Tapering adalah salah satu upaya yang dilakukan The Fed, sebagai bank sentral Amerika Serikat, guna meredam laju inflasi. Hal ini akan dilakukan The Fed jika perekonomian negara Paman Sam tersebut sudah menunjukkan tanda-tanda perbaikan, setelah diberikan stimulus moneter dalam jumlah jumbo.
Pada umumnya, negara lain termasuk Indonesia bereaksi keras atas rencana The Fed tersebut. Pasalnya, terakhir kali The Fed melakukan tapering, seluruh dunia mengalami gejala yang disebut taper tantrum.
Nah, agar Sobat Cuan lebih paham mengenai tapering yang bikin gonjang-ganjing dunia investasi, yuk simak penjelasannya di artikel ini!
Baca juga: Apa Itu Centralized Market?
Otoritas moneter seperti bank sentral memiliki wewenang mengatur jumlah uang beredar, yang erat kaitannya dengan inflasi. Salah satunya adalah dengan tapering. Tapi, tapering tidak akan ada tanpa kehadiran quantitative easing. Sehingga, ada baiknya kita kenalan dulu dengan kebijakan yang namanya disebut belakangan tersebut!
Secara singkat, quantitative easing adalah kebijakan The Fed untuk mengakselerasi laju pemulihan ekonomi AS setelah dihantam krisis atau resesi. Caranya, adalah dengan menginjeksi uang ke masyarakat dengan cara membeli obligasi secara rutin per bulannya.
Saat krisis, The Fed membeli obligasi jangka panjang sehingga korporasi dan perbankan punya dana segar untuk diputarkan. Obligasi yang dibeli biasanya surat utang pemerintah dan obligasi kredit perumahan. Hasilnya, dana segar dari hasil penjualan ini menjadi stimulus perekonomian untuk Amerika Serikat yang dilanda resesi.
Dalam perkembangannya, The Fed memang pernah melakukan ini untuk memulihkan ekonomi AS yang porak poranda 2008 silam. Kebijakan ini juga dilakukan saat pandemi COVID-19, di mana The Fed getol membeli surat utang senilai US$120 miliar per bulannya.
Namun, sesuai dengan prinsip ekonomi, jika suplai uang semakin kencang, maka inflasi bisa meradang dan menurunkan nilai tukar dolar AS sendiri. Akibatnya, The Fed merasa perlu mengurangi pembelian surat utang demi mempersiapkan pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil. Nah, pengurangan itulah yang dikenal dengan nama tapering.
Tapering sendiri adalah “pasangan” dari kebijakan moneter bank sentral lain dalam meredam inflasi. Yakni, mengerek suku bunga acuan.
Ya, saat inflasi, bank sentral akan menaikkan bunga acuan dengan asumsi masyarakat akan lebih memilih menabungkan uangnya mumpung bisa cuan lebih banyak daripada membelajankannya. Sebab, tingkat inflasi akan lebih parah jika konsumsi masyarakat tidak “direm” dengan mumpuni.
Kondisi tapering pernah dilakukan The Fed 2013 lalu setelah otoritas moneter tersebut mengantongi US$4,5 miliar dalam bentuk surat utang. Sayangnya, kebijakan ini bikin pasar morat-marit, sehingga memunculkan peristiwa yang dikenal sebagai taper tantrum.
The Fed menyebutkan bahwa tapering dilakukan secara bertahap hingga kelak pembelian obligasi bisa dihentikan seluruhnya. Sebab, menurut The Fed, terlalu banyak stimulasi akan membuat perekonomian jadi ‘overheat‘.
Namun, dalam menormalisasi stimulusnya, The Fed sangat berhati-hati dan komunikatif. Sebab, ekspektasi pasar seringkali memicu fluktuasi perekonomian global. Karenanya, The Fed menyebutkan dengan jelas berapa jumlah penurunan berkala dan dalam kondisi seperti apa rencana tersebut akan dieksekusi.
Baca juga: Masih Belum Paham Beda DeFi vs CeFi? Yuk, Belajar di Artikel Ini!
Meski sudah dilakukan dengan sangat hati-hati dan komunikatif, tapering yang pernah dilakukan The Fed tahun 2013 lalu terbukti memicu taper tantrum. Pasalnya, investasi asing yang saat itu mendominasi pasar modal jadi “pulang kampung”. Tapering adalah langkah moneter yang memicu trauma bagi sebagian besar negara.
Akibatnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga sempat berada di level 3994 pada Agustus 2013. Dalam sehari, rata-rata dana asing yang keluar dari pasar modal mencapai Rp2,7 triliun. Hal ini tentu diperparah dengan harga dolar yang perkasa atas rupiah.
Di tahun 2021, hantu tapering muncul kembali. Banyak pihak memprediksi bank sentral AS tersebut akan melakukan kebijakan serupa setelah melonggarkan kebijakan moneter selama pandemi COVID-19.
Rencana tapering The Fed saat ini tentu membuat pemerintah dan dunia usaha di Indonesia ketar-ketir lantaran takut kejadian yang sama berulang lagi.
Baca juga: Apa itu Analisis Fundamental Saham?
Menteri Keuangan Amerika Serikat, Janet Yellen sempat mencetuskan pendekatan berbeda dalam mengatasi tingginya inflasi AS. Dia mengusulkan agar suku bunga acuan The Fed atau FFR dinaikkan saja.
Yellen, yang sempat menjabat sebagai Ketua Dewan Gubernur The Fed di tahun 2014, berpandangan bahwa tapering adalah langkah yang seharusnya diikuti juga dengan normalisasi suku bunga mengingat era suku bunga rendah sudah berlangsung satu dekade.
Berbeda dengan saat masih menjabat sebagai ketua The Fed dimana Yellen selalu berhati-hati dalam menyampaikan pendapat, opsi menaikkan suku bunga kali ini disampaikan Yellen dengan lugas.
Tentu saja, hal ini memicu reaksi pasar yang khawatir akan kehilangan investasi asingnya jika opsi Yellen diberlakukan. Mengangtisipasi kepanikan itu, Jerome Powell selaku ketua The Fed yang menggantikan Yellen memastikan bahwa otoritasnya belum akan menarik stimulus dari pasar.
Kalau tapering saja sudah bisa memicu taper tantrum, apa yang akan terjadi jika The Fed mengakhiri era suku bunga mendekati nol? Bagaimana menurutmu, Sobat Cuan?
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 index futures, serta aset kripto Bitcoin dan Ethereum! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Sumber: Investopedia, CNBC, Bloomberg
Bagikan artikel ini