Sobat Cuan fans ETH mungkin sadar bahwa ada versi lain bernama Ethereum Classic. Namun, benda apakah itu? Apakah sama dengan Ethereum?
Ethereum Classic (ETC) adalah aset kripto yang bersifat open source, terdesentralisasi, dan berbasiskan teknologi smart contract. Koin ini muncul pada 2016 setelah terjadi peretasan The DAO, yakni platform smart contract yang beroperasi di blockchain Ethereum.
Pertanyaannya, mengapa ETC menjadi imbas atas peristiwa tersebut?
Kesuksesan Ethereum menduduki posisi runner up dalam jagat kripto yang terus berkembang pesat tidak terjadi dalam semalam. Nyatanya, blockchain karya si tangan dingin Vitalik Butterin ini sempat mengalami sejumlah ujian berat yang fenomenal pada tahun-tahun pertamanya.
Sebagaimana diketahui, Buterin menyelesaikan konsep Ethereum pada 2014. Setahun kemudian, blockchain revolusioner ini pun resmi diluncurkan dengan inovasi yang membuka mata dunia. Salah satunya ialah potensi untuk menggali utilitas blockchain lebih dari sekedar alat transaksi finansial semata sebagaimana Bitcoin.
Buterin memperkenalkan skema smart contract pada jaringan blockchain yang jadi cikal bakal meluasnya jenis dan fungsi aset-aset kripto di masa kini. Sebagai komplementer smart contracts, komunitas ini pun membentuk DAO (Decentralized Autonomous Organization) yang bertindak sebagai otoritas pengambil keputusan secara otomatis pada ekosistem tersebut.
Kala itu, DAO lebih mirip disebut sebagai badan modal ventura yang beroperasi secara terdesentralisasi untuk mendanai proyek-proyek yang berada di dalam jaringan Ethereum. Berkat tingginya animo pengemar kripto, badan ini berhasil menghimpun dana US$150 juta dalam 28 hari. Selama proses pengumpulan dana awal DAO ini, jumlah koin ETH yang beredar pun meningkat 14%.
Sayangnya, hype DAO berakhir tragis. Di akhir periode pengumpulan dana, seorang hacker meretas sistem DAO yang dibangun dalam skema smart contracts tersebut. Sang peretas pun berhasil menggondol sepertiga dana yang terkumpul, yakni sekitar US$50 juta.
Baca Juga: Mengenal Istilah 'Ethereum Killer' dalam Kripto. Apakah Itu?
Peristiwa tragis tersebut menggiring developer blockchain Ethereum dan DAO untuk membuat hard fork pada blockchain Ethereum.
Singkatnya, hard fork adalah perubahan radikal di protokol blockchain sehingga blok-blok transaksi dan transaksi yang tercipta sebelumnya menjadi tidak valid lagi. Namun, upaya ini perlu dilakukan agar sang peretas tidak lagi memiliki akses ke jaringan Ethereum.
Selain itu, langkah ini pun diperlukan untuk menyelamatkan dana yang tersisa. Namun tentunya, hard fork juga mengubah karakteristik blockchain menjadi versi yang berbeda.
Para investor DAO kini punya dua pilihan yang sulit, yakni melakukan upgrade terhadap ETH yang mereka miliki namun kehilangan identitas asli koin tersebut, atau tidak melakukan apapun.
Sebagian investor mendukung hard fork Ethereum. Tapi, tak disangka banyak pula yang memilih tidak melakukan apapun meski berisiko terkena peretasan juga. Kelompok satu ini berpandangan bahwa tragedi peretasan DAO tersebut bukan disebabkan oleh kelemahan jaringan Ethereum, melainkan, smart contracts DAO yang lemah.
Gara-gara menolak untuk upgrade, investor-investor tersebut kini memiliki sejumlah koin Ethereum yang masih beroperasi pada jaringan blockchain lama yang telah ditinggalkan pengembangnya. Mereka pun membentuk otoritas sendiri untuk meneruskan aktivitasnya pada jaringan lawas itu.
Koin-koin inilah yang saat ini dikenal sebagai Ethereum Classic. Agar dapat membedakannya dengan Ethereum, versi classic ini diberi kode ETC.
Kenyataanya, tidak banyak perbedaan fundamental dari sisi pengoperasian antara ETC dan ETH. Sebab, hard fork tahun 2016 itu diinisiasi untuk memindahkan dana yang terkumpul pada DAO ke jaringan yang dianggap lebih aman.
Meski pengoperasiannya sama saja, ternyata keduanya beroperasi pada protokol yang berbeda jauh. ETC beroperasi dengan algoritma konsensus Proof of Work (PoW) sementara ETH beroperasi dengan protokol Proof of Stake (PoS).
Perbedaan lain yang tak kalah pentingnya ialah jumlah koin maksimal alias fully dilluted market cap. Sebagaimana kamu ketahui, ETH tidak membatasi maksimal suplai koinnya. Sementara ETC punya maksimum suplai sebesar 210,7 juta koin saja.
Terakhir, kini keduanya beroperasi sebagai dua koin yang sama sekali berbeda. Kamu harus memahami bahwa ETC dan ETH adalah dua entitas berbeda yang beroperasi pada jaringan yang berbeda, bahkan diperdagangkan dengan harga yang jauh berbeda. Per 30 Mei 2023, harga sekeping ETC hanya berkisar US$18,28. Sementara sekeping ETC diperdangkan pada kisaran harga US$1.800.
Bicara soal mana yang lebih baik di antara keduanya tentu tidak terlepas pada tujuan kamu mengoleksi suatu aset kripto.
Perbedaan mendasar pada operasional ETC ialah prinsip 'code is law'. Singkatnya, prinsip ini tidak memungkinkan smart contracts kamu diintervensi pihak ketiga yang dianggap berwenang seperti penegak hukum ataupun pemerintah. Sebab, smart contracts hanya tunduk kepada kode terinput, bukan pada aturan-aturan yang berlaku.
Jaringan ini pun terus melakukan upgrade sebagaimana ETH. Hanya saja upgrade yang dilakukan ETC tidak sejalan dengan saudara kandungnya tersebut. Banyak orang beranggapan di satu titik ETC akan dapat dikalahkan sepenuhnya oleh ETH berkat supremasi inovasi ala Buterin.
Kendati demikian, salah satu faktor unggul yang membuat penggemar ETC tetap militan adalah harganya yang jauh lebih murah dengan tingkat keamanan yang lebih terjaga. Selain itu, jaringan ETC jauh lebih lengang ketimbang blockchain Ethereum yang sering 'macet'.
Kalau kamu bagaimana, Sobat Cuan? Memilih jadi fans ETH atau ETC?
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi Saham AS, indeks saham AS, emas, ratusan aset kripto dan puluhan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Sumber: Coinmarketcap, Binance, One37pm
Bagikan artikel ini