The Merge adalah sebuah peristiwa penting bagi Ethereum. Lantas, apa itu The Merge dan apa fungsinya bagi jaringan Ethereum?
Secara sederhananya, The Merge adalah sebuah peristiwa di mana jaringan blockchain Ethereum menggabungkan jaringan Beacon Chain yang didasarkan pada algoritma konsensus Proof-of-Stake (PoS) dengan jaringan utamanya (mainnet).
Penggabungan yang tuntas terjadi pada 15 September 2022 ini pun menjadi gerbang bagi "versi" terbaru Ethereum, yakni Ethereum 2.0, dan sekaligus menjadi tonggak sejarah penting bagi perkembangan jaringan Ethereum.
Pasalnya, usai The Merge, Ethereum resmi meninggalkan konsensus Proof-of-Work (PoW) yang dianggap boros energi dan beralih mengadopsi sistem konsensus PoS yang disebut bisa mengurangi konsumsi energi Ethereum hingga 99,95%. Selain itu, proses penciptaan koin baru yang sebelumnya dilakukan melalui proses penambangan (mining) juga ikut berubah menjadi proses staking.
Baca Juga: Memahami Ethereum Classic, Apa Bedanya dengan Ethereum?
The Merge sejatinya bukanlah ide yang diusung Ethereum kemarin sore. Malahan, konsep mengenai transisi dari konsensus PoW ke PoS di jaringan Ethereum sejatinya sudah berada di dalam benak pengembang Ethereum sejak 2014.
Kala itu, Ethereum menganggap bahwa sistem PoW mengonsumsi daya listrik yang boros dan memakan biaya besar. Selain itu, posisi Ethereum sebagai pionir jaringan smart contract juga membuatnya ramai dipadati oleh pengembang aplikasi kripto. Nah, combo dua faktor tersebut rupanya berkontribusi dalam meningkatkan biaya transaksi (gas fees) yang perlu dibayar penggunanya di jaringan tersebut.
Makanya, agar Ethereum punya biaya transaksi efisien dan skalabilitas yang mumpuni, maka tercetuslah ide mengenai The Merge yang berbasis algoritma konsensus PoS. Alasannya, dengan menggunakan algoritma PoS, penambang nantinya akan mendapat reward dengan hanya mengalokasikan aset kripto ETH-nya untuk memvalidasi seluruh transaksi yang terdapat di jaringan Ethereum (staking). Metode ini dianggap jauh lebih murah dan tidak boros energi dibanding PoW, di mana penambang baru akan mendapat reward jika berhasil menebak teka-teki matematis yang ribet.
Pada awalnya, Ethereum berharap The Merge bisa diimplementasikan pada 2016. Sayangnya, para penambang Ethereum saat itu ngotot tidak menginginkan perubahan apapun di jaringan Ethereum.
Sebagai jalan keluar, Ethereum akhirnya sengaja menambah tingkat kesulitan teka-teki algoritmanya agar para penambang terpaksa menyetujui transisi ini. Di waktu yang sama, penambang juga menghadapi waktu penciptaan blok transaksi yang melambat, bahkan mencapai 13 detik untuk menciptakan satu blok transaksi saja.
Nah, aksi Ethereum plus hambatan di jaringan tersebut akhirnya menurunkan tingkat profitabilitas para penambang. Pada akhirnya, para penambang pun perlahan mulai sepakat untuk menghadapi The Merge.
Setelah melalui proses persiapan, Ethereum kemudian meluncurkan jaringan baru bernama Beacon Chain pada 1 Desember 2020 lalu. Kehadiran Beacon Chain ini menjadi babak yang sangat signifikan bagi transisi algoritma konsensus Ethereum nantinya.
Sekadar informasi, Beacon Chain adalah sebuah jaringan yang sudah mengadopsi algoritma konsensus PoS. Kendati begitu, jaringan ini tidak serta merta menggantikan mainnet Ethereum tapi berjalan beriringan bersamanya.
Selain itu, Beacon Chain juga tidak memproses seluruh transaksi yang terdapat di mainnet Ethereum. Jaringan anyar tersebut hanya menjadi "ladang uji coba" bagi Ethereum untuk memverifikasi penciptaan blok transaksi berdasarkan sistem PoS.
Setelah itu, Ethereum pun melakukan beberapa kali uji coba sistem PoS di beberapa jaringan uji coba (testnet) miliknya selama dua tahun berikutnya, seperti di jaringan testnet Rosten. Akhirnya, Ethereum pun melakukan The Merge pada September 2022 setelah seluruh rangkaian uji coba tersebut dianggap sukses.
Usai The Merge rampung dilaksanakan, Beacon Chain akan berperan sebagai motor konsensus bagi seluruh data jaringan Ethereum, seperti eksekusi transaksi dan pengelolaan data saldo staking yang dimiliki validator transaksi. Sementara itu, mainnet Ethereum bertugas untuk mengeksekusi penciptaan blok transaksi. Sehingga, di fase ini, pengguna harus memanfaatkan kedua lapis jaringan tersebut untuk mengeksekusi pembentukan satu blok transaksi baru di jaringan Ethereum.
Baca Juga: Mengapa Blockchain Ethereum Disebut Sebagai Supercomputer Global?
Seperti yang disinggung sebelumnya, Ethereum sempat memanfaatkan algoritma konsensus PoW sebelum The Merge. Prosesnya pun mirip seperti yang terjadi di blockchain Bitcoin, di mana transaksi akan tervalidasi dan tercatat di buku besar (ledger) jika penambang berhasil memecahkan kode kriptografi rumit di dalamnya. Sebagai imbalannya, penambang pun akan memperoleh aset kripto jaringan tersebut sebagai imbalannya (reward).
Namun, setelah The Merge, Ethereum pun ikut mengubah proses validasi tersebut.
Untuk memperoleh reward dalam bentuk ETH, pengguna perlu menjadi validator transaksi, yakni dengan melakukan staking atau menyimpan minimal 32 keping ETH di jaringan Ethereum sebagai jaminannya. Seluruh ETH tersebut akan terkunci sampai waktu yang ditentukan, sehingga validator pun tak bisa menarik ETH yang telah di-staking setiap saat. Setelahnya, para validator pun dianggap layak untuk menjalankan node-node validasi transaksi di jaringan Ethereum.
Namun, sistem PoS di Ethereum terbilang cukup unik.
Biasanya, blockchain lain menerapkan sistem di mana mereka yang memiliki porsi staking besar juga akan memiliki kuasa yang lebih kuat dalam melakukan validasi transaksi. Tetapi, jaringan Ethereum melakukan pengundian secara acak untuk memilih siapa validator yang berhak untuk mengajukan blok transaksi baru ke dalam blockchain.
Ethereum sudah mendambakan The Merge sejak lama, sehingga tentu saja proses ini memiliki manfaat tersendiri bagi jaringan tersebut. Adapun manfaat yang diperoleh dari The Merge terdiri dari:
Ketika menganut sistem PoW, pengguna Ethereum yang ingin menjadi validator transaksi tentu harus memiliki perangkat keras super canggih untuk "menambang" ETH. Pasalnya, penambangan dilakukan dengan memecahkan kriptografi rumit, sehingga mereka pun wajib menggunakan perangkat keras yang memiliki daya komputasi tinggi.
Namun, sistem PoS mengeliminasi proses pemecahan kriptografi, sehingga mereka yang memiliki perangkat keras dengan spek "seadanya" bisa berkontribusi menjadi validator transaksi. Hal ini tentunya akan memperbaiki aspek desentralisasi, yakni salah satu "hukum" dasar yang perlu dipenuhi teknologi blockchain.
Sebelum The Merge, Ethereum "menghadiahi" penambang 2 ETH untuk setiap penciptaan blok transaksi. Jika diakumulasi selama sehari, maka jaringan Ethereum harus menggelontorkan 13.500 ETH per hari sebagai reward penambang. Jumlah yang sangat banyak, bukan?
Namun, masalah ini tidak akan muncul setelah implementasi The Merge. Pasalnya, Ethereum akan memberikan reward berdasarkan berapa banyak ETH yang di-staking di jaringan itu.
Dengan asumsi jumlah ETH yang ditaruhkan sebesar 15 juta keping ketika The Merge, maka protokol pun akan mencetak kurang lebih 1.750 ETH per harinya alias 90% lebih rendah dari total reward sebelum The Merge berlangsung.
Nah, hal ini pun akan berdampak baik pada harga ETH. Sebab, sesuai teori ekonomi, penurunan suplai (dengan asumsi permintaan tetap) akan mengerek harga suatu barang. Selain itu, berkurangnya sirkulasi ETH akan membuat penambang mengurungkan niat untuk menjualnya.
Perubahan sistem PoW menjadi PoS pun akan berdampak positif terhadap jumlah komputasi daya yang dikeluarkan ketika beraktivitas di jaringan Ethereum. Akibatnya, daya listrik yang dikonsumsi pun akan berkurang sangat signifikan, bahkan mencapai 99%. Implikasinya, penambang bisa mendaur ulang sumber daya internalnya demi kebutuhan lain, misalnya keamanan jaringan.
Baca Juga: Mengenal Immutable X, Jaringan Lapis 2 Ethereum
Selain memiliki manfaat, The Merge ternyata juga mengandung risiko bagi keberlangsungan jaringan Ethereum, di antaranya:
Untuk bisa menjadi validator transaksi di Ethereum, maka ia pun harus melakukan staking terlebih dahulu di jaringan tersebut. Oleh karenanya, seluruh pengguna Ethereum pun akhirnya mengetahui secara transparan mengenai siapa-siapa saja yang berhak memvalidasi transaksi di blockchain tersebut untuk saat ini dan setelahnya.
Hanya saja, sistem seperti ini membuat validator terpapar serangan Denial-of-Service (DoS), yakni sebuah serangan siber di mana sang pelaku mengganggu layanan koneksi validator sehingga ia gagal terhubung dengan jaringan Ethereum.
Sebagai contoh, jika validator A mengetahui bahwa validator B akan memvalidasi transaksi setelah gilirannya, maka ia bisa melancarkan serangan DoS kepada validator B demi menghilangkan "jatah" slot validasi milik validator B. Untuk mengisi kekosongan slot, maka validator A pun akan merebut jatah validasi yang semestinya dimanfaatkan oleh validator B.
Sebagai jaringan smart contract andalan fans kripto, Ethereum memiliki banyak aplikasi yang tercipta di atasnya. Namun, beberapa aplikasi tersebut selalu merujuk The Merge sebagai ETH 2, sehingga banyak pengguna Ethereum yang mengira bahwa Ethereum akan meluncurkan aset kripto baru bernama ETH 2.
Ethereum sendiri sudah mengonfirmasi bahwa tidak akan ada aset kripto bernama ETH 2. Sayangnya, misinformasi itu kemudian dimanfaatkan oleh oknum nakal untuk melakukan penipuan, salah satunya adalah pencurian ETH berkedok penawaran jasa penukaran ETH menjadi ETH 2.
The Merge adalah tonggak sejarah penting bagi Ethereum. Sehingga, jika terjadi kegalatan di jaringan Ethereum pascaperistiwa tersebut, maka bisa dipastikan bahwa nilai ETH pun ikut turun.
Download aplikasi Pluang untuk investasi Saham AS, emas, ratusan aset kripto dan puluhan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Sumber: Investopedia, Ethereum
Bagikan artikel ini