Investor seantero dunia harus kompak gigit jari memasuki akhir pekan ini. Betapa tidak, saham AS, kripto, hingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kompak jebol gara-gara maraknya sentimen negatif. Apa saja sentimen negatif pasar kali ini? Simak selengkapnya di Rangkuman Pasar berikut!
Investor kripto pasrah tak bisa tidur nyenyak selama sepekan terakhir. Betapa tidak, aset kripto ambrol berjemaah sepanjang periode tersebut. Bahkan, nilai kapitalisasi pasar kripto kini menyentuh US$1,2 triliun, ambyar 39% dibanding pekan sebelumnya.
Sentimen umum pasar kripto pun masih mencekam. Hal itu tercermin dari skor Fear and Greed Index di level 10 dari 100 yang mengindikasikan "ketakutan ekstrem".
Kinerja aset kripto pun terlihat mengenaskan. Sobat Cuan bisa menyimak rangkumannya dalam tabel berikut
Dari sisi teknikal, seluruh aset kripto utama terpantau mencetak new low di pekan ini. Selain itu, jajaran aset kripto utama kedatangan satu pendatang baru yakni TRON (TRX). Ia menggantikan posisi Terra (LUNA) yang nilai kapitalisasi pasarnya jatuh ke peringkat 200 sejagat.
Nah, drama seputaran LUNA dianggap menjadi badai besar yang melanda pasar kripto selama sepekan terakhir.
Peristiwa ini bermula awal pekan lalu, di mana pasokan stablecoin milik jaringan Terra, UST, susut tajam dari US$14 miliar menjadi US$8 miliar di platform keuangan terdesentralisasi (DeFi) Anchor. Imbasnya, UST pun gagal mempertahankan nilai tukarnya yakni US$1 untuk setiap 1 UST.
Terra Labs, beserta Luna Foundation Guard, pun melakukan langkah mitigasi. Salah satunya adalah menggaet pinjaman baru US$1,5 miliar serta menjual Bitcoin (BTC) yang mereka kelola. Adapun, BTC merupakan satu dari dua reserve asset yang digunakan Terra untuk menstabilkan nilai UST selain Avalanche (AVAX).
Hanya saja, aksi jual tersebut ternyata menurunkan harga BTC. Pelaku pasar yang menyadari peristiwa tersebut pun kelabakan dan latah melakukan panic selling di seantero pasar kripto.
Tak ketinggalan, mereka juga ramai-ramai menjual AVAX setelah cemas bahwa Terra kemungkinan juga bakal melepas aset kripto tersebut demi menstabilkan kembali nilai UST. Maka dari itu, tak heran jika kinerja AVAX terlihat paling ngenes berdasarkan tabel di atas.
Di sisi lain, kesempatan itu pun dimanfaatkan TRX untuk manjat menjadi salah satu aset kripto utama sejagat. Nilai TRX sebelumnya perkasa setelah jaringan TRON meluncurkan stablecoin USDD dengan sirkulasi yang sudah berada di US$100 juta.
Jika dilihat dari segi sektoralnya, maka aset kripto sektor Web3 terlihat paling memble di antara semuanya
Selain perkara LUNA, lesunya pasar kripto pekan ini juga tak lepas dari ketidakpastian makroekonomi.
Asal tahu saja, pelaku pasar tengah menghindari pasar aset berisiko lantaran ekonomi dunia diramal bakal masuk resesi. Di masa-masa seperti itu, pelaku pasar justru lebih memilih "mengungsi" ke pasar aset yang lebih aman.
Ancaman resesi kian kentara pada pekan ini, di mana inflasi AS ternyata masih mendekati level tertingginya dalam 40 tahun terakhir.
Pelaku pasar khawatir bahwa bank sentral AS The Fed bakal merespons data inflasi tersebut dengan mengetatkan suku bunga acuannya dengan kencang. Sayangnya, hal itu diramal bakal mengerem laju konsumsi dan investasi, dua motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan suku bunga acuan The Fed juga dikhawatirkan membuat nilai Dolar AS kian perkasa. Akibatnya, pelaku pasar tentu lebih doyan menggenggam mata uang tersebut ketimbang aset kripto.
Dari sisi teknikal, BTC sudah berada di bawah level psikologisnya US$30.000. Hal ini tentu membuat pelaku pasar kian cemas jika sang raja aset kripto tidak dapat bertengger di atas level tersebut pada Senin mendatang.
Namun, jika BTC dapat bertengger di atas $30.800, maka ia diharapkan bisa rebound tipis ke level $33.000. Untungnya, peluang BTC untuk kembali memantul terbuka dengan sangat lebar setelah dedengkot aset kripto tersebut berhasil melaju 18% dari level terendahnya US$25.400 ke area US$29.000 hingga US$30.000 di tengah kondisi volatil seperti saat ini.
Menurut data Purpose Bitcoin ETF, pantulan yang kencang ini disebabkan oleh sikap investor institusional yang memanfaatkan momentum ini untuk memborong aset kripto. Salah satu exchanger terbesar di Canada melaporkan bahwa dirinya menambah 6,903 BTC pada 12 Mei kemarin, sekaligus jadi rekor terbesar pembelian BTC dalam sehari sejauh ini.
Baca juga: Pluang Insight: Mengupas 'The Great Reset', Dulu Konspirasi Viral Kini Fenomena Global
Kondisi suram juga terjadi di pasar saham AS. Pasar saham AS juga makin tak berdaya dibombardir kepanikan pelaku pasar. Hasilnya, nilai indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 2,1% sepekan terakhir, sementara nilai indeks Nasdaq dan S&P 500 masing-masing amblas 2,79% dan 2,4% di waktu yang sama.
Kondisi ini pun makin ironis jika Sobat Cuan kilas balik ke awal tahun, di mana analis sangat optimistis bahwa pasar modal AS akan berkinerja gemilang di tahun ini. Bahkan, mereka juga pede meramal nilai S&P 500 bisa tumbuh 5%. Tetapi, apa daya. Nilai S&P 500 justru terjun bebas 15,6% sejak awal tahun.
Lagi-lagi, ketidakpastian makroekonomi menjadi biang kerok aksi jual investor pada pekan ini.
Mereka khawatir bahwa The Fed akan mengerek suku bunga acuannya dengan kencang setelah data inflasi tahunan AS menyentuh level 8,3% di April. Beberapa analis meyakini, The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin sebanyak empat kali lagi di sisa tahun ini. Namun, The Fed bisa saja bertindak lebih agresif mengingat laju inflasi AS sangat sulit untuk diprediksi.
Aksi The Fed tersebut ditakutkan menuntun ekonomi AS ke jurang resesi. Nah, menyadari hal tersebut, pelaku pasar pun kompak minggat dari pasar modal sebelum mendera kerugian yang lebih parah.
Pluang beranggapan bahwa pelaku pasar, secara umum, belum siap untuk menghadapi realita ekonomi saat ini. Selain perkara kebijakan moneter The Fed, mereka juga harus menghadapi ketegangan geopolitik dan ekonomi global yang diprediksi melempem akibat kebijakan lockdown di China.
Harga emas di pasar spot ditutup di level US$1.811,68 per ons di akhir pekan, alias runtuh 3.84% dibanding posisi akhir pekan sebelumnya US$1.884 per ons. Usut punya usut, nilai sang logam mulia klepek-klepek setelah digebukin dua musuh bebuyutannya, nilai Dolar AS dan tingkat imbal hasil obligasi AS.
Sekadar informasi, kini nilai indeks Dolar AS mendekati level tertingginya dalam 20 tahun terakhir. Sayangnya, kenaikan nilai sang aset greenback tersebut bakal membuat harga emas menjadi relatif lebih mahal bagi mereka yang jarang bertransaksi menggunakan mata uang tersebut.
Sementara itu, kenaikan tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS akan meningkatkan opportunity cost investor dalam menggenggam emas. Mereka tentu akan hijrah mengoleksi obligasi pemerintah ketimbang memiliki emas, sebuah instrumen investasi yang tak menghasilkan imbal hasil secara periodik.
Nilai Dolar AS dan yield obligasi pemerintah AS kompak pamer keperkasaan sejak bank sentral AS, The Fed, mengerek suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin pada pekan lalu.
Namun, keduanya semakin trengginas setelah AS ternyata mencetak inflasi tahunan 8,3% di April. Ya, pelaku pasar khawatir bahwa inflasi yang ngamuk bakal mendorong The Fed untuk mengetatkan kebijakan moneternya dengan agresif. Sehingga, mereka pun berbondong-bondong menggenggam Dolar AS dan merangsek masuk pasar obligasi.
Setelah berlibur panjang, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) harus terjatuh lebih dari 10% dari level tertingginya pada April. Untungnya, pada Jumat (13/5), IHSG berhasil rebound dan membatasi pelemahan IHSG hingga "hanya" 8,7% di pekan ini. Kendati begitu, tetap saja pekan ini merupakan periode terburuk bagi pasar saham domestik sejak awal pandemi COVID-19 Maret 2020 silam.
Selain itu, pelemahan tajam IHSG pekan ini pun membuat prestasi yang ditorehkan sang indeks domestik sejak awal tahun jadi terkesan sia-sia. Pasalnya, kini IHSG cuma berhasil mencetak pertumbuhan 0,25% dari awal tahun hingga saat ini (year-to-date).
Adapun biang keladi anjloknya IHSG pekan ini adalah ambrolnya kinerja saham-saham teknologi, seperti PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), plus saham-saham bank digital yang berjaya tahun lalu seperti PT Bank Jago Tbk (ARTO) dan PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI).
Hal ini terjadi sebagai imbas atas prospek kenaikan suku bunga AS yang lebih agresif pada tahun ini.
Asal tahu saja, saham berbasis teknologi memiliki korelasi negatif dengan suku bunga acuan, di mana pertumbuhan bisnisnya selalu berbanding terbalik dengan laju kenaikan bunga.
Kemudian, dengan banyaknya perusahaan berbasis teknologi, pergerakan IHSG pun terbilang lebih volatil jika dibandingkan dengan performanya dahulu.
Hanya saja, Pluang beranggapan bahwa pelemahan IHSG memiliki downside yang terbatas lantaran kinerja perusahaan domestik masih bertumbuh positif ketimbang setahun sebelumnya.
Selain itu, tingginya harga komoditas juga diharapkan bisa menopang kinerja IHSG di tahun ini.
Perlu diingat bahwa Indonesia adalah negara eksportis hasil sumber daya alam. Sehingga, Indonesia diharapkan bisa mencetak surplus neraca perdagangan dan bisa menularkan cuannya ke emiten-emiten pertambangan, sebuah sektor yang mendominasi IHSG.
Baca juga: Rangkuman Pasar: Setelah Lama Tenggelam, Kripto Mulai 'Balas Dendam'!
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 dan Nasdaq index futures, serta aset kripto dan reksa dana! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Bagikan artikel ini