Ketika memperhatikan investasi properti, kamu barangkali pernah menemukan istilah housing bubble dan mencari tahu apa itu housing bubble. Housing bubble adalah pembengkakan harga properti alias kenaikan harga rumah yang dipicu oleh berbagai faktor.
Kerap kali, kita merasa terburu-buru perlu membeli properti atau rumah, karena isu bahwa harga properti kian meningkat. Kita lantas membobol tabungan demi membeli properti tersebut. Mengapa fenomena housing bubble ini terjadi? Berapa lama fenomena ini akan bertahan?
Faktor terjadinya gelembung perumahan ini beragam, mulai dari faktor permintaan, spekulasi, hingga pengeluaran yang berlebihan.
Spekulan mengalirkan uang ke pasar, sehingga meningkatkan permintaan. Ketika permintaan menurun atau stagnan dan pada saat yang sama penawaran meningkat, maka terjadilah penurunan harga yang tajam.
Ini yang menyebabkan apa itu housing bubble tidak akan bertahan, dan pada satu titik, keadaan gelembung ini akan pecah.
Baca juga: 3 Kasus Gelembung Aset dalam Sejarah Investasi yang Perlu Kamu Tahu!
Gelembung perumahan alias housing bubble adalah peristiwa sementara, tapi bisa berlangsung selama bertahun-tahun. Biasanya, peristiwa ini didorong oleh sesuatu di luar norma seperti permintaan, spekulasi, tingkat investasi yang tinggi, atau kelebihan likuiditas.
Semua hal ini dapat menyebabkan harga rumah menjadi tidak berkelanjutan. Dan hal ini mengarah pada peningkatan permintaan versus penawaran.
Menurut Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund), gelembung perumahan atau housing bubble adalah hal yang mungkin lebih jarang terjadi dibandingkan equity bubble alias gelembung ekuitas. Namun, cenderung berlangsung dua kali lebih lama.
Gelembung perumahan tidak hanya menyebabkan kehancuran real estat, tapi juga memberi pengaruh signifikan pada orang-orang dari semua kelas, lingkungan, dan perekonomian secara keseluruhan.
Peristiwa housing bubble adalah peristiwa yang dapat memaksa orang untuk mencari cara melunasi hipotek mereka melalui program berbeda. Atau, mungkin meminta mereka menggunakan dana darurat atau tabungan pensiun mereka untuk melunasi biaya perumahan.
Karena itu, gelembung perumahan dianggap sebagai salah satu alasan utama mengapa orang akhirnya kehilangan tabungan mereka.
Negara AS pernah mengalami gelembung perumahaan yang cukup signifikan pada tahun 2000-an. Ini disebabkan oleh masuknya uang ke pasar perumahan, kondisi pinjaman yang longgar, dan kebijakan pemerintah untuk mempromosikan kepemilikan rumah.
Akan tetapi, masyarakat selanjutnya menyadari. Bahwa fenomena gelembung perumahaan ini sama seperti gelembung lainnya. Yakni, housing bubble adalah juga peristiwa sementara dan berpotensi terjadi kapan saja kondisi pasar memungkinkan.
Peningkatan pesat dalam penawaran kredit terkait suku bunga yang sangat rendah dan pelonggaran standar penjaminan kredit dapat membawa peminjam ke pasar dengan situasi housing bubble ini.
Baca juga: 4 Pilihan Investasi Jangka Panjang, Mana yang Terbaik?
Gelembung perumahaan alias housing bubble terjadi di AS di pertengahan tahun 2000-an. Ini menyebabkan pada tahun tersebut, harga properti dan perumahan di AS melambung tinggi.
Faktor perkembangan sektor teknologi menjadi alasan pemicu terjadinya gelembung. Begitu juga krisis keuangan 2007-2008 turut menjadi faktornya.
Selama gelembung dotcom di akhir 1990-an, banyak perusahaan teknologi baru yang menawar saham biasa mereka hingga harga yang sangat tinggi dalam waktu yang relatif singkat.
Bahkan perusahaan ditawar hingga kapitalisasi pasar yang besar oleh spekulan yang mencoba mendapatkan keuntungan cepat. Padahal, ukuran perusahaan lebih kecil dari startup dan belum menghasilkan pendapatan aktual.
Karena gelembung dotcom inilah maka Nasdaq mencapai puncaknya pada 2000. Ketika gelembung teknologi meledak, banyak dari saham yang sebelumnya terbang tinggi ini jatuh ke tingkat harga yang lebih rendah secara drastis.
Saat para investor meninggalkan pasar saham lantaran pecahnya gelembung dotcom ini, housing bubble adalah alternatif selanjutnya. Lantaran kejatuhan pasar saham, mereka memindahkan uang mereka ke real estat.
Pada saat yang sama, The Fed memangkas suku bunga dan menahannya untuk memerangi resesi ringan yang mengikuti kehancuran teknologi. Sekaligus juga untuk meredakan ketidakpastian setelah serangan WTC 9/11.
Housing bubble adalah momen ketika banjir uang investor ini terjadi. Sekaligus di waktu yang sama, momen ini didukung oleh berbagai kebijakan pemerintah.
Kebijakan pemerintah dirancang untuk mendorong kepemilikan rumah dan sejumlah inovasi pasar keuangan yang meningkatkan likuiditas aset terkait real estat. Harga rumah lantas naik, dan semakin banyak orang terjun ke bisnis jual beli rumah.
Akan tetapi, pada 2006, saat pasar saham pulih, suku bunga bergerak naik. Dengan harga rumah yang bertahan di tingkat yang tinggi, dan premi risiko terlalu tinggi bagi investor, mereka lantas berhenti berinvestasi properti.
Ini memicu aksi jual besar-besaran dan membuat harga rumah anjlok. Pada titik ini, housing bubble berhenti dan harga rumah pada akhirnya turun lebih dari 40 persen di beberapa negara bagian AS.
Download aplikasi Pluang di sini untuk membeli emas digital dengan harga paling kompetitif di pasaran! Selisih harga jual-beli terendah dan tanpa biaya tersembunyi apapun. Emas yang kamu beli aman karena disimpan di Kliring Berjangka Indonesia (BUMN), produk emas Pluang dikelola oleh PT PG Berjangka yang sudah terlisensi dan diawasi oleh BAPPEBTI. Kamu juga bisa menarik fisik emasnya dalam bentuk logam mulia Antam dengan kadar 999.9 mulai dari kepingan 1 gram hingga 100 gram!
Sumber: Investopedia
Pelemahan KPK Jadikan Indonesia sebagai Surga Pajak Koruptor?
Demi Nawacita, Jokowi Kembangkan Tol Laut untuk Pengembangan Daerah Terpencil
Perbankan Terimpit Persaingan Fintech, OJK Dukung Merger Bank di Indonesia
Bagikan artikel ini