Investasi

down-icon
item
Investasi di pasar terbesar dunia dengan Saham AS

Fitur

down-icon
support-icon
Fitur Pro untuk Trader Pro
Temukan fitur untuk menjadi trader terampil

Fitur Proarrow-icon

support-icon
Dirancang untuk Investor
Berbagai fitur untuk investasi dengan mudah

Biaya

Keamanan

Akademi

down-icon

Lainnya

down-icon
item
Temukan peluang eksklusif untuk meningkatkan investasi kamu
support-icon
Bantuan

Hubungi Kami

arrow-icon

Pluang+

Berita & Analisis

Apa Saja 3 Resesi Indonesia Paling Parah Sepanjang Sejarah?
shareIcon

Apa Saja 3 Resesi Indonesia Paling Parah Sepanjang Sejarah?

14 Jul 2023, 5:34 AM·Waktu baca: 4 menit
shareIcon
Kategori
Resesi Indonesia

Indonesia tak pernah lepas dari pergolakan ekonomi, termasuk resesi. Lantas, apa saja tiga resesi Indonesia paling parah sepanjang sejarah?

Sejarah Resesi Indonesia

Resesi ekonomi adalah terjadinya tren perlambatan pertumbuhan ekonomi ke zona negatif selama dua kuartal berturut-turut. Penyebab resesi pun beragam, mulai dari krisis finansial, inflasi yang terlampau tinggi, hingga guncangan ekonomi yang berasal dari negara lain.

Apabila ditilik dari sejarahnya, meski bisa dimitigasi, resesi ekonomi bisa mengintai seluruh negara di dunia. Negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS) saja pernah dilanda resesi hebat, utamanya ketika era The Great Depression hampir satu abad silam dan krisis ekonomi yang terjadi pada 2008.

Namun, bagaimana dengan Indonesia? Rupanya, sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah diterjang resesi hebat sebanyak tiga kali yaitu pada tahun 1963, 1998, dan 2020/2021. Penyebab dan dampak resesi yang terjadi pada tahun tersebut pun berbeda-beda.

Nah, untuk menjawab rasa penasaran Sobat Cuan, yuk simak penjelasan sejarah resesi Indonesia berikut!

1. Resesi 1963

Indonesia mengalami resesi ekonomi untuk pertama kalinya pada tahun 1963 yang disebabkan oleh hiperinflasi yang bahkan sempat mencapai 600%.

Masa ini merupakan era di mana mantan Presiden Soekarno banyak mengambil keputusan pemerintahan yang bertentangan dengan negara lain, bahkan Indonesia sampai memutuskan keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Di samping itu, hiperinflasi tersebut juga terjadi akibat sikap Indonesia yang getol mencetak uang berlebihan demi membiayai proyek-proyek infrastruktur berskala besar, atau yang dikenal dengan proyek mercusuar.

Selama periode tersebut, inflasi domestik melambung hingga 119% bersamaan dengan amblesnya indikator makroekonomi. Sebagai buktinya, Produk Domestik Bruto (PDB) nasional terkontrasi sebesar 2,24% pada tahun itu yang dipicu oleh penurunan pengeluaran rumah tangga sebesar 3,95%, ekspor-impor sebesar 26,58%, dan investasi sebesar 23,69%.

Masa kelam ini berlangsung hingga tahun 1965, di mana belanja pemerintah membengkak dan menyebabkan defisit anggaran kronis demi membiayai proyek-proyek mercusuar tersebut. Akibatnya, pemerintah pun menutupi defisit tersebut dengan terus mencetak uang meski inflasi jumbo menjadi taruhannya. 

Pada tahun 1967, pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai menanjak yang dilihat dari melambatnya laju inflasi setelah Soeharto menjabat sebagai Presiden. Situasi politik di Indonesia membaik karena Indonesia kembali bergabung dengan PBB dan mendapatkan bantuan dari International Monetary Fund (IMF).

Dan pada tahun 1970-1980an, ekonomi Indonesia kembali positif dan naiknya harga minyak dunia ikut mendorong perekonomian dalam negeri.

Baca juga: Memahami 9 Faktor Penyebab Resesi Ekonomi Secara Umum

2. Resesi 1998

Resesi hebat kedua terjadi pada 1998 yang disebabkan oleh krisis keuangan Asia atau dikenal juga dengan krisis moneter.

Sebelumnya, di awal 1990-an, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi berkisar 6% dan inflasi stabil di angka 5,1%. Namun, setelah melewati masa bulan madu tersebut, Indonesia mengalami resesi hebat di 1998.

Pada 1998, Indonesia mengalami kontraksi ekonomi hingga 13,13% bersamaan dengan melambungnya inflasi hingga mencapai 77,63%. Ekonomi domestik terkontraksi 6,4% pada kuartal I dan kontraksi semakin membesar menjadi 16,8% pada kuartal II dan 17,4% pada kuartal IV.

Krisis keuangan asia di tahun ini, berawal dari Thailand yang meninggalkan kebijakan nilai tukar tetapnya (fixed exchange rate) terhadap Dolar AS pada Juli 1997. Kebijakan tersebut membuat banyak perusahaan menjadi gagal bayar karena nilai mata uang yang melemah.

Hal tersebut pun berdampak ke Indonesia di mana nilai tukar rupiah anjlok hingga 80%. Nilai Rupiah tembus ke level Rp16.900 per Dolar AS. Padahal normalnya posisi Rupiah berada di level Rp9.000 per Dolar AS.

Tidak berhenti disitu, inflasi pun kembali meroket hingga 80% yang artinya terjadi kenaikan harga barang secara signifikan. Situasi ini membuat menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah hingga menyebabkan terjadinya demo besar-besaran.

Keuangan negara pun ikut memburuk, bahkan utang Indonesia mencapai US$138 miliar per Maret 1998. Selain itu, angka kemiskinan di Indonesia juga melambung tinggi mencapai 24,2% dari total penduduk atau sekitar 49,5 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan.

Resesi berlangsung selama 9 bulan atau tiga kuartal berturut-turut dan membuat Indonesia memasuki masa depresi ekonomi. Resesi ini juga berdampak pada berkurangnya industri besar dan sedang secara drastis yakni dari 22.997 perusahaan menjadi 20.422, serta anjloknya jumlah tenaga kerja hingga 18,5% atau 3,53 juta orang pada tahun 1998.

3. Resesi Indonesia Tahun 2020/2021

Resesi ketiga yang dialami Indonesia terjadi pada 2020/2021 dan disebabkan oleh krisis kesehatan. Pada periode ini, PDB nasional terkontraksi selama empat kuartal yakni dari kuartal II-2020 hingga kuartal I-2021.

Krisis kesehatan bermula dari menyebarnya virus COVID-19 dari China. Virus ini menyebar dengan cepat ke seluruh dunia hingga Badan Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya menetapkan COVID-19 sebagai pandemi global pada 13 Maret 2020.

Untuk menghentikan penyebaran virus, seluruh negara di dunia terpaksa menerapkan kebijakan pembatasan mobilitas hingga menutup perbatasan atau akses keluar-masuk dengan negara lain. Akibatnya, lalu lintas barang dan manusia secara global berkurang drastis.

Hal tersebut menyebabkan berhentinya aktivitas ekonomi mulai dari produksi, perdagangan, pariwisata, hingga konsumsi, tak terkecuali Indonesia. Berhentinya aktivitas ekonomi membuat angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia melonjak tajam hingga mencapai level double digit untuk pertama kalinya sejak September 2017.

Selama pandemi COVID-19, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 1,77 juta penduduk juga tidak bekerja untuk sementara waktu sementara 24,03 juta penduduk bekerja dengan pengurangan jam kerja. Survei Badan Program Pembangunan PBB (United Nations Development Programme/UNDP) juga menunjukkan, 24% UMKM Indonesia harus berhenti beroperasi akibat pandemi karena kekurangan modal dan penjualannya turun drastis.

Lebih lanjut, ekonomi Indonesia tercatat terjun bebas pada kuartal I-2020 dengan adanya kontraksi sebesar 5,32%. Kontraksi mengecil pada kuartal III-2020 sebesar 3,49%, kuartal IV sebesar 2,17%, dan kuartal IV sebesar 0,70%.

Kemudian, pada kuartal II-2021, ekonomi Indonesia kembali bangkit setelah mencatat pertumbuhan ekonomi 7,07%.

Baca juga: Apa Itu Resesi Global dan Tanda-tandanya?

Mulai Perjalanan Investasimu dengan Aman di Pluang!

Download aplikasi Pluang untuk investasi Saham AS, emas, ratusan aset kripto dan puluhan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!

Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!

Sumber: CNBC Indonesia, CNN Indonesia

Ditulis oleh
channel logo

Galih Gumelar

Right baner

Galih Gumelar

Bagikan artikel ini

Artikel Terkait
ekonomi
Memahami Pengertian Outsourcing Serta Kelebihan dan Kekurangan
news card image
no_content

Trading dan Investasi dengan Super App Investasi  #1