Istilah Black Friday adalah istilah yang mungkin masih asing di telinga masyarakat Indonesia. Namun. Black Friday sebenarnya adalah event penting dalam ekonomi AS. Simak di sini!
Black Friday (Jumat Hitam) adalah istilah yang merujuk ke hari Jumat yang jatuh setelah perayaan Thanksgiving di Amerika Serikat (AS).
Bagi masyarakat AS, Black Friday selalu dikenal sebagai hari libur nasional di mana masyarakat akan menghabiskan waktu akhir pekannya dengan berbelanja. Nah, di saat yang sama, pelaku usaha ritel nasional juga berlomba-lomba memberikan promo dan diskon khusus yang menggiurkan.
Makanya, tak heran jika hari itu selalu menjadi hari tersibuk bagi perusahaan ritel dan pecinta belanja AS setiap tahunnya. Situs belanja online tiba-tiba kebanjiran permintaan, toko-toko ritel dijejali pengunjung, hingga biaya iklan pun meroket di saat Black Friday.
Black Friday juga dianggap sebagai hari pertama dari "musim" belanja liburan di AS. Adapun musim belanja tersebut akan diakhiri oleh libur Natal dan Tahun Baru.
Pada umumnya, penjualan Black Friday selalu dianggap sebagai cerminan terhadap kondisi perekonomian AS dan keyakinan masyarakat terhadap ekonomi AS secara keseluruhan. Jika masyarakat getol belanja di masa Black Friday, maka ada kemungkinan masyarakat sedang giat konsumsi. Dengan demikian, kondisi ekonomi AS dianggap masih membaik.
Baca Juga: Sell in May and Go Away
Istilah Black Friday yang sebenarnya muncul dari Kota Philadelphia, AS pada 1960. Kala itu, pihak kepolisian setempat menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan kekacauan yang terjadi pada akhir pekan ketika turis-turis yang berkunjung ke kota tersebut untuk berbelanja terlihat membludak.
Beberapa kali, momen tersebut juga berbarengan dengan pertandingan futbol militer di AS. Alhasil, jumlah orang yang berada di kota menumpuk dan menimbulkan sesak.
Saking ramainya, insiden-insiden seperti kemacetan, kecelakaan hingga pencurian dan penjarahan pun terjadi. Ini membuat kepolisian setempat harus bekerja ekstra untuk menjaga kota Philadelphia dari aksi kriminal.
Namun, istilah Black Friday mulai mengalami pergeseran makna pada tahun 1980-an. Saat itu, beberapa pebisnis mulai menggunakan istilah Black Friday sebagai hari di mana pengusaha ritel, pedagang, dan toko memberikan beragam diskon dan promo menarik demi mendapatkan untung lebih.
Bahkan, sejumlah perusahaan malah sudah merencanakan strategi penjualan Black Friday setahun sebelumnya. Mereka juga merahasiakan info-info promo dan strategi bisnisnya agar tidak dicontek oleh kompetitornya. Hal itu membuktikan bahwa Black Friday adalah kejadian insidentil yang sangat mempengaruhi kinerja keuangan usaha ritel secara signifikan.
Banyak pihak mengatakan bahwa pergeseran makna Black Friday tersebut berangkat dari konsep "garis hitam dan garis merah" yang dihadapi pelaku bisnis setiap tahun.
Konsep tersebut mengatakan bahwa pendapatan operasional pelaku ritel terus melemah, atau berada di "garis merah", menjelang perayaan Thanksgiving. Sehingga, mereka harus mengangkat kembali pendapatannya ke "zona keuntungan", alias "garis hitam", sebelum akhir tahun.
Nah, oleh karenanya, mereka pun menyelenggarakan diskon besar-besaran di hari Jumat seusai libur Thanksgiving. Karena hari itu dianggap menguntungkan dan mampu membawa perusahaan ritel ke "garis hitam", makanya hari cuan itu disebut dengan "Jumat hitam".
Hanya saja, anggapan itu rupanya dianggap sebagai mitos belaka.
Dalam catatan sejarah AS, ada cerita lain yang konon juga berkontribusi dalam melahirkan istilah Black Friday yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan momen orang berbelanja atau perayaan thanksgiving.
Pada 1869, dua orang pialang Wall Street bernama Jay Gould dan Jim Fisk memiliki sebuah rencana untuk membeli seluruh pasokan emas di New York Gold Exchange, sebanyak yang mereka bisa.
Harapannya, dengan memiliki sebanyak-banyaknnya stok emas AS, keduanya dapat 'memaksa' harga emas di pasaran meroket tajam dan kemudian menjualnya di atas harga beli agar dapat mendapatkan untung banyak.
Namun, konspirasi ini terendus oleh Pemerintah AS. Pada Jumat 24 September 1869, Presiden AS kala itu, Ulysses S. Grant menggagalkan rencana keduanya. Akibatnya, pasar modal mengalami krisis seketika, membuat ribuan masyarakat AS mengalami kebangkrutan.
Pada perkembangannya, Black Friday pun tidak hanya menjadi hari belanja nasional semata. Namun, hal itu lambat laun menjadi bagian dari kultur masyarakat AS. Bahkan, masyarakat AS pun menetapkan hari-hari lain sebagai perayaan.
Sebagai contoh, ada istilah Small Business Saturday atau 'Sabtu UMKM' untuk mendorong masyarakat berbelanja di toko-toko lokal yang masih kecil. Ada pula Cyber Monday atau 'Senin Siber' yang lebih mengajak orang-orang untuk berbelanja daring.
Tak ketinggalan, terdapat pula istilah Charity Tuesday atau 'Selasa Bersedekah' demi mempromosikan kebiasaan untuk memberi sedikit bantuan dan donasi untuk sesama.
Namun, ada pula budaya yang sedikit memaksa seperti rencana untuk mengubah sebutan 'Black Friday' yang memiliki konotasi negatif menjadi 'Big Friday'. Namun upaya ini gagal.
Di Indonesia sendiri, istilah Black Friday tidaklah umum karena ini merupakan budaya yang berangkat dari perayaan Thanksgiving di Amerika Serikat. Namun, terdapat beberapa momentum di dalam negeri yang mirip dengan perayaan Black Friday, meski jumlahnya tidak banyak dan tidak menghasilkan penjualan masif.
Namun sebenarnya, ada beberapa momen di mana pengusaha ritel dan pebisnis memberikan diskon-diskon khusus tahunan yang bisa dinikmati masyarakat.
Contohnya adalah promo-promo lebaran yang biasanya diberikan selama bulan Ramadhan tiap tahunnya. Mulai dari makanan, baju hingga barang-barang elektronik dan otomotif dijual dengan harga miring.
Tingginya minat belanja jelang lebaran ini juga didukung oleh peraturan pemerintah untuk mewajibkan semua perusahaan memberikan Tunjangan Hari Raya (THR), yang diharapkn mampu menghidupkan roda ekonomi jelang lebaran. Selain itu, kencangnya nafsu belanja jelang Idul Fitri ini pun berkaitan erat dengan tradisi masyarakat Indonesia yang selalu mengasosiasikan hari raya dengan barang serba baru.
Selain itu, ada pula peringatan Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) di Indonesia.
Harbolnas menjadi momen toko-toko online memberikan promo dan diskon dengan harga super miring untuk menarik calon-calon pembeli. Pasar-pasar e-commerce juga tak sedikit memberikan voucher diskon tambahan agar bisa menambah banyak calon pembeli ke platformnya.
Biasanya, Harbolnas diperingati pada tanggal 12 Desember tiap tahunnya dengan tajuk 'promo 12.12'.
Black Friday atau momen serupa seperti Harbolnas atau promo lebaran memang mendorong Sobat Cuan untuk berbelanja lebih. Tak hanya karena kebutuhan, tapi harga-harga yang sangat miring biasanya membuat setiap orang tergiur untuk membeli barang-barang yang mereka inginkan, yang terkadang sebenarnya tidak begitu mendesak.
Sebelum menhabiskan uang belanja, pastikan kamu membuat beberapa rencana seperti menetapkan anggaran belanja dan membuat daftar belanja.
Selain itu, sebaiknya lakukan riset harga terlebih dahulu dengan membandingkan promo antar retailer agar Sobat Cuan mendapatkan harga optimal dan tidak memunculkan kebiasaan berbelanja impulsif yang merugikan.
Terakhir, pikirkan kebutuhan jangka panjang yang masih harus dipenuhi di luar masa Black Friday, Harbolnas dan momen-momen serupa.
Jangan sampai, Sobat Pluang terlalu tergiur dengan diskon-diskon yang diberikan dan kalap berbelanja hingga tak menyisakan anggaran untuk kebutuhan yang akan datang ke depan.
Baca Juga: Anti Panic Buying Saat Pandemi! Yuk, Simak 8 Tips Hemat Belanja di Sini!
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi Saham AS, indeks saham AS, emas, ratusan aset kripto dan puluhan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Sumber: Investopedia, History.com, Brittanica
Bagikan artikel ini