Selamat menjelang akhir pekan, Sobat Cuan! Rangkuman Kabar kembali menyapa kamu hari ini dengan rentetan kabar ekonomi terkini, seperti nilai ekspor nikel RI yang tembus Rp300 triliun dan inflasi AS yang makin panas! Yuk, simak di sini!
Presiden Joko Widodo mengatakan, nilai ekspor produk barang jadi dan setengah jadi nikel Indonesia sebesar Rp300 triliun pada tahun lalu. Angka tersebut melonjak tajam dibanding rata-rata nilai ekspor nikel Indonesia yang berkisar Rp15 triliun hingga Rp20 triliun per tahun.
Jokowi menambahkan, hal itu terjadi setelah Indonesia melarang ekspor nikel mentah sejak Januari 2020. Hal itu tercantum di Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
"Karena kita setop dan muncul industrial down streaming, hilirisasi, 2021 ekspor setengah jadi dan jadi, menjadi US$20,8 miliar, artinya dari Rp15 triliun melompat kurang lebih (menjadi) Rp300 triliun," jelas Jokowi, Jumat (11/3).
Jika tren ekspor nikel terus bertumbuh, maka surplus neraca perdagangan Indonesia bakal semakin tebal. Sementara itu, kenaikan surplus neraca perdagangan tentu akan menambah pundi-pundi cadangan devisa negara.
Cadangan devisa yang mumpuni adalah kunci untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Pasalnya, Bank Indonesia (BI) akan menggunakan cadangan devisa untuk menstabilkan kurs Rupiah melalui intervensi pasar valuta asing.
Perum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) mengaku sudah mendapat penugasan dari pemerintah untuk menambah stok kedelai dalam negeri melalui pengadaan impor. Hal ini diharapkan dapat menekan harga kedelai, sehingga harga produk bahan makanan berbasis kedelai, seperti tahu dan tempe, tidak melonjak.
Kendati demikian, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengatakan instansinya belum memutuskan negara asal impor kedelai yang dimaksud. Namun, ia menambahkan bahwa salah satu opsinya adalah mengimpor kedelai dari Thailand.
Kenaikan impor kedelai tentu akan mengurangi surplus neraca perdagangan Indonesia. Namun, kebijakan ini perlu ditempuh untuk menanggulangi inflasi dalam negeri, khususnya inflasi berkategori bahan pangan bergejolak (volatile food).
Sementara itu, inflasi volatile food merupakan inflasi yang "kejam" karena tidak mencerminkan pertumbuhan daya beli masyarakat. Selain itu, inflasi jenis ini hanya akan mengikis pendapatan atau laba pelaku usaha.
Baca juga: Pluang Pagi: Invasi & Inflasi Kian Meradang, Saham AS & Kripto 'Kejang'
Departemen Ketenagakerjaan AS mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) AS lompat 7.9% secara tahunan pada Februari 2022, lebih tinggi dibanding Januari yakni 7,5%. Dengan kata lain, AS mencatat rekor inflasi tahunan tertinggi terbarunya sejak 1982 silam.
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), makanan, dan tempat tinggal menjadi biang keladi meroketnya inflasi AS bulan lalu. Di sisi lain, nilai inflasi inti AS, yakni inflasi yang mencerminkan kekuatan daya beli masyarakat, hanya tercatat 6,4% secara tahunan.
Kenaikan inflasi AS tentu akan menjadi pertimbangan bagi bank sentral AS, The Fed, dalam menentukan arah kebijakan moneternya ke depan.
Melihat inflasi yang mencetak rekor terbarunya, plus potensi inflasi ke depan akibat kenaikan harga energi, maka The Fed kemungkinan melancarkan kebijakan moneter agresif.
AS, bersama negara-negara anggota tujuh negara maju (G7) dan Uni Eropa, berniat meningkatkan tarif impor untuk produk yang berasal dari Rusia. Hal ini dimaksudkan untuk menekan kinerja ekspor dan pertumbuhan Rusia setelah negara tersebut masih ogah angkat kaki dari Ukraina.
Salah seorang sumber di lingkaran Gedung Putih mengatakan kepada Reuters bahwa Presiden AS Joe Biden akan mengumumkan wacana tersebut di Washington DC pada hari ini
Sumber tersebut menambahkan, langkah itu juga akan mewajibkan masing-masing negara G7 dan Uni Eropa untuk menurunkan status hubungan dagangnya dengan Rusia, yakni dari "negara prioritas impor" menjadi satu atau beberapa tingkatan di bawahnya.
Sanksi ini sepatutnya dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk mengirim produk ekspor substitusi produk Rusia ke negara-negara barat. Jika Indonesia dapat memanfaatkan peristiwa ini, maka surplus neraca dagang Indonesia akan tokcer.
Baca juga: Rangkuman Kabar: Warga RI Tahan Belanja, AS 'Banjir' Lowongan Kerja
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 dan Nasdaq index futures, serta aset kripto dan reksa dana! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang.
Sumber: CNN Indonesia, Bloomberg, Investing.com,
Bagikan artikel ini