Beberapa pekan lalu, saham Coca Cola (NYSE:KO) menjadi sorotan publik. Betapa tidak, harga saham perusahaan minuman ringan berkarbonasi paling terkenal sejagad itu merosot hingga menyentuh level US$54,67.
Hal itu terjadi setelah aksi mega bintang sepak bola, Christiano Ronaldo saat konferensi pers Piala Eropa memilih untuk meminum air mineral ketimbang Coca Cola sembari menyingkirkannya.
Merosotnya harga saham Coca Cola tersebut langsung terjadi begitu Ronaldo lebih memilih minuman mineral. Setelah konferensi pers berlangsung, saham minuman bersoda itu langsung anjlok ke angka US$55,22 per saham. Padahal, nilai saham Coca Cola masih di angka US$56,10 per lembar.
Alhasil, hal sepele yang dilakukan oleh pemain Juventus itu diduga sukses membuat kapitalisasi pasar Coca Cola lenyap US$4 miliar. Alias, sekitar Rp58,10 triliun dalam sekejap. Ternyata, Ronaldo yang memiliki hampir 300 juta pengikut di Instagram itu di nilai sangat mumpuni dalam menggerakkan pasar.
Tapi, apakah justru peristiwa ini membuka masa depan yang buruk bagi saham Coca Cola? Lantas, bagaimana seharusnya investor pasar modal memaknai peristiwa tersebut?
Baca juga: Tips dan Pelajaran dari Investasi Cryptocurrency
Hanya saja, beberapa analis memilih untuk meyakini bahwa gestur Ronaldo tidak serta merta bikin harga saham Coca Cola anjlok. Salah satu argumen tersebut dilontarkan tim riset dari lembaga manajemen investasi, Canterbury Investment Management.
Mereka beralasan bahwa harga saham Coca Cola memang tengah mengalami koreksi teknikal yang normal pada saat itu. Sialnya, koreksi tersebut terjadi bertepatan setelah sang superstar sepak bola itu memberikan konferensi pers. Akhirnya, terciptalah cocoklogi antara keduanya.
Canterbury mendasarkan argumennya pada analisis teknikal saham Coca Cola saat itu.
Menjelang konferensi pers berlangsung, saham Coca Cola terlihat terus menciptakan titik support dan resistance baru yang mengarah ke uptrend. Hanya saja, saat konferensi pers itu berlangsung, saham tersebut gagal menembus titik resistance berikutnya.
Hal itu, menurut mereka, murni disebabkan oleh pergerakan penawaran dan permintaan di pasar saham. Ketika trader melihat tren kenaikan di sebuah harga aset, sudah barang tentu aksi jual akan lebih besar dibanding aksi beli.
Makanya, perusahaan manajemen itu mengatakan bahwa koreksi yang terjadi saat itu terbilang normal lantaran dinamika ini sering terjadi di pasar saham. Hanya saja, gagalnya saham Coca Cola menembus titik resistance baru ini terjadi setelah Ronaldo memindahkan dua botol Coca Cola tersebut.
Lebih lanjut, mereka berkesimpulan bahwa gestur Ronaldo itu hanya menciptakan “market noise”. Yakni, fluktuasi harga saham harian yang sebenarnya tidak begitu berpengaruh ke performa saham secara keseluruhan.
Mereka juga mengatakan bahwa harga aset pasar tetap dipengaruhi oleh mekanisme permintaan dan penawaran. Bukan semata-mata gerak-gerik sosok populer yang disorot oleh media.
Karena disebut market noise, tentu saja hal itu tidak akan mempengaruhi indikator utama yang menjadi pondasi harga saham Coca Cola. Yakni, aspek fundamentalnya. Bahkan, beberapa analisis mengatakan bahwa fundamental Coca Cola masih akan mumpuni sepanjang tahun ini.
Perusahaan investment bank asal AS Morgan Stanley mengatakan bahwa penjualan Coca Cola diprediksi akan membaik. Ya, meski pada April lalu perusahaan ini membukukan penurunan penjualan sebesar 25% di kuartal I 2021, namun optimisme ekonomi AS diharapkan akan bikin penjualannya moncer kembali.
Mengapa demikian? Saat ini Coca Cola termasuk ke dalam sektor consumer staples di dalam S&P 500. Adapun, barang-barang besutan perusahaan yang bergerak di dalamnya biasanya akan mengalami peningkatan pendapatan saat daya beli masyarakat membaik.
Alhasil, Morgan Stanley meramal bahwa saham Coca Cola di akhir tahun ini bisa mencapai US$64 per lembar. Angka itu bertumbuh 18,58% dibanding harga saat ini US$54 per lembar. Bahkan, angka tersebut juga lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya yakni US$60 per lembar.
“Coke akan merilis pemulihan konsensus top-line (penjualan) di atas rata-rata hingga tahun 2022,” jelas analis Morgan Stanley Dara Mohnesian dalam risetnya.
Beberapa analis memproyeksikan bahwa Coca Cola hanya akan memulihkan sekitar 35% dari penurunan penjualan di tahun 2020 selama dua tahun mendatang. Prediksi tersebut bisa diartikan bahwa angka penjualan Coca Cola akan berada jauh di bawah produk konsumen sejenis yang tingkat pemulihannya berkisar di angka 70% hingga 80%.
Namun, Morgan Stanley memilih optimistis. Menurutnya, restrukturisasi biaya produksi dan operasional yang dilakukan perusahaan saat ini seharusnya juga menjadi pertimbangan memproyeksi harga sahamnya ke depan.
Di sisi lain, lembaga riset Trefis juga mengatakan bahwa optimisme ekonomi AS bisa membawa angka penjualan Coca Cola terbang di 2021. Untuk itu, mereka memperkirakan bahwa pendapatan Coca Cola Amerika Utara akan naik dari US$13,5 juta di tahun lalu menjadi US$15 juta di tahun ini.
Alhasil, hingga akhir tahun ini, lembaga tersebut meramal bahwa harga saham Coca Cola bisa menembus US$59,54 per lembar. Atau, naik sekitar 10% dari posisi saat ini di kisaran US$54 per lembar.
Jadi, bagaimana Sobat Cuan? Apakah kamu juga tertarik kecipratan cuan Coca Cola? Yuk, segera investasi di Pluang S&P 500!
Di Pluang, kamu bisa mengakses 500 perusahaan top AS, termasuk Coca Cola, hanya dalam satu genggaman aplikasi saja, lho. Yuk, investasi sekarang!
(Baca juga: Harganya Turun, Sepenting Apa Sih Investasi Ethereum di Portofolio Kamu?
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 index futures, serta aset kripto Bitcoin dan Ethereum dan reksa dana! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Bagikan artikel ini