Asset bubble atau gelembung aset terjadi ketika terjadi peningkatan harga aset secara ekstrem berdasarkan harapan kenaikan harga pada masa depan dan tanpa dukungan fundamental ekonomi. Penyebabnya masih menjadi tantangan untuk diteliti.
Gelembung aset tampak ketika harga suatu aset, seperti perumahan, saham, atau emas jadi terlalu tinggi. Harga naik dengan cepat dalam waktu singkat. Situasi ini tidak didukung permintaan mendasar atas produk itu sendiri.
Gelembung ini lantas diikuti oleh situasi ketika investor terus menawar harga di luar nilai nyata dan berkelanjutan. Mereka akan berbondong-bondong membeli aset yang harganya tiba-tiba menjulang tinggi ini.
Lonjakan harga ini terjadi ketika investor berduyun-duyun memilih kelas aset tertentu, seperti saham, real estat, atau komoditas. Gelembung ini juga dikenal sebagai inflasi aset.
Baca juga: 4 Pilihan Investasi Jangka Panjang, Mana yang Terbaik?
Pada 2017, nilai Bitcoin naik 955 persen, melampaui kenaikan gelembung aset sebelumnya. Nilai total pasarnya adalah 16 miliar USD pada awal tahun. Sementara jadi 171 miliar USD pada pertengahan Desember.
Lalu pada 29 November 2017, harga satu Bitcoin mencapai rekor tertinggi 11.000 USD. Beberapa jam kemudian, harga ini turun jadi 9.500 USD. Padahal pada awal 2017, nilainya 968,23 USD.
Pedagang valas mengamankan USD, yang naik 25% antara Juli 2014 hingga pertengahan 2015. Ini terjadi karena ketika Federal Reserve AS mengumumkan bahwa pelonggaran biaya akan berakhir pada Oktober.
Pada saat bersamaan, Bank Sentral Eropa menyatakan akan memulai QE dan PDB AS meningkat secara dramatis. Semua ini mencerminkan kekuatan ekonomi Amerika dikombinasikan dengan kelemahan di Uni Eropa dan pasar negara berkembang, terutama Tiongkok.
Pada Juli 2013, pasar saham menunjukkan poin lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya. Pada 11 Maret, Dow Jones Industrial Average ditutup pada 14.254,38, memecahkan rekor sebelumnya dari 14.164,43 yang ditetapkan pada 9 Oktober 2007.
Hingga 7 Mei, rekor pecah hingga 15.000, ditutup pada 15.056,20, dan hingga 16.000 pada 21 November. Dow menetapkan harga tertinggi hingga 16.576 pada 31 Desember 2013.
Suku bunga rendah adalah penyebab paling sering dari asset bubble. Keadaan ini menciptakan pasokan uang yang berlebih. Karena itu, investor dapat meminjam dengan murah tapi tidak dapat menerima pengembalian yang baik atas obligasi mereka. Jadi, mereka mencari kelas aset lain.
Penyebab terbesar kedua adalah inflasi tarikan permintaan. Saat itulah kelas aset tiba-tiba jadi populer. Ketika harga aset naik, semua orang ingin mendapatkan keuntungan. Namun, indeks harga konsumen tidak selalu secara akurat menangkap jenis inflasi ini. Jadi, pembuat kebijakan kerap mengabaikannya.
Ketiga, kekurangan pasokan akan memperparah gelembung aset. Saat itulah para investor berpikir bahwa tidak ada cukup aset untuk dibagikan. Mereka panik dan mulai membeli lebih banyak sebelum habis.
Baca juga: Kaum Milenial, Berapa Banyak Investasi yang Mesti Kamu Punya?
Ciri khas dari gelembung aset adalah melonjaknya harga yang tidak rasional. Ini mendorong hampir semua orang membeli aset itu. Untuk waktu lama, membeli aset yang “menggelembung” ini akan tampak menguntungkan. Kerap kali, harga terus naik bertahun-tahun.
Masalahnya adalah sulit untuk menentukan periode waktu gelembung ini. Akibatnya, sebagian besar perencana keuangan merekomendasikan portofolio investasi yang terdiversifikasi dengan baik.
Diversifikasi berarti campuran yang seimbang antara saham, obligasi, komoditas, dan bahkan ekuitas properti rumahmu. Lihat kembali alokasi asetmu dari waktu ke waktu untuk memastikannya tetap seimbang.
Jika ada gelembung aset di emas atau bahkan perumahan, ini akan menaikkan persentase yang kamu miliki di kelas aset itu, dan itulah saatnya menjualnya.
Sumber: The Balance
Pelemahan KPK Jadikan Indonesia sebagai Surga Pajak Koruptor?
Demi Nawacita, Jokowi Kembangkan Tol Laut untuk Pengembangan Daerah Terpencil
Perbankan Terimpit Persaingan Fintech, OJK Dukung Merger Bank di Indonesia
Bagikan artikel ini