam kantong kas daerah sebagai pendapatan daerah maupun ke kas negara sebagai pendapatan pajak. Keduanya memiliki implikasi terhadap pertambahan pendapatan negara.
Meski skemanya cukup cerdas dalam menghasilkan solusi win-win, carbon trading tidak terlepas dari kritik pedas. Terutama pada unsur politik yang bermain dalam pembagian kuota maupun pencatatan dan pemungutannya.
Politisasi carbon trading bukanlah praktek yang asing. Sudah bukan rahasia lagi bahwasannya praktek carbon trading saat ini belum akuntable dan ideal sebagaimana rancangan semula.
Imbasnya tentu pada upaya menekan pemanasan global yang selalu meleset dari target. Kalkulasi dibalik strategi mitigasi global warming menghadapi kendala yang sulit terselesaikan lantaran politisasi perdagangan karbon yang berurat akar.
Disisi lain, insentif ini juga dianggap memberatkan industri, terutama manufaktur, yang sedang menghadapi ancaman resesi dan pelemahan daya beli masyarakat. Pungutan pajak karbon yang solutif bagi negara dan pemerhati lingkungan merupakan disinsentif yang dianggap memberatkan industri.
Kontradiksi ini masih menjadi perdebatan sengit di Indonesia saat ini.
Baca juga: Mengenal Quantitative Trading, Strategi Trading Berdasarkan Data
Download aplikasi Pluang untuk investasi Saham AS, emas, ratusan aset kripto dan puluhan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Sumber: ICDX, Investopedia
Bagikan artikel ini