Produk di pasar uang dan pendapatan tetap adalah bentuk dari instrumen utang. Keduanya merupakan bentuk janji peminjam untuk melunasi bunga pinjaman dan pokok hutang kepada sang pemberi pinjaman.
Meski berkarakteristik serupa, namun reksadana pasar uang dan pendapatan tetap memiliki satu perbedaan mendasar. Yakni, tenor atau jangka waktu jatuh tempo instrumen utang yang digunakan sebagai aset dasarnya (underlying asset).
Di dalam reksadana pasar uang, manajer investasi mengalokasikan dana di instrumen utang dengan masa tenggat di bawah satu tahun. Sedangkan di reksadana pendapatan tetap, manajer investasi akan menempatkan dana di instrumen obligasi yang jatuh tempo setelah 1, 3, 5, 7, 10, dan 20 tahun kemudian.
Karena memiliki tenggat waktu yang lebih lama, maka obligasi atau instrumen pendapatan tetap memiliki risiko lebih tinggi dibanding instrumen jangka pendek yang di pasar uang.
Berikut ini adalah beberapa risiko yang terkait dengan investasi di instrumen utang.
Risiko Investasi Instrumen Utang
Ketika berinvestasi di instrumen pendapatan tetap atau obligasi, investor akan memperoleh pembayaran bunga yang tetap secara rutin sampai waktu jatuh tempo. Pada saat jatuh tempo, sang investor akan kembali dibayarkan pokok investasinya.
Tetapi terdapat resiko bahwa si penerbit obligasi tidak selalu patuh terhadap jadwal pembayaran bunga ataupun pokok pinjaman. Bahkan bisa jadi sang penerbit surat utang tidak sanggup membayar bunga dan pokok pinjamannya sama sekali. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai risiko gagal bayar.
Investor bisa menaksir kemungkinan gagal bayar dari sebuah obligasi dengan melihat peringkat utang sang obligor. Laporan peringkat utang korporasi diterbitkan setiap bulan atau triwulan oleh suatu lembaga pemeringkat utang seperti Standard & Poor dan Moody’s. Lembaga ini memberikan penilaian mereka akan kemampuan suatu perusahaan untuk membayar suatu jenis obligasi yang mereka terbitkan. Semakin baik peringkatnya, maka semakin kecil pula risiko gagal bayar yang dihadapi investor.
Risiko suku bunga adalah kemungkinan kerugian investasi yang disebabkan oleh perubahan tingkat suku bunga, misalnya tingkat suku bunga acuan di pasar atau suku bunga acuan resmi seperti Bank Indonesia 7-Day Reverse Repo Rate. Risiko ini timbul lantaran tingkat suku bunga memiliki hubungan terbalik dengan harga obligasi.
Jika tingkat suku bunga di pasar menanjak, maka tingkat imbal hasil suatu obligasi akan menjadi kurang menarik. Ini memicu investor yang memilikinya untuk menjual obligasi tersebut yang mengakibatkan harganya turun.
Penurunan harga akan terus terjadi sampai harganya dirasakan cukup rendah bagi investor lain yang bersedia masuk untuk menampung penjualan tersebut. Investor baru ini menganggap di tingkat harga baru yang lebih murah ini, obligasi dan kupon bunganya tersebut sekarang telah menghasilkan tingkat imbal hasil yang kembali menarik dan telah menyesuaikan dengan penanjakan suku bunga di pasar.
Durasi kerap dikaitkan dengan kepekaan atau sensitivitas harga obligasi terhadap setiap 1% perubahan suku bunga acuan. Sehingga, durasi bisa dikatakan sebagai bagian dari risiko suku bunga acuan.
Dengan asumsi tidak ada perubahan faktor lainnya, maka semakin panjang waktu jatuh tempo obligasi, semakin tinggi pula risiko durasi obligasi tersebut. Artinya, instrumen surat utang tersebut akan lebih peka terhadap perubahan suku bunga acuan dibanding instrumen surat utang bertenor pendek.
Hal ini bisa kita mengerti secara naluriah. Jika suku bunga acuan meningkat, maka harga suatu obligasi yang masih berkewajiban membayar bunga selama 10 tahun lagi akan melihat harga obligasi itu turun lebih besar dibandingkan obligasi lain yang sebentar lagi akan membayar bunga terakhirnya dan akan jatuh tempo dalam waktu dekat.
Likuiditas merujuk pada kemampuan sebuah aset untuk cepat dicairkan menjadi uang tunai. Untuk mencairkan instrumen sekuritas yang kurang likuid, investor biasanya harus menjual instrumen tersebut pada harga yang lebih rendah dibandingkan nilai seharusnya.
Obligasi adalah aset yang diterbitkan dengan denominasi tinggi di mana hanya investor bermodal besar seperti investor institusi yang mampu membelinya. Kebanyakan investor ini lebih senang menggenggamnya hingga jatuh tempo (maturity).
Namun, jika investor ingin menjualnya, ia harus menemukan pembeli yang juga bermodal besar yang menyukai jenis obligasi tersebut dari segi resiko, jangka waktu, dan aspek lainnya. Sehingga apabila sang penjual terdesak waktu dan terpaksa cepat menjual obligasinya, ada resiko bahwa ia harus menerima harga yang lebih rendah dibandingkan nilai seharusnya dari obligasi tersebut.
Risiko ini merujuk pada kondisi di mana investor tidak bisa menggunakan pendapatan kupon obligasi untuk diinvestasikan lagi di instrumen yang memberikan imbal hasil yang sama (atau secara ideal, pada tingkat yang lebih tinggi).
Memang seperti kita lihat di penjelasan risiko suku bunga sebelumnya, penurunan suku bunga seharusnya bisa meningkatkan harga obligasi.
Namun penurunan suku bunga acuan juga akan melemahkan efek majemuk (compounding) dari investasi yang dijalankan, karena dana dari kupon yang diterima dari obligasi tersebut sekarang hanya dapat diinvestasikan pada tingkat suku bunga yang lebih rendah.
Kita sudah mengenal lima risiko instrumen utang: risiko kredit, risiko suku bunga, risiko durasi, risiko likuiditas, risiko reinvestasi. Namun risiko apakah yang dianggap punya tingkat “bahaya” lebih tinggi? Sobat Cuan bisa mengetahuinya melalui grafik di bawah ini.
Gambar di atas menunjukkan bahwa risiko gagal bayar (default risk) adalah risiko dengan kadar “ancaman” tinggi sedangkan risiko suku bunga (interest rate risk) bisa dianggap “lebih lunak”. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, risiko durasi adalah bagian dari risiko suku bunga yaitu risiko yang ditanggung investor saat menggenggam aset-aset berpendapatan tetap yang berjangka panjang.
Sekarang mari kita bandingkan tingkat imbal hasil aset berisiko rendah (investasi pasar uang jangka pendek) dengan tingkat imbal hasil aset berisiko tinggi seperti obligasi korporat dengan imbal hasil tinggi (high yield corporate debt). Obligasi yang terakhir ini biasanya disebut sebagai junk bonds atau “obligasi rongsokan”.
Potensi laba dari sebuah instrumen akan semakin tinggi seiring kenaikan risikonya. Namun ini bukan suatu hal yang 100% pasti.
Pada umumnya, investor individu yang tidak memiliki dana mencapai US$10 juta (atau sekitar Rp140 miliar) tidak memiliki cukup modal atau pintu untuk berinvestasi di pasar obligasi secara langsung dan mereka juga kesulitan untuk mendulang untung maksimal dari instrumen pasar uang. Untungnya, Pluang sekarang telah membuka jalan sehingga semakin banyak investor individu mampu berinvestasi di keduanya!
Pluang bermitra dengan PT UOB Asset Management (UOBAM) dalam menawarkan dua produk reksadana yang fokus ke instrumen utang. Dua reksadana ini bertujuan membantu investor dalam mendapatkan eksposur langsung terhadap kelas aset “instrumen pasar uang” dan “instrumen pendapatan tetap”.
Dua produk reksadana yang dikembangkan Pluang dan UOBAM terdiri dari:
Pluang menjalin kerja sama yang erat dengan tim dari UOBAM untuk mengurangi resiko sampai serendah mungkin sehingga mampu meningkatkan tingkat imbal hasil yang disesuaikan dengan risiko (risk-adjusted return) di kedua produk reksadana tersebut.
Pluang dan UOBAM berupaya mencegah terjadinya risiko kredit dengan menempatkan dana investor hanya di deposito perbankan, obligasi pemerintah, dan surat utang BUMN dengan kinerja mumpuni, sehingga produk ini akan memiliki risiko relatif lebih rendah dibandingkan dengan imbal hasilnya.
Reksadana lainnya yang memiliki fokus di obligasi pemerintah adalah Pinnacle Indonesia Bond Fund dan Batavia Dana Obligasi Ultima.
Apabila kamu ingin memiliki alokasi yang lebih besar dalam obligasi korporasi yang punya risiko dan imbal hasil yang lebih tinggi, maka kamu bisa berinvestasi BNI-AM Dana Pendapatan Tetap Makara (dengan penekanan pada utang jangka pendek perusahaan) atau Syailendra Pendapatan Tetap Premium (alokasi dana hingga 20% di instrumen saham). Semua produk ini bisa kamu peroleh di Pluang!
Bagikan artikel ini
Produk Reksadana Apa Saja yang Ada di Pluang?
Perbedaan Menabung di Bank vs Reksadana Berbasis Surat Utang
Investasi Langsung dalam Kelas Aset Vs Investasi di Reksadana
Cara Berinvestasi Reksadana Efektif di Aplikasi Pluang
7 Alasan Berinvestasi Reksadana
3 Strategi Mudah Investasi Reksadana
Apa Itu Reksadana?
Bagaimana Cara Membaca Fund Fact Sheet?
Risiko Reksadana Pendapatan Tetap dan Pasar Uang
Biaya-Biaya Investasi Reksadana