Kurva lorenz adalah presentasi grafis dari ketimpangan pada sebuah sistem. Secara khusus, kurva lorenz digunakan dalam pengukuran koefisien gini, yakni salah satu indikator target pembangunan dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pemerataan pembangunan masih merupakan isu utama dalam penyelenggaraan negara. Baik Indonesia maupun dunia internasional memiliki pekerjaan rumah yang berat, yakni memastikan bahwa hasil dari kegiatan perekonomian dinikmati secara merata oleh semua orang.
Meski begitu, adanya ketimpangan ekonomi merupakan hal yang mutlak terjadi mengingat tidak semua orang punya akses ke sumber daya yang sama. Mengendalikan ketimpangan ini merupakan tugas bersama yang harus dilakukan dengan cermat berdasarkan data yang valid.
Inilah alasan mengapa kurva lorenz, yang kerap dihubungkan dengan koefisien gini, merupakan salah satu indikator penting dalam pembangunan. Juga, merupakan salah satu tolok ukur fundamental suatu negara yang perlu kamu ketahui ya, Sobat Cuan.
Baca juga: Apa Itu Minutes of Meeting The Fed?
Kurva Lorenz dikembangkan oleh seorang ekonom berkebangsaan Amerika Serikat bernama Max Lorenz pada tahun 1905. Dia mengembangkan sebuah grafik yang mempresentasikan jumlah populasi berbanding total pendapatan kumulatif, atau jumlah orang kaya pada persentil bawah.
Dengan demikian, kurva lorenz adalah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu, misalnya pendapatan, dengan distribusi seragam. Dalam hal ini variabel itu adalah kumulatif penduduk.
Kurva ini kerap disertai dengan garis diagonal lurus dengan kemiringan 1. Kemiringan ini mewakili kesetaraan dalam distribusi pendapatan atau nilai kekayaan. Di bawahnya, ada kurva lorenz yang menunjukkan distribusi yang diamati.
Area di antara garis lurus dan garis lengkung inilah yang dinamakan koefisien gini. Koefisien ini menunjukkan ketimpangan ekonomi yang terjadi pada objek yang diamati.
Sobat Cuan dapat menengok contoh kurva lorenz melalui grafik yang menunjukkan ketimpangan kekayaan di AS pada tahun 2019 berikut!
Baca juga: Apa Itu Kebijakan Makroprudensial?
Kurva Lorenz sejatinya dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan apapun bentuknya. Penghitungannya dimulai dengan mengukur secara empiris nilai kekayaan atau total pendapatan, serta bagaimana distribusinya dalam suatu populasi masyarakat.
Data kemudian disajikan dalam bentuk grafis yang dapat digunakan langsung sebagai kurva lorenz. Ekonom atau ahli statistik juga mungkin menggunakan kurva lain yang mewakili fungsi kontinu, namun kurva lorenz memberikan informasi yang lebih terperinci mengenai distribusi kekayaan atau pendapatan.
Sebab, kurva lorenz secara visual menampilkan distribusi di tiap persentil. Kurva ini menjukkan dengan tepat di persentil pendapatan mana variasi terhadap garis kesetaraan terjadi, dan seberapa besar ketimpangannya.
Meski dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan dalam sistem apa saja, Kurva Lorenz dikenal secara khusus untuk melihat koefisien gini. Yakni, indikator makroekonomi yang mewakili ketidaksetaraan ekonomi.
Prinsipnya, semakin jauh kurva dari garis dasar, yakni garis lurus diagonal, maka semakin tinggi tingkat ketimpangan ekonomi.
Koefisien gini dikembangkan oleh pakar statistik berdarah Italia, Corrado Gini pada tahun 1912. Koefisien ini sendiri diartikan sebagai suatu alat untuk mengukur ketidakmerataan distribusi penduduk dan pendapatan atau kekayaan mereka.
Ukuran ketidakmerataan yang direpresentasikan merupakan ketimpangan agregat yang angkanya berada dalam kisaran nol sampai satu.
Pada pengukuran koefisien gini, persentase kumulatif penduduk diwakili oleh garis horizontal. Sementara itu, total pendapatan yang diterima oleh masing-masing penduduk diwakili oleh garis vertikal.
Adapun garis diagonal berfungsi sebagai patokan pemerataan sempurna. Semakin dekat koefisien gini kepada angka 0, maka kurvanya akan semakin dekat dengan garis diagonal.
Di Indonesia, konsensus yang berlaku menetapkan bahwa ketimpangan rendah ditandai dengan koefisien gini di bawah 0,4. Sementara range 0,4-0,5 dinyatakan sebagai ketimpangan sedang.
Di atas itu, koefisien gini dinyatakan sebagai ketimpangan tinggi.
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
Per.25/MEN/IX/2009 Tentang Tingkat Pengembangan Pemukiman Transmigrasi, gini rasio merupakan ukuran pemerataan pendapatan yang dihitung berdasarkan kelas pendapatan dalam 10 kelas pendapatan atau decille.
Penghitungan terhadap koefisien gini atau gini ratio dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak dua kali dalam setahun, yakni di Bulan Maret dan Bulan September.
Berdasarkan data terakhir yang dirilis BPS Maret lalu, koefisien gini nasional adalah 0,384.
Angka ini turun jika dibandingkan angka tahun sebelumnya,namun masih berada di bawah target pemerintah yakni 0,377-0,379 tahun ini.
Baca juga: Apa itu Analisis Fundamental Saham?
Meski telah digunakan secara luas hingga menjadi salah satu indikator resmi dalam pembangunan, kurva lorenz mungkin saja menunjukkan bias dibandingkan kondisi sebenarnya. Bias dapat terjadi akibat input data yang kurang terwakili atau masih memiliki gap dengan situasi riil.
Kurva ini sangat sensitif terhadap input data, sementara data bisa saja dimanipulasi. Namun, secara umum, kurva ini tetap bermanfaat untuk memberi gambaran kasar ketimpangan di suatu sistem atau negara.
Di samping soal bias, koefisien gini dewasa ini sering diragukan akurasinya oleh para analis dan ekonom di dunia. Alasannya adalah akurasi.
Mereka menganggap koefisien ini sangat bergantung pada data Produk Domestik Bruto (PDB) dan pendapatan. Padahal, saat ini praktik shadow economics dan ekonomi sektor informal kian bergejolak, yang tidak tercatat di dalam PDB.
Kapital yang berputar pada dua sektor yang sulit tercatat secara akurat dalam PDB itu kian besar. Akibatnya, banyak pendapatan ekonomi yang tidak tercatat sehingga mempengaruhi akurasi koefisien gini dan kurva lorenz dalam merepresentasikan ketimpangan ekonomi suatu negara.
Bias lainnya adalah kurva ini dinilai kurang cakap merepresentasikan bentuk ketidaksetaraan. Penyebabnya adalah terbatasnya dimensi yang diwakilkan oleh celah koefisien. Jadi, beberapa bentuk ketidaksetraan yang berbeda bisa memiliki bentuk kurva lorenz yang mirip, padahal masing-masing seharusnya dihadapi dengan pendekatan yang berbeda-beda.
Lantaran bias-bias tersebut, kurva lorenz dan koefisien gini tetap digunakan namun hanya sebatas suplementasi yang memberi kita gambaran besar. Sementara itu, lembaga penyedia data statistik seperti BPS dan World Bank mulai membuat representasi yang lebih baik mengenai profil ketimpangan di suatu negara untuk melengkapi cakrawala berfikir dalam mengambil kebijakan.
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 dan Nasdaq index futures, Saham AS, serta lebih dari 140 aset kripto dan belasan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Sumber: Investopedia, BKF, BPS
Bagikan artikel ini