Resesi adalah kondisi yang ditakutkan suatu negara. Namun, apa saja sembilan faktor penyebab resesi ekonomi yang umum?
Resesi ekonomi adalah istilah yang mengacu pada penurunan pertumbuhan ekonomi ke zona negatif selama dua kuartal berturut-turut. Namun, secara konsep, pengertian resesi juga mencakup menurunnya jumlah pendapatan, meningkatnya pengangguran, dan lesunya daya beli masyarakat.
Sementara itu, lembaga non-profit AS Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) mendefinisikan resesi sebagai sebagai penurunan signifikan dalam aktivitas yang tersebar di seluruh perekonomian, berlangsung lebih dari beberapa bulan, dan terlihat dari menurunnya produksi industri, lapangan kerja, pendapatan riil, dan perdagangan eceran grosir.
Dengan demikian, suatu negara dapat dikatakan sedang mengalami resesi ekonomi, ketika terjadi tren perlambatan aktivitas bisnis dan konsumen secara bersamaan yang mengarah ke pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Namun pertanyaannya, apa saja sih faktor-faktor penyebab suatu negara bisa mengalami resesi?
Baca Juga: Krisis Finansial
Sekadar informasi, resesi ekonomi merupakan salah satu fase di siklus ekonomi yang menandakan bahwa ekonomi sedang terkontraksi. Namun, mengapa ekonomi tiba-tiba mengalami kemunduran dan berujung pada resesi?
Hilangnya kepercayaan pada ekonomi mendorong masyarakat untuk mengerem konsumsinya. Hal itu bisa saja terjadi karena faktor psikologis. Sebagai contoh, masyarakat mungkin merasa bahwa inflasi sudah terlalu tinggi sehingga mereka pun memilih menyimpan uangnya dibandingkan konsumsi.
Namun, jika permintaan barang dan jasa berkurang, maka hal itu akan berdampak pada berkurangnya keuntungan bisnis dan kemampuan perusahaan untuk mempekerjakan lebih banyak karyawan.
Hal itu nantinya akan berimbas pada penurunan penyerapan lapangan pekerjaan dan meningkatnya angka pengangguran. Jika kondisi itu dibiarkan berlarut-larut, maka pendapatan masyarakat akan berkurang dan pada akhirnya akan semakin menurunkan daya beli masyarakat.
Suku bunga adalah penghubung utama antara sektor keuangan dengan keputusan ekonomi perusahaan dan konsumen.
Jika suku bunga meningkat, maka masyarakat akan mendapat pinjaman dengan bunga lebih tinggi sehingga mereka pun tidak tergugah untuk mengonsumsi. Di saat yang sama, kenaikan suku bunga acuan juga membuat pinjaman dunia usaha menjadi tinggi, sehingga mereka pun tidak bergairah untuk berinvestasi atau mengekspansi bisnisnya.
Sayangnya, penurunan kredit pada akhirnya akan menurunkan permintaan barang dan jasa. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi pun melorot dan bisa berujung ke resesi jika tidak dimitigasi sesegera mungkin.
Baca juga: Suku Bunga Pengaruhi Investasi? Ini 3 Sektor Vital yang Terkena Imbas
Selanjutnya, resesi dapat disebabkan oleh ambruknya pasar saham. Mengapa demikian?
Ketika kinerja saham amburadul, perusahaan jadi punya permodalan dengan ukuran yang lebih mini. Namun, hal itu pun akan mempengaruhi kegiatan operasionalnya dan menyebabkan kondisi yang tidak diinginkan seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) atau kebangkrutan.
Sementara itu, bagi investor, penurunan kinerja saham akan memangkas nilai portofolionya. Kondisi tersebut akan menyebabkan kepanikan dan memicu penarikan modal besar-besaran dari pasar modal. Dalam situasi ini, investor asing pun akan melakukan penarikan dana (capital outflow) yang ujungnya menggoyahkan nilai tukar mata uang negara tersebut.
Kejatuhan pasar saham umumnya terbilang jitu dalam menaksir resesi ekonomi. Sebagai contoh, krisis finansial AS di 2008 rupanya memicu resesi ekonomi. Selain itu, terdapat pula peristiwa kejatuhan saham bernama Black Tuesday di 1929 yang ternyata menjadi gerbang peristiwa yang disebut The Great Depression.
Resesi pascaperang sering terjadi dalam sejarah AS. Contohnya adalah resesi setelah Perang Dunia II, Perang Korea, Perang Vietnam, dan Perang Teluk.
Pertumbuhan ekonomi AS rata-rata turun 4,5% setelah Perang Korea, Perang Vietnam, dan Perang Teluk turun 4,5% dengan tingkat pengangguran yang naik rata-rata 1% di periode yang sama.
Krisis kredit terjadi ketika perbankan mengalami likuiditas yang seret sehingga tidak memiliki dana untuk disalurkan sebagai kredit. Hal ini bisa terjadi karena bank terbilang gagal dalam menggaet likuiditas, misalnya dalam bentuk Dana Pihak Ketiga (DPK), atau terjadi penarikan besar-besaran akibat kepanikan (bank run).
Seperti yang diketahui, deflasi terjadi ketika harga barang dan jasa menurun dalam suatu periode waktu. Jika deflasi menjadi tidak terkendali, maka bisnis bisa berhenti karena tidak ada orang yang mempunyai daya beli walaupun harga barang dan jasanya semakin murah.
Apabila hal tersebut dibiarkan, maka penurunan ekonomi bisa terjadi kapan saja. Dengan kata lain, deflasi menyebabkan peningkatan pengangguran, karena perusahaan perlu memangkas biaya dan berdampak pada daya beli.
Ketika individu atau bisnis mengajukan terlalu banyak utang, maka dana untuk melunasi utang tersebut juga ikut meningkat sampai ke posisi mereka sudah tidak sanggup lagi untuk membayar utangnya.
Namun, banyaknya utang gagal akan menggoyahkan likuiditas perbankan. Alhasil, perbankan pun tidak memiliki dana lain untuk disalurkan sebagai kredit. Menurunnya kredit akan menyurutkan minat investasi dan konsumsi dan pada akhirnya memicu kontraksi ekonomi.
Sebenarnya, inflasi bukanlah hal yang buruk, tapi inflasi yang terjadi secara berlebihan bisa sangat berbahaya.
Inflasi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama bisa menyurutkan daya beli masyarakat dan berujung pada pelemahan pertumbuhan ekonomi.
Hal dasar yang menjadi penyebab terjadinya resesi ekonomi adalah terjadinya guncangan ekonomi secara mendadak sehingga menimbulkan masalah keuangan yang sangat serius. Contohnya seperti guncangan ekonomi terjadi akibat pandemi COVID-19 yang melanda dunia.
Baca juga: Jangan Panik, Ini 9 Cara Positif Atasi Resesi Ekonomi Akibat COVID-19
Pada umumnya, pemerintah akan memberikan stimulus fiskal dan moneter untuk mengeluarkan negaranya dari jeratan resesi. Kedua hal tersebut diharapkan mampu menggairahkan permintaan agregat sehingga pertumbuhan ekonomi pun kembali membaik.
Lantas, seperti apa contoh kebijakan-kebijakan tersebut?
Respons dari kebijakan fiskal di antaranya melakukan realokasi anggaran negara, menurunkan tingkat pajak, memberikan bantuan sosial bagi golongan masyarakat tertentu, dan insentif terhadap sektor usaha yang terdampak hingga pekerja berpenghasilan rendah.
Respons dari kebijakan moneter di antaranya adalah dengan upaya stabilitas nilai tukar, mengubah kebijakan makroprudensial, dan mengubah kebijakan suku bunga acuan.
Download aplikasi Pluang untuk investasi Saham AS, emas, ratusan aset kripto dan puluhan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Sumber: The balance, Investopedia
Bagikan artikel ini