Investor boleh saja menaksir harga saham dengan berbagai analisis. Namun, harga saham tetap saja susah diprediksi. Apa sebabnya?
Secara umum, pasar modal menyerap informasi secara efisien. Artinya, seluruh informasi yang diketahui pasar baik positif maupun negatif telah dipertimbangkan dan pada akhirnya dicerminkan oleh harga saham.
Misalnya, jika perusahaan X mengungkapkan perhitungan bahwa mereka akan bisa meningkatkan laba mereka lebih besar dari perkiraan awal, investor akan bergerak untuk membeli saham sebagai tanggapan atas informasi baru ini. Setelah dampak berita baik ini sudah dicerna atau “priced in” oleh pasar, maka harga saham tersebut akan lebih tenang dan stabil. Investor yang ketinggalan kereta harus mencari alasan lain jika ingin ikut memegang saham itu karena dia akan terpaksa membeli di harga yang lebih mahal.
Ketika realisasi atas laba perusahaan X ternyata melebihi, atau lebih rendah, dari ekspektasi, maka harga saham pun bisa naik-turun secara signifikan.
Nah, karenanya, maka informasi orang dalam (insider information) adalah kejahatan di pasar saham. Biasanya, insider information ini berisi kabar mengenai aksi akuisisi yang dilakukan oleh satu perusahaan.
Contoh berita akuisisi di Indonesia adalah kabar niatan PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) untuk membeli PT Solusi Tunas Pratama Tbk (SUPR). Harga SUPR langsung melompat dari Rp7.025 per lembar menjadi Rp12.075 per lembar, alias 72%, hanya tiga hari setelah kabar itu mencuat.
Baik TOWR dan SUPR adalah perusahaan penyedia menara telekomunikasi di Indonesia. TOWR memiliki 21.500 menara, sementara SUPR memiliki 6.400 menara. Keduanya meminjamkan menara-menara tersebut kepada provider telekomunikasi seperti Telkomsel, Indosat, XL, dan Tri.
Tapi semakin efisien pasar dalam menyerap kabar, maka investor pun kian susah dalam memilih saham unggulannya. Sebab, mereka makin sulit mendulang untung ketika kabar baik atau kabar buruk sudah dicerna pasar (priced in).
Terdapat beberapa hedge fund yang memanfaatkan teknologi algoritma seperti kecerdasan rekayasa atau Artificial Intelligence yang bisa melakukan hal seperti memantau kabar di Twitter dan juga melakukan transaksi jual-beli lebih cepat dibanding manusia. Alhasil, di zaman sekarang, proses penetapan harga telah jauh lebih cepat dibandingkan sebelumnya.
Analis dan manajer investasi ulung perlu menggabungkan informasi-informasi layaknya mozaik. Bagi mereka, satu keping informasi (yang tentunya bisa didapatkan secara resmi) tidak bisa menjelaskan sebuah kondisi tertentu. Sehingga, mereka harus mengumpulkan dan menyusun banyak informasi serta petunjuk yang mungkin luput dari perhatian investor pada umumnya.
Makanya, dibanding susah-susah mengumpulkan informasi di pasar, investor lebih baik menempatkan dana di indeks yang dihitung berdasarkan pembobotan kapitalisasi pasar saham di dalamnya. Dengan demikian, mereka bisa melakukan diversifikasi dengan biaya efisien dibanding memilih saham tunggal.
Untuk mendulang imbal hasil yang lebih baik di pasar modal, Sobat Cuan harus percaya diri bahwa investor lain akan setuju dengan pandangan pasarmu yang sekarang (atau informasi milikmu yang belum diketahui investor lainnya) belum dicerna oleh investor lainnya. Pelaku pasar bisa saja kurang bereaksi terhadap informasi tertentu atau sebaliknya malah terlalu berlebihan. Namun, reaksi mereka nantinya akan muncul dengan cara yang tak bisa diprediksi.
Seperti yang pernah dijelaskan di Investing 101, walau mungkin saja bisa mengalahkan pasar dalam jangka pendek namun dalam jangka panjang investor akan kewalahan untuk terus berhasil mengantongi informasi-informasi yang belum terlihat dan mempertahankan kemenangannya.
Bagikan artikel ini
3 Cara Valuasi Saham
6 Faktor Mempengaruhi Harga Saham
Mengenal Indeks Saham Utama
Mengapa Harga Saham Sulit Diramal?
Lebih Baik Investasi Saham Tunggal, Indeks, Atau Reksa Dana Saham?
Lebih Baik Investasi Saham Domestik atau Saham Global? Atau Keduanya?
Apa Itu Pasar Modal?
7 Risiko Utama Investasi Saham
5 Alasan Untuk Berinvestasi di Pasar Saham
3 Jenis Gaya Investasi Saham