Stock Split adalah aksi korporasi yang Sobat Cuan mungkin sering dengar. Namun, apakah harga saham bakal naik setelah aksi tersebut? Simak penjelasannya di sini!
Stock split adalah aksi korporasi di mana perusahaan menambah jumlah lembar saham beredar dengan "memecah" sahamnya ke dalam rasio tertentu pada lembar saham yang telah beredar.
Umumnya, rasio yang dipergunakan dalam aksi ini ialah 2:1 atau 3:1. Maksudnya, untuk tiap satu lembar saham yang dimiliki sebelum Stock Split bakal dikalikan sebanyak bilangan rasio yang berlaku setelah aksi ini dinyatakan efektif.
Namun, kaidah rasio umum ini tidaklah baku. Seringkali, perusahaan memberlakukan rasio fantastis untuk membuat harga sahamnya yang mahal jadi lebih terjangkau. Beberapa contoh perusahaan yang memberlakukan rasio besar dalam aksi stock splitnya ialah raksasa teknologi Amazon dan Google yang memecah lembar saham dengan rasio 20:1 pertengahan 2022.
Perusahaan biasanya melakukan aksi tersebut untuk mendorong likuiditas sahamnya. Selain itu, perusahaan yang punya nilai saham tinggi umumnya melakukan stock split agar sahamnya bisa terjangkau oleh semua investor.
Meski jumlah lembar saham yang beredar meningkat berkali lipat, aksi ini umumnya tidak disertai dengan peningkatan kapitalisasi pasar perusahaan. Sebab, meningkatnya lembar saham yang beredar bukan berasal dari penerbitan saham baru seperti pada kasus rights issue.
Keduanya pun memiliki tujuan yang berbeda. Jika rights issue dilakukan perusahaan untuk menambah modal, stock split dilakukan untuk meningkatkan likuiditas saham.
Baca Juga: Bagaimana Cara Menentukan Modal Minimal Beli Saham?
Terkadang, harga saham suatu emiten dianggap terlalu mahal dibanding harga fundamentalnya. Jika hal ini terjadi, likuiditas saham tersebut jadi berkurang lantaran harganya jadi tidak terjangkau bagi sejumlah kalangan trader maupun investor di pasar modal.
Saham yang kurang likuid tidak menarik bagi para trader, terutama mereka yang menaruh dananya untuk jangka pendek maupun menengah. Secara fundamental aksi ini bertujuan untuk meningkatkan likuiditas emiten di pasar saham alih-alih menambah porsi kepemilikan publik lewat pasar modal.
Memecah selembar saham menjadi dua atau tiga lembar tentu akan membuat harga per lembar yang semula tinggi ikut terbagi sebanyak rasio yang berlaku. Jika sudah begitu, harga saham jadi lebih terjangkau dan menarik bagi kalangan yang lebih luas.
Secara teorinya, harga saham semestinya terdongkrak setelah terjadinya aksi stock split. Hal ini pun bisa dijelaskan dari dua sisi.
Pertama, harga saham usai stock split yang semakin terjangkau akan dianggap menarik bagi investor ritel. Sehingga, investor ritel berpeluang besar untuk memborong saham tersebut dan membuat harga saham tersebut meningkat.
Kedua, investor, baik yang kawakan atau masih awam, selalu memandang stock split sebagai peristiwa baik bagi perusahaan. Pasalnya, stock split adalah tanda bahwa perusahaan tersebut bertumbuh dan memiliki kinerja baik. Nah, berdasarkan hal tersebut, investor pun langsung berbondong-bondong mengoleksi saham tersebut.
Euforia pemburu saham ritel likuid yang semula tak mampu menjangkau pasar emiten kelas atas memang terjadi. Salah satu contohnya ialah saham Amazon (AMZN) yang sempat mengalami stock split pada Juni 2022 sebanyak 20:1.
Aksi ini cukup fenomenal lantaran membuat harga saham AMZN yang semula menembus level US$2.000 per lembar saham menjadi US$120 per lembar saham. Tentunya langkah itu membuat AMZN jadi incaran baru investor ritel menengah.
Alhasil, nilai saham AMZN tercatat ditutup menguat 2% pada hari pertama stock split berlaku. Setelahnya, tren bullish terus berlangsung selama lima hari berturut-turut yang membuat AMZN terapresiasi 8%.
Namun, nasib saham AMZN tidak melulu berlaku bagi saham lain yang melakukan stock split. Sebab, pada kenyataannya, harga saham perusahaan umumnya terkoreksi singkat pasca stock split. Salah satu penyebabnya adalah aksi jual investor lantaran mereka tergoda untuk melepaskan kepemilikannya karena jumlah sahamnya jadi berkali lipat lebih banyak.
Di samping itu, investor juga menyadari aksi korporasi tersebut tidak mempengaruhi kinerja perusahaan karena tidak ada penambahan modal untuk ekspansi bisnis yang memungkinkan efek bullish bertahan lebih lama.
Pada akhirnya, kenaikan permintaan yang berimbas pada naiknya kapitalisasi pasar secara keseluruhan pasca aksi korporasi ini hanya bersifat semu. Setelah efek semu itu hilang, biasanya harga saham malah terkoreksi cukup dalam untuk periode yang cukup panjang.
Fenomena tren bearish pasca dipecahnya lembar kepemilikan saham memang menjadi pertimbangan tersendiri bagi Sobat Cuan yang berminat memborong saham blue chip pasca aksi korporasi ini. Namun, perlukah kamu mengurungkan niat mencicil investasi saham tersebut?
Supaya dapat menentukan langkah, terdapat dua pertimbangan yang patut kamu perhitungkan dulu, yakni:
Kinerja harga saham satu perusahaan bisa saja ambles setelah aksi stock split. Namun, jika kamu pede bahwa perusahaan itu akan berkinerja baik jangka panjang, maka tak ada salahnya kamu membeli saham perusahaan tersebut. Alasannya, kapan lagi kamu bisa membeli saham incaranmu dengan harga yang lebih terjangkau?
Dengan demikian, tingkat optimisme kamu terhadap perusahaan tersebut harus menjadi faktor utama dalam menentukan beli atau tidak saham satu perusahaan sebelum stock split.
Sejatinya, koreksi harga yang terjadi pada market dalam situasi pasca stock split bukan berangkat dari fundamental yang memburuk. Kinerja perusahaan dan model bisnisnya tak terkait dengan aksi korporasi yang menyebabkan downtrend.
Jika kamu sudah melakukan riset mendalam terkait fundamental perusahaan dan analisis teknikalnya, maka tak ada salahnya mencoba peruntunganmu di saham tersebut!
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 dan Nasdaq index futures, Saham AS, serta lebih dari 140 aset kripto dan belasan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Sumber: Investopedia, Motilaloswal, Fool, Robomarkets
Bagikan artikel ini