Rangkuman Kabar di Selasa akhir bulan Agustus ini berisikan strategi pemerintah mengalihkan lokomotif pertumbuhan ekonomi dari konsumtif jadi produktif. Namun di sisi lain, terdapat pula kabar kurang sedap dari luar negeri. Yuk, simak semuanya di rangkuman kabar berikut!
Presiden Joko Widodo memaparkan rencana jangka panjang untuk mengganti dominasi konsumsi rumah tangga sebagai lokomotif utama pertumbuhan ekonomi. Jokowi mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia nantinya harus ditopang dari sisi ekspor yang memiliki nilai tambah.
Hal itu dapat tercipta jika Indonesia aktif mengembangkan hilirisasi industri. Adapun sektor yang didorong pemerintah untuk melakukan hilirisasi adalah nikel, bauksit, dan kelapa sawit. Selain itu, pemerintah juga mencanangkan transformasi pertanian dari hulu ke hilir, termasuk dengan memberi nilai tambah pada produk pasca panen.
Sebagaimana diketahui, ekonomi Indonesia pada kuartal II-2021 tumbuh sebesar 7,07% secara tahunan, di mana konsumsi rumah tangga menyumbang 3,17% atau hampir separuh dari pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, konsumsi rumah tangga memegang 55,07%.
Di sisi lain, ekspor barang dan jasa mengambil porsi 20,31% terhadap PDB di periode yang sama.
Ekspor dan konsumsi adalah dua dari empat faktor pembentuk pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran (expenditure approach). Sehingga, jika dua kegiatan itu bertumbuh, maka ekonomi juga bisa ikut bertumbuh.
Namun, fokus pemerintah untuk menjadikan ekspor sebagai motor pertumbuhan ekonomi adalah langkah yang lebih baik dibanding bergantung pada konsumsi. Sebab, kegiatan ekspor, yang merupakan muara dari kegiatan industri, tentu memiliki efek pengganda ekonomi (multiplier effect) yang luas, seperti pertumbuhan lapangan pekerjaan dan pendapatan masyarakat. Kedua hal itu mungkin akan sulit didapatkan dari kegiatan konsumsi.
Hanya saja, pemerintah membutuhkan investasi dalam jumlah besar untuk mewujudkan hilirisasi industri dan memproduksi produk ekspor yang berdaya saing tinggi di masa depan.
Baca juga: Kabar Sepekan: Spekulasi Tapering Kuat, RI Tebar Insentif Pasar Modal
Pemerintah kembali memperpanjang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat alias PPKM. Namun, sejumlah pelonggaran baru ikut diberlakukan seperti perpanjangan jam operasional mall dan restoran, hingga izin operasi 100% untuk seluruh industri baik yang berorientasi domestik maupun ekspor.
Pemerintah terus mengupayakan pelonggaran saat PPKM demi memulihkan perekonomian. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pasca pelonggaran PPKM berlaku di bulan Agustus, kinerja perekonomian mulai berbalik arah jadi positif.
Pelonggaran PPKM akan membuka kembali kegiatan ekonomi yang selama ini terhenti akibat pembatasan sosial. Hal itu nantinya akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat, sehingga bisa menstimulasi pertumbuhan ekonomi kuartal IIi.
Baca juga: Rangkuman Kabar: BI dan The Fed Kompak Ketatkan Kebijakan Moneter
Badan statistik Eropa melaporkan bahwa tingkat inflasi di Uni Eropa mencapai 3% di bulan Agustus. Angka ini merupakan level inflasi tertinggi sejak 2011, bahkan melampaui target inflasi Bank Sentral Eropa yakni 2%.
Uni Eropa mengklaim peningkatan inflasi didorong oleh pemulihan ekonomi di Uni Eropa pasca pandemi.
Inflasi biasanya memang sejalan dengan geliat perekonomian. Hanya saja, inflasi yang terpental melampui target bank sentral akan mendesak otoritas moneter benua biru tersebut untuk meresponsnya dengan pengetatan kebijakan moneter, seperti kenaikan suku bunga acuan.
Kenaikan suku bunga acuan akan mengerek suku bunga tabungan dan pinjaman. Jika suku bunga kredit melonjak, maka masyarakat dan dunia usaha enggan mengajukan pinjaman untuk konsumsi dan investasi. Konsumsi dan investasi sendiri adalah dua motor penggerak ekonomi. Implikasinya, jika pengetatan kebijakan moneter tidak dilakukan secara hati-hati dan terukur, maka pertumbuhan ekonomi Uni Eropa akan jadi taruhannya.
Baca juga: Rangkuman Kabar: Realisasi APBN Tumbuh, Korea Selatan Curi Start
Biro Statistik Nasional China merilis bahwa indeks manufaktur China pada Agustus sebesar 50,1, atau susut dibanding bulan Juli yakni 50,4. Penurunan lebih tajam terjadi pada indeks non-manufaktur yakni dari 53,5 di Juli menjadi 47,5 di Agustus.
Indeks manufaktur adalah cerminan produktivitas industri suatu negara. Sehingga, jika nilai indeksnya mengalami kontraksi, maka artinya produktivitas industrinya menurun.
Produktivitas yang susut menjadi bukti bahwa ekonomi China masih belum berjalan dengan kapasitas penuh. Hal itu tentu akan berdampak ke pertumbuhan ekonomi China nantinya.
Ekonomi China yang bergelombang akan berpengaruh ke ekonomi global mengingat Produk Domestik Bruto (PDB) China mengambil 8% PDB global.
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 index futures, serta aset kripto dan reksa dana! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Sumber: CNBC, The Guardian, CNN Indonesia, Bisnis Indonesia, Kompas
Bagikan artikel ini