Selama ini, investor yang melakukan stop-loss selalu mendapat stigma sebagai investor gagal atau investor apes. Hanya saja, di saat-saat tertentu, stop-loss malah dianggap sebagai langkah paling jitu. Tapi, kapan dan bagaimana seharusnya investor melakukan stop-loss? Simak ulasannya di Pluang Insight berikut!
Sesuai namanya, stop-loss dalam investasi adalah aksi investor untuk membatasi kerugiannya dalam berinvestasi dengan melakukan order di titik harga tertentu. Investor biasanya melancarkan aksi ini ketika meyakini bahwa harga aset yang ia genggam bakal terjun bebas di masa depan.
Hanya saja, investor yang baru berkecimpung di dunia investasi mungkin menganggap bahwa stop-loss adalah tindakan yang sepatutnya dihindari. Maklum, setiap investor tentu ingin mendulang cuan, sementara melancarkan aksi stop-loss justru adalah kebalikannya.
Maka dari itu, tak heran jika selalu ada stigma bahwa mereka yang melakukan stop-loss adalah investor yang kurang ahli karena dianggap gagal memilih instrumen aset yang berprospek mumpuni ke depan.
Namun, Sobat Cuan jangan terlalu terpengaruh oleh stigma tersebut. Sebab faktanya, perusahaan manajemen investasi top sekali pun ikut melakukan stop-loss ketika situasi pasar finansial gonjang-ganjing, seperti krisis finansial Asia 1997 atau krisis ekonomi AS 2008 lalu.
Nah, dari contoh tersebut, Sobat Cuan tentu bisa memahami bahwa melancarkan stop-loss bukanlah ide yang buruk kala berinvestasi. Tetapi, pertanyaan berikutnya adalah, apa sih logika dasar di balik aksi stop-loss? Mengapa investor kadang perlu melakukan stop-loss?
Baca juga: Pluang Insight: Kripto Dihantam Bear Market, Saat Tepat Gunakan Dollar Cost Averaging?
Perusahaan manajemen investasi, misalnya, melakukan stop-loss di saat krisis demi menghindari tekanan emosi ketika market sedang mendung.
Pasalnya, ketika emosi investor semakin bergejolak, maka mereka biasanya cenderung membuat keputusan investasi yang justru semakin merugikan dan bakal mereka sesali di masa depan. Nah, ketimbang trauma berhari-hari (atau bertahun-tahun) karena berinvestasi, lebih baik mereka putuskan saja hubungan dengan aset yang mereka genggam, bukan?
Selain itu, investor juga melakukan stop-loss demi menekan volatilitas nilai portofolionya.
Ketika melakukan stop-loss, investor menaruh order di titik harga tertentu. Dengan kata lain, mereka secara otomatis bakal menjual asetnya di sebuah tingkatan harga terendah tertentu ketika nilai aset yang mereka genggam ambruk seketika.
Nah, hal ini bisa diartikan bahwa mereka tengah memproteksi nilai portofolio mereka dari serangan volatilitas harga yang sangat kencang. Di samping itu, dengan melakukan stop-loss, investor juga bisa mengestimasi jumlah kerugian yang bakal mereka tanggung jika harga aset yang mereka miliki jatuh ke titik stop-loss-nya.
Implikasinya, mereka bisa tidur nyenyak di malam hari tanpa perlu galau memikirkan kerugian dalam berinvestasi.
Hanya saja, di sisi lain, terdapat pula beberapa investor yang cenderung ogah melakukan aksi stop-loss. Mereka yang menempuh langkah tersebut biasanya mengklaim memiliki emosi yang cukup stabil ketika harga aset berfluktuasi.
Di samping itu, mereka juga takut bahwa aksi stop-loss akan membuat mereka kehilangan momen jika suatu saat harga aset yang mereka miliki kembali merangkak naik. Mereka yang beranggapan seperti ini biasanya sudah melakukan riset dan merasa sudah memilih aset yang tepat.
Nah, sekarang saatnya Sobat Cuan menyimak elaborasi lebih detail dari masing-masing kedua argumen tersebut. Mengapa satu kelompok investor lebih pro terhadap stop-loss sementara kelompok lainnya malah memperlihatkan sikap sebaliknya?
Investor yang doyan melakukan stop-loss mengungkapkan bahwa stop-loss berguna untuk memitigasi dua skenario yang kerap dihadapi oleh pelaku pasar dalam berinvestasi.
Skenario pertama adalah kondisi di mana harga sebuah saham atau aset kripto sudah kepalang obsolete, alias minim kemungkinan untuk kembali menanjak.
Pada kasus ini, ambil contoh saham PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) yang nilainya terus menggelinding sampai-sampai PT Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan suspend atas perdagangan saham tersebut. Bayangkan saja kalau investor tidak memangkas kerugiannya pada saat itu. Mereka mungkin masih trauma atas peristiwa tersebut hingga saat ini.
Skenario kedua adalah situasi di mana nilai sebuah saham atau aset kripto telah turun ke level yang sangat ekstrem dan bertahan di zona tersebut pada waktu yang cukup lama.
Untuk kasus ini, ambil contoh nilai aset kripto Internet Computer (ICP) yang baru-baru ini tenggelam dan masih belum menunjukkan tanda-tanda kebangkitan.
Fans garis keras stop-loss berargumen bahwa semua investor jangka panjang tidak bakal bernasib mujur seperti begawan saham Warren Buffett. Alasannya, tentu saja karena kapabilitas dan kapasitas ilmu investasi yang dimiliki masing-masing investor pun berbeda.
Apalagi, tidak semua investor punya daya ketahanan emosi maupun kekuatan finansial yang sama ketika berhadapan dengan situasi pasar yang tengah hancur lebur. Makanya, mereka menganggap bahwa stop-loss adalah keputusan investasi yang sangat masuk akal.
Di sisi lain, investor yang anti stop-loss merasa bahwa stop-loss hanya akan menambah beban kerugian mereka saja. Mereka merasa bahwa selain mendera kerugian dari sisi penurunan nilai aset, mereka pun harus ikut menanggung biaya trading.
Oleh karenanya, mereka biasanya melakukan riset yang detail dulu sebelum benar-benar menaruh uangnya di satu instrumen aset tertentu. Jika mereka merasa bahwa fundamental aset yang mereka miliki berkualitas unggul, maka aksi stop-loss akan dirasa sebagai tindakan yang buang-buang waktu.
Lebih ekstremnya lagi, beberapa investor golongan ini bahkan menganggap mereka yang melakukan stop-loss sebenarnya tidak paham mengenai nilai intrinsik dan aspek fundamental dari aset yang mereka genggam. Wah, perdebatan yang sangat seru ya, Sobat Cuan!
Baca juga: Pluang Insight: Katanya Dunia di Ambang Resesi. Apa Sih Arti Resesi Ekonomi?
Terlepas dari perdebatan dua argumen tersebut, apakah investor harus melakukan stop-loss ketika harga sebuah aset turun drastis? Dalam hal ini, Pluang menjawab ya.
Para trader yang melakukan trading jangka pendek dengan frekuensi trading dan posisi jumbo tentu sangat membutuhkan stop-loss untuk mengurangi kerugiannya.
Dengan melakukan stop-loss, mereka bakal punya ruang finansial yang lebih lebar untuk melebarkan sayap ber-trading aset lainnya. Selain itu, stop-loss juga membantu trader untuk lebih disiplin dalam trading. Pasalnya, trader tentu akan menjadi lebih rajin menyimak analisis teknikal untuk menentukan kapan dan di titik harga berapa mereka harus berhenti melakukan trading.
Namun, tak hanya trader jangka pendek saja yang patut melakukan stop-loss. Investor jangka panjang tentu bisa melancarkan aksi tersebut asal menggunakan modifikasi simpel, yakni dengan membagi portofolio ke dalam dua golongan: "High Conviction Investment" dan "Low Conviction Investment".
Sesuai namanya, High Conviction Investment adalah sekelompok aset yang nilainya diyakini bisa tumbuh stabil dengan laju yang moderat. Contohnya adalah saham-saham teknologi atau perbankan berkapitalisasi pasar besar yang sudah punya nama beken di masyarakat.
Pluang menganggap, investor tak perlu melakukan stop-loss pada golongan aset ini karena eksistensinya masih bakal tetap ada setidaknya dalam 10 tahun mendatang.
Sementara itu, Low Conviction Investment adalah sekelompok aset yang nilainya kemungkinan bakal jatuh dan susah untuk bangkit kembali. Nah, investor bisa melakukan stop-loss di aset-aset jenis ini demi meminimalisasi kerugiannya.
Namun, permasalahan utama pada metode ini adalah interpretasi masing-masing individu terkait aset-aset apa saja yang bergolongan "aset meyakinkan". Makanya, untuk memperkuat penilaianmu atas sebuah aset, jangan malas untuk terus belajar dan menambah ilmu investasi, ya!
Kini, Sobat Cuan sudah paham bahwa melakukan stop-loss bukanlah ide buruk ketika berinvestasi. Hanya saja, bagaimana cara melakukan stop-loss yang masih masuk akal? Nah, menjawab pertanyaan itu, Pluang punya dua saran.
Sobat Cuan jangan pernah memasang titik stop-loss di dekat harga belimu di awal. Sebab, sisi psikologismu bakal terganggu jika harga aset bergejolak dengan kencang.
Nah, kalau kamu bingung menentukan titik stop-loss, maka kamu bisa memasangnya di level 10% hingga 15% dari harga masuk.
Apa sih, maksud dari visibilitas support? Nah, untuk memahami hal ini, Sobat Cuan perlu fokus ke analisis teknikal.
Kalau kamu melihat harga aset mondar-mandir di rentang harga yang sama berulang kali, maka bisa dibilang bahwa titik di mana harga aset tersebut memantul sebagai titik support yang sebenarnya.
Sehingga, kamu harus memasang level stop-loss di bawah titik support tersebut. Sebab, secara logika, sisi fundamental sebuah aset terindikasi berubah jika harganya melorot di bawah level support-nya.
Jadi, kata siapa stop-loss selamanya bakal merugikan? Tetap bijak dan berpikir jernih dalam berinvestasi ya, Sobat Cuan!
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 dan Nasdaq index futures, Saham AS CFD, serta lebih dari 90 aset kripto dan belasan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Bagikan artikel ini