Force Majeure adalah situasi di mana pihak-pihak dalam kontrak tidak dapat memenuhi kewajibannya. Lantas, apa syarat atas kondisi itu?
Force Majeure adalah istilah hukum yang digunakan untuk menggambarkan situasi ketika suatu peristiwa tak terduga atau di luar kendali mencegah salah satu pihak untuk memenuhi kewajibannya dalam suatu kontrak.
Umumnya, kejadian tak terduga tersebut mencakup bencana alam, kondisi politik, atau peristiwa-peristiwa lain yang terjadi secara mendadak dan di luar kendali. Kejadian-kejadian tersebut umumnya dianggap sebagai kekuatan yang lebih besar atau "act of God".
Karena situasi-situasi tersebut kemungkinal bakal terjadi, maka pihak-pihak penyusun kontrak umumnya memasukkan Force Majeure ke dalam klausul kontrak. Sehingga, ketika situasi itu muncul, maka pihak-pihak yang terlibat dapat memperoleh kelonggaran untuk tidak menjalankan poin-poin di dalam kontrak tersebut.
Dengan kata lain, Force Majeure adalah klausul yang berfungsi melindungi pihak-pihak terkontrak dari konsekuensi yang tidak adil atau tidak dapat dihindari dari peristiwa-peristiwa yang tidak terduga.
Ketika situasi keadaan tak terduga terjadi, pihak yang terkena dampak Force Majeure dapat dimungkinkan untuk menunda, mengubah, atau bahkan membatalkan kewajiban yang tercantum dalam kontrak tanpa adanya sanksi atau kerugian yang signifikan.
Namun, tidak semua peristiwa tak terduga bisa disebut sebagai Force Majeure. Beberapa yurisdiksi mendefinisikan Force Majeure sebagai situasi yang tidak dapat diprediksi, berasal dari sisi eksternal pihak-pihak yang berkontrak, dan tidak dapat dihindari.
Bahkan, di negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat, kontrak-kontrak yang berisikan klausul Force Majeure juga harus menyertakan daftar rincian peristiwa tak terduga yang bisa dikategorikan sebagai Force Majeure.
Di samping itu,efek Force Majeure pada kontrak dapat bervariasi tergantung pada ketentuan yang tercantum dalam kontrak itu sendiri.
Oleh karena itu, penting untuk memiliki klausul Force Majeure yang jelas dan komprehensif dalam kontrak agar dapat mengatasi kemungkinan situasi tak terduga.
Baca Juga: Kontrak Berjangka
Secara lebih rinci, terdapat beberapa contoh peristiwa di luar dugaan yang bisa memicu klausul Force Majeure. Beberapa contoh tersebut dia antaranya:
Ini mencakup peristiwa alamiah yang di luar kendali manusia, seperti gempa bumi, banjir, badai, kebakaran hutan, tanah longsor, atau cuaca ekstrem.
Ini mencakup keadaan perang, konflik bersenjata, atau tindakan militer yang mengakibatkan ketidakmampuan pihak yang terlibat dalam kontrak untuk melaksanakan kewajiban mereka.
Tindakan pemerintah yang tak terduga dan di luar kendali pihak yang terlibat dalam kontrak, seperti perubahan undang-undang, peraturan baru, embargo, atau penghentian izin, juga memicu klausul Force Majeure.
Di samping faktor-faktor di atas, terkadang ada kejadian-kejadian eksternal yang mampu mempengaruhi sisi teknis sehingga salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam kontrak.
Kendala teknis yang tak terduga dan di luar kendali pihak yang terlibat dalam kontrak contohnya seperti kegagalan sistem komputer yang parah, serangan siber yang masif, atau gangguan listrik skala besar.
Dalam beberapa kasus, wabah penyakit juga dianggap sebagai peristiwa tak terduga yang bisa memicu Force Majeure. Sebagai contoh, pandemi COVID-19 yang melanda dunia pada 2020-2022 dan diikuti oleh pembatasan sosial ketat rupanya mempengaruhi pelaksanaan sejumlah kontrak-kontrak bisnis.
Lebih lanjut, seluruh contoh-contoh Force Majeure tersebut bisa dikategorikan ke dalam dua jenis Force Majeure. Ahli hukum bisnis Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya "Aneka Hukum Bisnis" menyebut terdapat dua jenis Force Majeur, yakni:
Force Majeure Absolut adalah situasi ketika kewajiban benar-benar tak dapat dilaksanakan seluruhnya, misalnya karena terdapat objek benda hancur karena bencana alam. Oleh karena itu, pemenuhan prestasi tak mungkin dapat dilakukan lantaran pemulihannya pun terbilang cukup lama.
Force majeure relatif addalah situasi saat perjanjian atau pemenuhan kewajiban masih bisa dilaksanakan, namun dengan pengorbanan atau biaya yang besar dari pihak pemenuh kewajiban.
Baca Juga: Hukum Permintaan dan Penawaran
Dalam sistem hukum Indonesia, umumnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), pengertian kondisi Force Majeure sejatinya tidak tertulis secara gamblang.
Kendati demikian, kitab tersebut memuat ketentuan umum terkait Force Majeure yang terdapat di Pasal 1244 dan Pasal 1245.
"Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya".
"Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya".
Dari bunyi kedua pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa keadaan Force Majeure adalah:
Baca Juga: Hukum Pareto atau Prinsip Pareto 80/20
Selain itu, di Indonesia, kondisi Force Majeure memiliki kemiripan dengan wanprestasi, yaitu situasi di mana pemilik kewajiban tak mampu memenuhi segala kewajibannya.
Namun, wanprestasi dan Force Majeure sejatinya memiliki konsep yang sangat berbeda. Apa saja perbedaan tersebut?
Wanprestasi merujuk pada pelanggaran suatu kontrak oleh salah satu pihak yang tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya.
Force Majeure, di sisi lain, merujuk pada keadaan yang di luar kendali pihak yang terlibat dalam kontrak yang mencegah mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut.
Wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak gagal memenuhi kewajibannya karena kelalaian, kegagalan, atau penolakan.
Force Majeure, di sisi lain, terjadi karena kejadian tak terduga dan di luar kendali manusia, seperti bencana alam, perang, atau tindakan pemerintah.
Dalam kasus wanprestasi, pihak yang melanggar kontrak dapat bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan dan dapat dikejar secara hukum.
Namun, dalam kasus Force Majeure, pihak yang terkena dampak dapat dibebaskan dari kewajiban atau diizinkan untuk menunda pelaksanaannya tanpa sanksi yang signifikan.
Dalam kasus wanprestasi, pihak yang melanggar kontrak mungkin diharuskan membayar ganti rugi kepada pihak lain yang menderita kerugian akibat pelanggaran tersebut.
Namun, dalam kasus Force Majeure, kewajiban finansial dapat dibebaskan atau dikurangi, tergantung pada ketentuan dalam kontrak dan hukum yang berlaku.
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi Saham AS, indeks saham AS, emas, ratusan aset kripto dan puluhan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Sumber: Investopedia, E-Journal Undip
Bagikan artikel ini