Perbincangan mengenai kepemilikan real estat secara fana di dunia maya tampak terbilang jarang tiga tahun lalu. Namun, topik mengenai transaksi rumah hingga kavling tanah di sebuah 'dunia lain' bernama Metaverse kini sudah menjelma menjadi pembahasan sehari-hari. Tapi, apakah real estat maya itu harus benar-benar kamu miliki? Yuk, simak jawabannya di Pluang Insight berikut!
Sejak Decentraland (MANA) melantai atau Initial Coin Offerings (ICO) pada Agustus 2017, komunitas kripto marak mendiskusikan mengenai eksistensi dunia virtual. Betapa tidak, Decentraland kala itu menawarkan konsep kehidupan 'lain' di luar kehidupan nyata yang cukup mirip dengan dunia nyata.
Di dunia fana tersebut, masyarakat bisa melakukan kegiatan yang umum mereka lakukan di kehidupan sebenarnya. Mulai dari melakukan kegiatan ekonomi, berinteraksi dengan sesama penghuninya, bahkan bertanding game dengan sosok-sosok lain di semesta tersebut.
Saking penasarannya dengan kehidupan maya tersebut, komunitas kripto pun membeli aset-aset dalam bentuk Non-Fungible Token di dunia virtual sebesar US$500 juta. Nah, salah satu jenis aset yang mereka borong di dunia tersebut adalah ragam jenis properti, mulai dari rumah hingga tanah digital.
Hanya saja, urgensi atas kepemilikan lahan digital kemudian menjadi perdebatan yang cukup serius bukan hanya di kalangan komunitas kripto, namun juga masyarakat secara umum.
Di satu sisi, terdapat kubu yang kontra terhadap kepemilikan lahan maya tersebut. Mereka merasa, memiliki lahan virtual adalah sesuatu yang lebay dan percuma mengingat lahan tersebut tidak beneran ada. Dengan kata lain, memiliki lahan virtual tidak akan mendulang keuntungan apa-apa bagi pemiliknya.
Namun, di sisi lain, terdapat kelompok optimistis yang merasa harus memiliki lahan virtual lantaran ia punya satu sifat yang tak dimiliki kavling tanah asli: keabadian. Ya, mereka menganggap bahwa lahan virtual tidak akan hancur dan akan selamanya hadir -- meski jaringan internet tengah byar pet.
Memang, alasan dari kubu pro tersebut memang masih sulit dicerna otak manusia awam. Tetapi, mereka ternyata masih punya banyak amunisi argumen-argumen lain yang intinya menegaskan bahwa memiliki lahan virtual adalah sesuatu yang bermanfaat.
Seperti apa argumen-argumen mereka?
Berikut ini adalah poin-poin yang selalu dikedepankan oleh kaum pro ketika memperdebatkan soal urgensi memiliki lahan digital
Yuk, simak penjelasannya!
Membandingkan tanah virtual dengan real estat fisik bukanlah analogi yang tepat karena keduanya memang bukan barang substitusi secara ekonomi. Alih-alih, tanah virtual lebih mirip dengan papan reklame daripada real estat.
Di tahun 1990-an, internet dikenal sebagai 'jalan raya' dan iklan adalah papan reklame yang berjejeran di 'jalan raya' tersebut. Jika 'jalan raya' tersebut semakin ramai, maka sudah pasti papan reklame tersebut akan marak dilihat orang yang melintasinya.
Analogi di atas sejatinya masih relevan hingga saat ini. Kini, banyak perusahaan yang kian agresif memasarkan produknya melalui internet lantaran penggunanya kian membludak.
Nah, dengan pengandaian yang sama, maka lahan digital sejatinya bakal terlihat menjanjikan jika aktivitas di dalamnya bisa menarik perhatian jutaan pengguna yang lewat setiap bulan, mingguan, atau bahkan setiap hari. Jika aksi itu berhasil, maka lahan virtual tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ajang mendulang cuan dari kegiatan periklanan.
Pluang beranggapan bahwa Sobat Cuan juga boleh saja membeli kavling lahan digital jika memang arus 'manusia' yang hilir mudik di Metaverse terus membludak. Nantinya, kamu bisa memonetisasi kavling tersebut dengan memasang iklan yang mungkin bernilai fantastis.
Dengan perkembangan teknologi, perilaku konsumen pun ikut berevolusi dengan cara yang tidak diduga. Penyebabnya, apalagi kalau bukan tingginya tingkat melek teknologi di generasi muda.
Tengok saja fenomena Gen Z yang sudah sangat fasih dengan dunia digital karena dicekoki hal-hal berbau internet sejak kecil. Kini, mereka melakukan semuanya serba online, mulai dari belajar daring, nongkrong dengan kawan-kawannya melalui jaringan internet, bahkan hingga mencari kencan secara virtual.
Tak ketinggalan, mereka juga getol memanfaatkan internet untuk mendulang cuan. Sebagai contoh, Twitter yang awalnya digunakan untuk berkomunikasi antar pengguna sekarang dimanfaatkan oleh para influencer atau content creator demi mendapatkan keuntungan karena popularitas mereka di jagat media sosial.
Nah, berkaca dari hal tersebut, bukan tidak mungkin nantinya Gen Z akan melihat NFT, aset kripto, hingga lahan di Metaverse sebagai ladang cuan yang berharga di masa depan. Mereka bisa saja menyewakan lahan tersebut untuk pameran seni berbasis NFT.
Sobat Cuan perlu ingat bahwa dunia di masa datang tentu akan berbeda dibanding saat ini. Teknologi baru akan mengganti cara kita bekerja dan mencari kepuasan hidup, termasuk cara mencari nafkah.
Dunia virtual kini telah dibanjiri oleh perusahaan-perusahaan ternama untuk membangun eksistensinya. Contohnya adalah HSBC yang bekerja sama dengan The Sandbox untuk melebarkan inklusi finansial di kancah Metaverse.
Banyaknya perusahaan yang merangsek Metaverse tentu akan mengurangi suplai lahan digital yang tersedia. Nah, sesuai dengan ilmu ekonomi, kelangkaan suplai tentu akan mendongkrak harga lahan-lahan tersebut.
Baca juga: Pluang Insight: Mengadu Prospek Alibaba & Baidu Pasca Jadi Bintang Dadakan
Di sisi lain, terdapat tiga argumen lain yang intinya mengatakan bahwa membeli lahan digital adalah kegiatan yang percuma. Berikut argumen tersebut!
Jika kalian pernah bertemu dengan perantara tanah, maka kalian pasti sering mendengar bahwa lokasi adalah faktor paling utama dalam pembelian tanah.
Sobat Cuan ambil contoh tanah di Jakarta. Harga tanah di Jakarta Pusat mungkin punya nilai fantastis per meter persegi lantaran posisinya yang cukup strategis dan infrastruktur yang mumpuni. Nilainya tentu bakal cenderung lebih mahal dibanding posisi Jakarta 'pinggiran'.
Tapi, apakah ada yang rela menggelontorkan uang bejibun demi punya beberapa bidang tanah di Jakarta Pusat? Tentu masih ada! Pembeli tanah-tanah tersebut tentu juga memperhatikan status dan prestise selain perkara lokasi dan infrastruktur.
Nah, hal inilah yang kemudian disebut dengan efek jaringan. Yakni, kondisi di mana sebuah aset punya nilai tambah tersendiri, baik karena aksesibilitas maupun faktor lainnya. Efek jaringan tersebut bukan hanya terjadi di Jakarta Pusat, namun juga di kota-kota besar lain seperti New York, Singapura, dan Hong Kong.
Namun, apakah efek serupa juga terdapat di lahan virtual? Kaum-kaum kontra sih beranggapan tidak ada.
Di Metaverse, jarak bukanlah hal yang mempengaruhi pola interaksi antar penggunanya lantaran mereka bisa menggunakan teleportasi dari satu sisi ke sisi lainnya.
Selain itu, masyarakat pun bebas dari kebutuhan fisiknya, seperti pangan, papan, sumber air, infrastruktur fisik, dan lainnya. Dengan kata lain, nilai dari lokasi pun bisa dibilang tidak eksis di dunia ini, sehingga tidak semua pemilik lahan mampu memonetisasi lahannya. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa lahan-lahan tersebut tak punya nilai intrinsik.
Dunia virtual yang sukses, mulai dari gaming, aplikasi sosial atau apapun itu, turut membantu kesuksesan dari pengalaman penggunanya.
Seluruh jaringan ini memberdayakan penggunanya untuk menciptakan pengalaman atau konten yang pada gilirannya bakal memutar roda gila yang kemudian dapat menghasilkan lebih banyak lagi pengguna yang mengonsumsi jasa-jasa tersebut.
Nah, kaum kontra beranggapan bahwa konsep serupa juga terjadi di lahan digital. Mereka yakin, suplai lahan digital akan terus bertambah jika memang peminatnya membludak. Sehingga, premis mengenai terbatasnya suplai lahan virtual pun pada akhirnya akan terpatahkan.
Komputasi data, penyimpanan, rendering, bandwidth dan jaringan semua menempatkan faktor yang vital di dunia virtual. Namun, ada kalanya seluruh faktor tersebut tidak dapat menopang kehidupan Metaverse jika penghuninya hadir di saat bersamaan.
Ambil contoh konser Fortnite yang terjadi beberapa waktu lalu. Memang, konser tersebut sukses menarik jutaan penonton, tetapi mereka tak dapat menikmati perhelatan tersebut secara bersamaan. Sehingga, konser virtual ini pun dipecah menjadi ribuan pengalaman yang dibagi menjadi 50 hingga 100 orang per sesinya.
Selain dari konser, game daring seperti MMORPGs (massively multiplayer online role-playing games) seperti World of Warcraft pun memiliki limitasi, di mana kadang penggunanya kerap terbentur masalah kepenuhan peladen.
Jika dilihat dari sejarahnya, maka seluruh kegiatan dan hingar-bingar dunia digital akan pudar pada waktunya.
Contoh kasusnya pun cukup kentara, misalnya media sosial Friendster dan MySpace yang akhirnya menemui senjakala. Bahkan, kini popularitas platform seperti Facebook pun kian luntur, terlihat dari pertumbuhan jumlah penggunanya.
Kaum kontra khawatir bahwa hal serupa dapat terjadi di dunia Metaverse, di mana sang pengguna akan jenuh dan berhenti bermain di lahan digital ini.
Tanah digital sejatinya memiliki nilai jangka pendek melalui pengalaman yang ada di atasnya. Tapi, Pluang juga menilai bahwa nilainya tidak bisa terus-menerus menanjak seperti real estat fisik.
Pasalnya, properti beneran adalah kebutuhan dasar. Semua orang tentu butuh tempat tinggal dan berlindung, sehingga nilai jangka panjang dari rumah akan terletak di situ.
Sementara itu, nilai akrual jangka panjang dari dunia digital sepenuhnya bergantung pada pengalaman. Oleh karenanya, jika pengalaman memudar dan tren zaman nantinya berubah, maka nilai tanah digital akan lemas tak berdaya.
Meskipun debat mengenai tanah digital ini ramai di mana-mana, intisarinya bukanlah berkutat di sekitaran valuasi dunia Metaverse. Namun, pertanyaan yang masih perlu dijawab lahan digital adalah, apakah nilainya akan meningkat di kemudian hari seperti tanah fisik?
Kalau kamu bagaimana, Sobat Cuan? Tertarik punya lahan di Metaverse?
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 dan Nasdaq index futures, serta aset kripto dan reksa dana! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Sumber: Messari
Bagikan artikel ini