Punya puluhan ribu gerai dan arus kas yang terus meningkat, Walmart menjadi salah satu perusahaan top of mind di Amerika. Di tengah inflasi yang menekan daya beli masyarakat, Walmart juga dapat mempertahankan marjin laba operasi pada level yang memuaskan. Simak selengkapnya di Sini!
Walmart adalah jaringan ritel terbesar Amerika Serikat (AS) yang saat ini mempekerjakan 2,1 juta karyawan di seluruh dunia dan memiliki ribuan gerai di Negara Paman Sam tersebut. Saat ini, perusahaan memiliki tiga segmen bisnis utama seperti berikut:
Dalam menjalankan operasinya, Walmart melancarkan tiga strategi bisnis utama, yakni mempermudah setiap kehidupan keluarga, memperkuat aspek digital dalam berbisnis, dan memanfaatkan skala ekonomis yang dimilikinya untuk menyediakan barang dan jasa dengan harga yang sangat bersaing dibanding pesaing-pesaing sengitnya.
Bahkan, saking seriusnya menyediakan barang dan jasa yang terjangkau, Walmart pun memiliki filosofi bisnis bernama Everyday Low Price (EDLP) alias menyediakan beragam barang dan layanan berkualitas dengan harga terjangkau setiap hari. Dalam menjalankan filosofi tersebut, perusahaan selalu mengatur harga produknya agar bisa miring setiap hari sehingga pelanggan selalu mengandalkan Walmart untuk berbelanja kebutuhan hidup sehari-hari.
Bagi Walmart, komitmen dalam menyediakan harga produk yang sangat bersaing adalah dasar kepercayaan utama dari pelanggan terhadapnya. Oleh karenanya, tak heran jika perusahaan kemudian meletakkan EDLP sebagai fondasi primernya dalam berbisnis.
Walmart adalah perusahaan yang berbasis di AS, sehingga tak heran jika 85% dari total penjualannya “mengucur” dari negara tersebut. Terlebih, dari 10.500 gerai yang dimiliki Walmart di seluruh dunia, lebih dari setengahnya berdiri di AS.
Setelah AS, Meksiko adalah pasar internasional terbesar bagi Walmart dengan jumlah gerai mencapai 2.755 unit, atau lebih dari seperempat dari total gerai yang dimiliki perusahaan di seluruh dunia.
Walmart bukanlah anak kemarin sore di industri ritel AS. Sejak didirikan pada 1962 silam, perusahaan terbukti berhasil melebarkan gurita bisnisnya baik di AS maupun di pasar internasional. Makanya, saat ini, Walmart tergolong sebagai salah satu raja ritel di negara tersebut.
Hal tersebut bisa dibuktikan pada grafik di bawah ini yang menunjukkan bahwa penjualan Walmart sebesar US$611,3 miliar di 2022 ternyata setara dengan 6,4% dari total penjualan ritel di AS. Angka tersebut membuat Walmart menempati posisi runner-up di tangga persaingan industri ritel AS, tepat di bawah Amazon yang meraup pangsa pasar 37,6%.
Memang, apabila ditilik dari pangsa pasarnya, Walmart masih kalah jauh dari Amazon. Kendati begitu, angka pangsa pasar Walmart juga unggul hampir dua kali lipat dibanding sang juara ketiga Apple yang memiliki porsi pasar 3,6%.
Dengan demikian, terdapat potensi bahwa Walmart masih bisa mempertahankan posisinya sebagai salah satu penguasa industri ritel AS dalam jangka menengah hingga pajang.
Tak cuma punya posisi pasar yang mumpuni, Walmart pun memiliki profil keuangan yang terbilang cukup sehat.
Sebagai buktinya, pada paruh pertama 2023, perusahaan menghasilkan arus kas bebas sebesar hampir US$9 miliar sebelum dividen atau meroket 400% dari US$1,8 miliar di periode yang sama tahun sebelumnya.
Menggembungnya arus kas bebas perusahaan ternyata didorong oleh membaiknya arus kas operasional. Sempat menyentuh titik terendahnya dalam tiga tahun terakhir di April 2022, arus kas operasional Walmart berhasil bangkit dan bahkan menyentuh angka US$37,8 miliar di kuartal II 2023.
Tentu saja, meningkatnya pundi-pundi arus kas bebas akan membuat perusahaan leluasa dalam melakukan ekspansi bisnisnya di masa depan dan menunaikan kewajiban korporasinya.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, salah satu kekuatan Walmart adalah skala ekonomis yang besar. Dengan kata lain, ukuran bisnisnya yang besar membantunya menekan biaya operasional dan biaya rantai pasok sehingga bisa menyediakan produk dan layanan dengan harga yang lebih ekonomis dibanding kompetitornya.
Bahkan, tingginya skala ekonomis ini pun membantu perusahaan untuk lebih gesit dalam mempertahankan margin keuntungan di tengah ancaman inflasi tinggi dan pelemahan konsumsi masyarakat beberapa waktu belakangan.
Kondisi itu pun tercermin pada grafik di bawah ini yang menjelaskan hubungan antara pergerakan tingkat inflasi AS dengan tingkat margin laba Walmart antara 2016 hingga 2023.
Grafik di atas memperlihatkan bahwa tingkat margin laba operasi Walmart terbilang adem ayem sejak 2016. Selain itu, Sobat Cuan juga bisa melihat bahwa antara 2018-2020, hanya Amazon dan Target saja yang berhasil menorehkan tingkat margin laba lebih baik dibanding Walmart.
Namun, ketika inflasi kronis menyerang AS pada kurun 2021-2022, tingkat margin laba Amazon dan Target pun tenggelam, bahkan sampai ke bawah level Walmart. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumen AS cenderung beralih ke produk-produk Walmart yang dianggap lebih murah dan dapat memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari di tengah pelemahan daya beli akibat inflasi.
Amazon dan Target boleh berbangga diri karena sempat punya tingkat margin laba yang lebih mantap dibanding Walmart. Hanya saja, kedua perusahaan itu tidak memiliki tren margin laba yang stabil seperti Walmart, mungkin karena keduanya tidak punya kemampuan efisiensi rantai pasok dan skala ekonomis yang paten layaknya Walmart.
Pada 2022, Walmart berhasil membukukan pendapatan US$611,3 miliar, tumbuh 4,1% jika dihitung secara majemuk (CAGR) sejak 2017.
Jika ditilik sesuai segmennya, maka penyumbang terbesarnya berasal dari gerai-gerai Walmart, yakni sebesar US$420,6 miliar atau 69,4% dari total pendapatan perseroan.
Kemudian, penyumbang pundi-pundi pendapatan terbesar kedua Walmart berasal dari Walmart International dengan angka US$100,98 miliar alias 16,7% dari total pendapatan. Adapun jasa keanggotaan Sam’s Club menyumbang pendapatan US$83,4 miliar atau 13,645 dari total pendapatan perseroan.
Moncernya pertumbuhan pendapatan perusahaan pun tak lepas dari kinerja penjualan setiap segmen yang positif di masing-masing gerainya (Same Store Sales Growth/SSSG). Pada 2022, Walmart diketahui mencetak SSSG 7,1%, lebih baik dari 6,9% di tahun sebelumnya.
Pertumbuhan itu diharapkan berlanjut pada 2023. Analis menilai, Walmart bisa membukukan pendapatan US$624,9 miliar di 2023 alias tumbuh 5,4% dari tahun sebelumnya berkat kuatnya kinerja penjualan dan efisiensi di dalam pengelolaan gerai-gerainya.
Meski berhasil mengerek pendapatan, Walmart rupanya “terseok-seok” dalam menjaga perputaran arus kasnya. Sebagai buktinya, pada 2022, perusahaan membukukan waktu Cash Conversion Cycle (CCC) selama 6,45 hari, atau semakin lambat dari 1,31 hari pada 2020 silam.
Asal tahu saja, CCC adalah sebuah indikator yang mencerminkan seberapa lama inventori yang dimilikinya dapat berubah menjadi uang tunai dari kegiatan penjualan. Sehingga, semakin panjang durasi CCC, maka semakin lama pula kemampuan perusahaan untuk “mengubah” inventori yang dimilikinya menjadi kas.
Usut punya usut, hal ini pun terjadi karena dua faktor utama.
Pertama, Walmart ternyata mengalami perlambatan perputaran inventori. Pada 2022, perusahaan mencatat tingkat inventory turnover sebesar 8,2x atau turun dari 9,4x di 2020. Sekadar informasi, penurunan tingkat inventory turnover mencerminkan pelemahan penjualan di tingkat ritel. Bisa saja, peristiwa itu merupakan imbas dari pelemahan daya beli masyarakat akibat inflasi AS yang “membara” sejak 2021.
Kedua, Walmart rupanya juga memperlonggar regulasi pembayaran piutang.
Di 2022, durasi perputaran piutang perusahaan menurun menjadi 4,8 hari, sehingga tingkat perputaran piutang (accont receivable turnover) pun turun dari 87,37x di 2020 menjadi 75,4x di 2022.
Tapi, di saat bersamaan, Walmart tidak ikut mempercepat waktu pembayaran utangnya, sehingga hal ini pun ikut memperpanjang durasi CCC Walmart.
Sepanjang 2017-2021, Walmart berhasil mempertahankan margin laba kotornya di level 24,1% hingga 24,7%. Namun, gara-gara konsumsi masyarakat lesu karena inflasi, tingkat margin laba kotor perusahaan pun tergelincir ke 23,6% di 2022.
Alhasil, laba bersih perusahaan pun ikut kena getahnya. Sebagai buktinya, laba Walmart di 2022 ternyata anjlok 4,14 jika dihitung secara CAGR sejak 2017. Sayangnya, pelemahan ini pun mungkin saja akan berlanjut di 2023.
Sejauh ini, analis memproyeksikan laba per saham (EPS) perusahaan akan berada di US$2,75 pada 2023, menurun dari US$4,87 setahun sebelumnya.
Menurut konsensus analis, harga wajar saham Walmart saat ini berada di US$180 alias mencerminkan potensi kenaikan 8% dari harga penutupan US$166,19 pada penutupan 10 November 2023. Mereka menganggap, Walmart masih bisa membukukan pertumbuhan bisnis jangka panjang lantaran perseroan selalu menunjukkan komitmen konkret untuk terus berinovasi dan menjaga kepercayaan pelanggan.
Kemudian, jika ditilik dari rasio nilai perusahaan per laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (rasio EV/EBITDA), maka Walmart saat ini memiliki valuasi 12x EV/EBITDA. Dengan kata lain, valuasi saham Walmart sendiri saat ini terbilang lebih “murah” dari rata-rata sektornya, yakni 12,2 EV/EBITDA. Meski memang, angka tersebut masih lebih tinggi dibanding rata-ratanya dalam dua tahun terakhir yaitu 11,5x EV/EBITDA.
Pluang menganggap, Sobat Cuan yang memiliki gaya investasi value investing bisa mengoleksi saham Walmart dengan potensi kenaikan hingga 10% dalam setahun ke depan. Tingkat margin laba yang stabil plus kepemimpinan Walmart di industri ritel AS semestinya bisa menjadi alasan kuat bagimu untuk membenamkan dana di saham satu ini.
Setiap jenis investasi tentunya memiliki risiko, tak terkecuali berinvestasi pada saham Walmart. Berikut beberapa risiko yang wajib kamu ketahui sebelum berinvestasi di saham Walmart:
1. Risiko Persaingan
Persaingan yang ketat di industri ritel dapat memengaruhi margin keuntungan dan pangsa pasar Walmart. Perubahan dalam strategi pesaing atau munculnya pesaing baru bisa menjadi risiko bagi sepak terjang Walmart, termasuk segala inovasi bisnis yang tengah dilakukannya.
2. Turunnya Permintaan yang Melebihi Ekspektasi
Perlambatan pertumbuhan ekonomi global dapat melemahkan permintaan masyarakat terhadap produk Walmart. Penurunan daya beli masyarakat akan membuat masyarakat lebih berhati-hati dan selektif dalam berbelanja.
3. Risiko Regulasi:
Perubahan dalam regulasi pemerintah, baik di tingkat nasional atau internasional, dapat memiliki dampak signifikan pada operasi dan kinerja keuangan Walmart. Sobat Cuan mungkin bisa berkaca pada polemik penutupan Tiktok Shop di Indonesia akibat kebijakan regulator belakangan ini. Nah, hal seperti itu juga dapat terjadi pada Walmart apabila kondisi persaingan usaha ritel tidak berjalan sesuai dengan kepentingan ekonomi AS.
Download aplikasi Pluang untuk investasi Saham AS, emas, ratusan aset kripto dan puluhan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Bagikan artikel ini