Deferred tax liability, atau kewajiban pajak tangguhan, merupakan jumlah pajak penghasilan yang belum dibayarkan perusahaan di tahun berjalan meski jatuh tempo di periode yang sama. Sehingga, pajak penghasilan tersebut akan terutang di periode berikutnya.
Penangguhan itu terjadi lantaran pencatatan penghasilan kena pajak yang diakui perusahaan berbeda dengan jumlah penghasilan kena pajak yang sebenarnya diterima perusahaan.
Hal ini merupakan imbas dari perbedaan pencatatan beban dan penghasilan menggunakan standar peraturan perpajakan dengan pencatatan menggunakan standar akuntansi keuangan.
Meski terdapat standar perbedaan pencatatan yang perlu dipatuhi perusahaan, jumlah pajak yang perlu dibayarkan perusahaan akan memiliki total nilai yang sama.
Sederhananya, kewajiban pajak tangguhan adalah nilai pajak penghasilan yang perlu dibayar oleh perusahaan di periode mendatang. Hal itu tidak terjadi karena perusahaan sengaja ingin membayar pajak lebih kecil, namun karena terdapat perbedaan pencatatan keuangan menggunakan dua standar yang semuanya perlu dituruti perusahaan.
Baca juga: Pasar Uang vs Pasar Modal, Apa Perbedaannya?
Kewajiban pajak tangguhan ini kerap muncul ketika perusahaan menjual barangnya dengan sistem angsuran. Sebab, perusahaan mengakui penghasilan kena pajak atas penjualan tersebut secara penuh di tahun berjalan meski nilai penghasilan yang diterima sebenarnya terbilang lebih kecil.
Hal ini terjadi lantaran perusahaan diperbolehkan mengakui pendapatan penuh dari penjualan angsuran barang dagangan umum. Sementara itu, aturan perpajakan mengharuskan perusahaan untuk mengakui pendapatan saat pembayaran angsuran dilakukan.
Di samping itu, kewajiban pajak tangguhan juga terjadi karena perusahaan menghitung depresiasi aset tetap yang berbeda dengan aturan perpajakan.
Di Amerika Serikat, misalnya, perusahaan kerap menggunakan metode garis lurus untuk menghitung depresiasi aset tetap mereka. Hanya saja, peraturan perpajakan kadang menghitung depresiasi tersebut menggunakan metode akselerasi, sehingga beban depresiasi perusahaan secara fiskal akan lebih besar dibanding secara akuntansi.
Perbedaan beban tersebut kemudian menghasilkan jumlah penghasilan kena pajak yang berbeda. Walhasil, jumlah pajak yang dibayarkan oleh perusahaan menurut pencatatan perusahaan dan peraturan fiskal juga ikut berbeda, menyebabkan perusahaan harus membayar kewajiban pajak tangguhan di periode berikutnya.
Di Indonesia, kemungkinan-kemungkinan tersebut sudah diantisipasi di dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 mengenai Pajak Penghasilan (PPh). Pasal 11 UU PPh menyebut perusahaan hanya boleh menggunakan dua metode depresiasi: metode garis lurus dan saldo menurun (declining balance method).
Baca juga: Baru Belajar Investasi? Ketahui 5 Contoh Kelas Aset dan Cara Mengelolanya
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 index futures, serta aset kripto Bitcoin dan Ethereum! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Sumber: Investopedia
Pergerakan Harga Emas Indonesia vs Harga Emas Dunia
Dibayangi Covid-19, Bagaimana Nasib Fluktuasi Pasar Obligasi di Indonesia?
Tren Borong Saham Anak Muda, Incar Saham Undervalued Saat Ekonomi Rebound
Bagikan artikel ini