Sobat Cuan yang rajin menyimak kabar finansial dan ekonomi pasti sering menemukan kabar mengenai "Perusahaan A yang akan melakukan Initial Public Offering" alias IPO. Tapi, apa itu konsep IPO? Yuk, simak penjelasannya di sini!
Initial Public Offering (IPO) dikenal dengan istilah penawaran umum perdana. IPO adalah aksi perusahaan yang menggalang dana dengan melepas saham atau kepemilikannya kepada masyarakat umum melalui bursa saham. Oleh karenanya, tak jarang perusahaan yang melakukan aksi tersebut disebut sebagai perusahaan go public.
Secara teori, perusahaan akan melepas sebagian kecil kepemilikannya jika mereka merasa punya prospek bisnis yang menjanjikan ke depan.
Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan menghelat IPO dengan total saham beredar sebanyak 100.000 lembar, maka sang pemilik perusahaan hanya akan melepas 20% dari kepemilikannya yakni 20.000 lembar saja.
Aksi tersebut dapat dimaklumi, mengingat pemilik perusahaan tentu ingin tetap memegang kendali jika potensi bisnisnya cemerlang di masa depan. Namun, pemilik perusahaan perlahan bisa kehilangan status pengendali jika jumlah sahamnya setelah IPO terus menyusut dibanding saat penawaran umum perdana.
Di sisi lain, perusahaan bisa melepas saham lebih banyak ke publik jika mereka benar-benar membutuhkan pendanaan. Aksi tersebut umumnya dilancarkan oleh perusahaan sektor teknologi yang memang selalu butuh dana segar demi mengembangkan inovasinya.
Selain itu, dana yang akan diraup dari perusahaan saat IPO sangat tergantung dengan jumlah saham yang dilepas.
Sebagai contoh, anggap Perusahaan A melakukan IPO dengan melepas 20% dari 100.00 lembar sahamnya ke publik dengan harga Rp10.000 per lembar. Maka, perusahaan itu akan mendulang pendanaan publik sebesar Rp200 juta. Berikut rumusnya:
Jumlah saham beredar x harga perdana = 20.000 lembar x Rp10.000 = Rp200 juta
Namun, harga saham perusahaan yang meningkat pasca IPO juga bisa mendongkrak nilai perusahaan tersebut.
Contohnya, jika perusahaan A memiliki 100.000 lembar saham ke publik saat IPO dengan harga Rp10.000 per lembar, maka nilai perusahaan mereka terbilang Rp1 miliar.
Ternyata, seiring berjalannya waktu, harga saham A meroket ke Rp15.000 per lembar. Nah, apresiasi harga saham tersebut membuat nilai perusahaan melonjak jadi Rp1,5 miliar.
Perusahaan memang diperkenankan menggalang dana dari publik melalui IPO. Hanya saja, tak semua perusahaan layak menggelar penawaran umum perdana karena mereka harus memenuhi berbagai syarat sebelum melakukannya.
Payung hukum utama pelaksanaan IPO di Indonesia termuat di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Pasal 1 ayat 22 beleid tersebut menyebut, sebuah perusahaan bisa menjadi perusahaan publik asal sahamnya dimiliki sekurang-kurangnya 300 pemegang saham dan punya modal disetor minimal Rp3 miliar, atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Beleid yang sama juga menyebut bahwa perusahaan yang bisa melakukan IPO adalah emiten yang telah menyampaikan pendaftaran ke otoritas pengawas pasar modal, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Nah, sebagai tindak lanjut atas UU tersebut, OJK pun memiliki 12 aturan utama terkait tata cara dan pendaftaran IPO.
Selain itu, PT Bursa Efek Indonesia (BEI), selaku pihak yang diberi amanat UU Pasar Modal untuk menjadi penyelenggara sistem jual-beli efek di Indonesia, juga menerbitkan aturan mengenai kriteria-kriteria bagi perusahaan yang ingin menawarkan sahamnya ke publik yakni Peraturan BEI I-V Tahun 2019.
Kriteria tersebut memang terbilang cukup banyak, Sobat Cuan. Namun, secara umum, berikut adalah syarat-syarat bagi perusahaan yang berniat melantai di bursa efek.
Bagikan artikel ini