Terdapat tiga cara utama untuk menilai saham sebuah perusahaan:
Metode ini, secara teori, adalah metode yang cukup ekstensif dalam menilai sebuah perusahaan. Metode perhitungan ini pun sering diajarkan di perguruan tinggi. Di dalam perhitungan ini, aset apapun adalah nilai saat ini (present value) dari nilai arus kasnya di masa depan.
Sebagai contoh, anggap sebuah perusahaan membayar US$100 kepada investor setiap tahun selama 10 tahun. Maka, secara kasat mata, nilai perusahaan tersebut seharusnya sebesar US$1.000 (US$100 x 10 tahun). Namun, pada kenyataannya, nilai perusahaan akan lebih rendah dari US$1.000, mungkin di kisaran US$800 hingga US$900.
Hal ini bisa terjadi karena nilai arus kas sebesar US$100 di tahun ke-10 tidak akan sama dengan nilai US$100 di tahun pertama. Sebab, nilai uang akan tergerus inflasi. Selain itu, terdapat faktor ketidakpastian di mana investor kemungkinan tidak menerima arus kas di tahun ke-10.
Investor akan membutuhkan informasi yang banyak sebelum menentukan nilai sebuah perusahaan menggunakan discounted cash flows. Metode ini terbilang cukup teknis dan membutuhkan bantuan spreadsheet atau komputer untuk menghitungnya.
Namun, pada praktiknya, investor bisa melakukan valuasi saham menggunakan rasio-rasio keuangan penting. Salah satunya adalah rasio harga saham terhadap laba per saham (Price-to-earning ratio atau rasio P/E).
Memanfaatkan rasio P/E adalah cara yang praktis untuk mengukur nilai sebuah perusahaan. Dalam metode ini, yang dimaksud dengan harga adalah harga saham sementara laba adalah laba per saham yang dihitung dari laba sesudah pajak dibagi dengan jumlah saham perusahaan.
Rasio ini menunjukkan berapa tahun yang dibutuhkan perusahaan untuk membayar aset tersebut dari labanya . Sebagai contoh, jika rasio P/E sebuah perusahaan adalah 20, berarti perusahaan tersebut tiap tahunnya menghasilkan laba setara dengan 5% dari nilai asetnya.
Investor kadang menggunakan rasio P/E untuk mengukur daya tahan sebuah perusahaan. Semakin tinggi angka rasio P/E sebuah perusahaan, maka semakin kuat pula kemampuan perusahaan tersebut melindungi keunggulan bersaingnya (competitive advantage).
Sebagai contoh, kedai kopi kaki lima atau bisnis kecil lainnya mungkin memiliki rasio P/E 3 kali lipat. Sementara itu, rasio P/E perusahaan sektor teknologi rata-rata berada di angka 30 hingga 40 kali.
Nilai rasio yang tinggi ini menandakan bahwa perusahaan seperti Google, Facebook, dan Amazon memiliki "keunggulan tersendiri" (economic moat) sehingga mereka bisa bertahan 30 tahun dengan kondisi bisnis saat ini. Di sisi lain, bisnis kecil-kecilan, secara realistis, mungkin hanya akan berdiri selama tiga tahun saja.
Saham Google diperdagangkan dengan rasio P/E di kisaran 30 kali. Sehingga, jika laba Google tiba-tiba melompat sebesar 20% (mungkin dari bisnis YouTube yang dimiliki Google), maka pelaku pasar akan memandang bahwa angka pertumbuhan itu sebagai kemajuan bisnis yang tetap bisa dipertahankan selanjutnya. Jika tidak ada perubahan dari faktor lain, pertumbuhan laba tersebut sepatutnya juga mendongkrak harga saham Google sebesar 20%.
Namun, pada kenyataannya, nilai rasio P/E berubah-ubah antar waktu dan dipengaruhi oleh sentimen investor. Sebagai contoh, jika pemerintah Amerika Serikat dan pemerintahan lain memutuskan untuk meregulasi dan menaikkan setoran pajak dari perusahaan teknologi, maka investor akan mempertimbangkan risiko tersebut dan menurunkan rasio P/E yang layak sekarang hanya di angka 20 hingga 25 kali. Hal ini akan bikin harga saham perusahaan teknologi anjlok 20% hingga 30%.
Berikut ini adalah rasio P/E saham-saham Indonesia berdasarkan sektornya.
Berikut adalah rasio P/E saham-saham AS berdasarkan sektornya
Rasio P/E merupakan indikator yang bagus untuk melakukan valuasi saham. Hanya saja, investor terkadang menggunakan metode pengukuran lainnya.
Sama seperti rasio P/E, rasio EV/EBITDA mengukur nilai perusahaan relatif terhadap labanya. Tetapi, kali ini pengukurannya cukup berbeda lantaran menggunakan variabel nilai perusahaan (Enterprise Value atau EV) dan laba sebelum pajak, beban bunga, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA).
Sebelum melangkah lebih lanjut, Sobat Cuan perlu memahami konsep akuntansi bahwa Aset = Utang + Ekuitas. Nah, variabel EV yang dimaksud adalah hasil total nilai dari utang + ekuitas. Variable ini berbeda dengan rasio P/E, di mana harga saham hanya mempertimbangkan faktor ekuitas semata.
Lebih lanjut, di dalam metode ini, laba perusahaan tercermin dalam variabel EBITDA. Sebab, EBITDA dianggap mencerminkan arus kas sebenarnya dari sebuah perusahaan ketimbang variabel laba setelah pajak yang digunakan dalam kalkulasi rasio P/E.
Pada umumnya, rasio EV/EBITDA dianggap sebagai metode pengukuran valuasi saham yang lebih baik dibandingkan rasio P/E. Ini lantaran rasio EV/EBITDA mampu menunjukkan nilai sesungguhnya dari perusahaan. Di sisi lain, rasio P/E bisa dipengaruhi oleh pemanfaatan utang-utang yang dimanfaatkan perusahaan. Oleh karenanya, rasio EV/EBITDA diangap lebih baik dalam mengukur kinerja bisnis sebuah perusahaan.
Kamu bisa melihat tabel di bawah ini untuk melihat contoh pemanfaatan rasio EV/EBITDA antara saham sektor telekomunikasi Indonesia berikut.
Dari tabel di atas, kamu bisa membaca bahwa rata-rata rasio EV/EBITDA saham sektor telekomunikasi Indonesia di angka 15,64. Saham PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) memiliki rasio EV/EBITDA sebesar 5,24 kali, atau di bawah angka rata-rata, sementara saham PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) punya rasio EV/EBITDA di atas angka rata-rata yakni 48.
Berdasarkan data tersebut, kita bisa mengatakan bahwa saham TLKM berada di bawah nilai sesungguhnya (undervalued). Di sisi lain, kita juga bisa menganggap valuasi saham FREN kemahalan (overvalued) karena memiliki rasio EV/EBITDA di atas angka rata-rata.
Namun, pada kenyataannya, rasio ini bukanlah satu-satunya ukuran untuk menilai valuasi saham atau perusahaan. Investor juga perlu mempertimbangkan faktor lainnya, misalnya pendapatan, tingkat utang, dan tingkat profitabilitas perusahaan, yang menjadi penyebab kenapa harga saham sebuah perusahaan seolah-olah kemahalan.
Kembali ke tabel. Kita lihat saham TLKM memiliki rasio P/E dua kali lipat dibandingkan rasio P/E PT Indosat Tbk (ISAT).
Ini dikarenakan Indosat memiliki tingkat utang terhadap ekuitas (debt-to-equity) yang lebih tinggi atau leverage sehingga rasio P/E Indosat sangat peka terhadap perubahan laba sekecil apapun. Jadi, ketika terdapat pertumbuhan laba positif sekecil apapun, maka rasio P/E ISAT bisa langsung amblas. Hal ini membuat valuasi saham TLKM terlihat lebih mahal dibanding ISAT.
Namun, jika dilihat dari kacamata rasio EV/EBITDA, valuasi antara kedua saham ternyata tak berbeda jauh, yakni 5,24 dibandingkan dengan 4,46.
Beberapa perusahaan yang bergelut di industri yang sama bisa menggunakan variasi lain dari rasio P/E untuk mengukur valuasi sahamnya. Langkah ini dilakukan karena perusahaan yang punya rasio P/E tinggi cenderung memiliki pertumbuhan yang sama-sama cemerlang.
Terlebih, investor biasanya akan rela menanamkan uang lebih di saham-saham perusahaan yang kinerjanya tengah bertumbuh. Nah, untuk menangkap faktor "pertumbuhan" tersebut, investor biasanya menggunakan rasio PE/G. Yakni, membagi rasio P/E dengan tingkat pertumbuhan perusahaan tersebut (G).
Perhitungan ini akan memberikan valuasi yang lebih besar untuk suatu perusahaan yang memiliki pertumbuhan lebih besar.
Sebagai gambarannya, Sobat Cuan bisa melihat tabel berikut:
Tabel di atas menunjukkan bahwa Apple memiliki rasio P/E lebih tinggi dibandingkan Cisco. Namun, jika dilihat menggunakan rasio PEG, maka rasio PEG Apple berada di angka 1,54 sementara rasio PEG Cisco di angka 3,64.
Sementara itu, rasio PEG industri perusahaan teknologi AS ada di angka 2. Berdasarkan data tersebut, maka rasio PEG Apple berada di bawah rata-rata sektor teknologi AS meski rasionya P/E miliknya cukup tinggi.
Dengan demikian, maka kita bisa menilai bahwa Apple memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi yang "membenarkan" angka rasio P/E Apple yang tinggi.
Sementara itu, di Indonesia, kita bisa membandingkan saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dan PT Adi Sarana Armada Tbk (ASSA).
Selama ini, Unilever dikenal sebagai perusahaan barang-barang konsumsi yang memiliki reputasi baik serta jenama yang kuat. Namun, pertumbuhan perusahaan melambat dalam beberapa waktu terakhir, dan bahkan sempat mencetak pertumbuhan negatif, gara-gara pelemahan daya beli masyarakat. Sehingga, kita bisa mengelompokkan bisnis UNVR sebagai bisnis yang sudah "jenuh".
Di sisi lain, ASSA memiliki fokus bisnis di penyewaan mobil dan lelang mobil bekas. Namun, baru-baru ini, perusahaan meluncurkan bisnis logistik bernama AnterAja. AnterAja melayani konsumen marketplace Tokopedia dan kini menikmati pertumbuhan volume logistik yang luar biasa.
Dari tabel di atas, Sobat Cuan bisa melihat bahwa rasio P/E UNVR lebih rendah dibanding ASSA. Tapi, UNVR terus mengalami penurunan penjualan dan laba bersih.
Di sisi lain, pertumbuhan penjualan ASSA mencapai lebih dari 50% dan sukses mencetak pertumbuhan laba bersih tiga digit. Jika dilihat dari rasio PEG, maka ASSA dianggap sebagai perusahaan yang lebih menarik dibanding UNVR.
Investor juga menggunakan rasio lainnya dalam mengukur valuasi saham. Biasanya, ukuran ini tergantung sesuai jenis industrinya.
Untuk melakukan valuasi atas saham perusahaan industri padat modal, seperti bank atau industri manufaktur, investor biasanya menggunakan rasio P/BV. Yakni, rasio harga saham terhadap nilai buku perusahaan.
Contohnya bisa kamu temukan di tabel perbandingan saham-saham emiten perbankan Indonesia berikut:
Tabel di atas menunjukkan, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) memiliki rasio PBV tertinggi karena bisa mempertahankan profitabilitasnya selama pandemi COVID-19. Selain itu, bank swasta tersebut juga punya modal lebih tinggi dibanding bank lainnya dengan CAR senilai 24,20.
Sementara itu, saham PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR) memiliki rasio PBV di bawah rata-rata dan mampu menjaga tingkat pengembalian atas ekuitas (ROE) di tahun lalu. Hanya saja, ia memiliki rasio kecukupan modal (CAR) dan kapitalisasi pasar yang kecil. Harga BJBR menarik, namun jika ia dibandingkan dengan bank-bank lain yang seukurannya dan lebih kecil dari BCA.
Investor juga bisa menggunakan indikator rasio harga saham terhadap nilai penjualan (Price-to-Sales atau rasio P/S) untuk mengukur valuasi perusahaan yang berkecimpung di industri yang tengah berkembang dan bahkan belum membukukan laba sama sekali.
Perhitungan ini berguna untuk mengukur nilai saham perusahaan teknologi, utamanya yang bertumbuh cepat, sudah mulai mencatat pendapatan namun masih belum menunjukkan profitabilitas jika diukur menggunakan indikator tradisional. Lumrah saja, sebab biaya operasional mereka tinggi karena perlu menggelontorkan investasi yang deras demi menumbuhkan ukuran perusahaan.
Sebagai contohnya, Sobat Cuan bisa melihat perbandingan perusahaan teknologi AS berikut.
Tabel di atas menunjukkan bahwa rasio P/S Hubspot terbilang 30,26, berada di atas rerata rasio P/S sektor teknologi AS yakni 38,69.
Namun, kita tidak dapat melihat rasio P/E Hubspot karena perusahaan masih melaporkan rugi bersih. Dalam hal ini, yang bisa kita lakukan untuk melakukan valuasi saham Hubspot adalah dengan melihat rasio P/S.
Di sisi lain, rasio P/S Salesforce berada di angka 11,07, sama-sama di atas rerata rasio P/S sektor teknologi AS. Rasio P/S Salesforce juga lebih kecil dibanding Hubspot. Kondisi itu bisa menjadi indikasi awal bahwa valuasi saham Salesforce lebih baik dibanding Hubspot.
Namun, dalam kasus ini, investor tak bisa mengandalkan rasio P/S semata. Jika diteliti lebih lanjut, ternyata pertumbuhan pendapatan Hubspot lebih baik dibandingkan Salesforce, seperti terlihat di tabel berikut. Sehingga ini merupakan salah satu alasan untuk menerima rasio Hubspot yang lebih tinggi.
Bagikan artikel ini
3 Cara Valuasi Saham
6 Faktor Mempengaruhi Harga Saham
Mengenal Indeks Saham Utama
Mengapa Harga Saham Sulit Diramal?
Lebih Baik Investasi Saham Tunggal, Indeks, Atau Reksa Dana Saham?
Lebih Baik Investasi Saham Domestik atau Saham Global? Atau Keduanya?
Apa Itu Pasar Modal?
7 Risiko Utama Investasi Saham
5 Alasan Untuk Berinvestasi di Pasar Saham
3 Jenis Gaya Investasi Saham