Sobat Cuan yang sering membaca berita atau analisis cryptocurrency mungkin sering memperhatikan istilah proof of work atau proof of stake di dalamnya. Ya benar, Sobat Cuan, keduanya adalah jenis algoritma konsensus yang digunakan teknologi blockchain.
Kadang, perkembangan atau seluruh hal yang menyangkut dua hal tersebut menjadi sorotan komunitas kripto. Sebab, sebagai bagian dari teknologi blockchain, tentu saja perkembangan terhadapnya bisa bikin seorang penggiat aset kripto mendekati atau menjauhi aset kripto yang berasal dari blockchain tersebut.
Masih hangat di ingatan, bagaimana penggunaan algoritma konsensus proof of work di blockchain Bitcoin sempat bikin peminat cryptocurrency menjauh dari sang raja aset kripto. Musababnya adalah konsensus proof of work dinilai tidak ramah lingkungan lantaran mengonsumsi listrik dalam jumlah besar.
Lantas, apa itu algoritma konsensus? Dan mengapa hal itu sangat penting di teknologi blockchain? Yuk, simak selengkapnya!
Secara singkat, algoritma konsensus adalah mekanisme yang digunakan oleh komputer dan sistem blockchain dalam menyetujui tambahan data baru di dalamnya.
Masih bingung, Sobat Cuan? Yuk, simak ilustrasinya.
Jika diibaratkan buku besar (ledger), maka blockchain adalah lembaran-lembaran transaksi yang saling bertumpuk. Nah, satu transaksi (block) akan berkaitan dengan transaksi lainnya sehingga membentuk satu rantai (chain) transaksi.
Buku besar ini memang bisa diakses dan dilihat semua orang, namun sangat sulit untuk disunting. Pengguna blockchain tidak bisa mengedit transaksi yang ada di dalamnya, namun mereka bisa menambahkan satu blok transaksi baru. Namun, blok transaksi baru itu hanya bisa ditambahkan jika algoritma konsensus menyetujui penambahan transaksi tersebut.
Lantas, mengapa mekanisme ini dibutuhkan di sistem blockchain?
Nah, seperti yang kita tahu, tidak ada satu otoritas yang mengawasi jalannya aktivitas di jagat kripto. Seluruh sistemnya dibuat secara terdesentralisasi sehingga pengambilan keputusan, verifikasi, hingga otentifikasi di dalam blockchain tersebut harus melibatkan seluruh pengguna yang ada di dalamnya.
Namun, melibatkan ratusan ribu, bahkan jutaan pengguna, pun membutuhkan satu sistem yang efisien, adil, andal, dan aman agar seluruh pihak yang terlibat di dalamnya bisa memiliki “suara”. Nah, untuk itulah algoritma konsensus dibutuhkan di sistem blockchain.
Di samping itu, algoritma konsensus juga menjadi sumber kebenaran utama (single source of truth) menyangkut apakah transaksi yang dilakukan seorang pengguna adalah transaksi beneran. Hal ini untuk mencegah pengguna melakukan pencatatan transaksi secara dua kali, atau kerap disebut double spending.
Di dalam ranah kripto, seluruh saldo cryptocurrency milik pengguna tercatat di sebuah basis data yakni blockchain. Seluruh data tersebut kemudian akan diduplikasi di dalam sebuah gawai yang bernama node.
Node sendiri adalah titik-titik akhir dari sebuah komunikasi antarjaringan, seperti komputer. Dalam hal ini, node yang dimaksud adalah komputer pengguna jaringan blockchain.
Nantinya, ketika ada sebuah transaksi baru akan ditambahkan ke blockchain, maka pengguna blockchain tersebut akan memvalidasi kegiatan tersebut melalui node yang dimaksud.
Sementara itu, pengguna yang ingin menjadi validator transaksi blockchain wajib menyediakan sebuah stake. Stake sendiri adalah nilai yang pengguna harus “taruhkan” sebagai jaminan bahwa mereka tidak akan bertindak tak jujur dalam mencatat transaksi. Jika ketahuan curang, maka mereka akan kehilangan stake yang mereka taruh.
Namun, jika mereka berhasil menjalankan tugasnya dengan baik, maka mereka akan menerima imbalan. Balas jasa tersebut kadang terdiri dari cryptocurrency native protokol blockchain tersebut yang berasal dari fees yang dibayar pengguna lain.
Baca juga: Apa Itu Blockchain?
Setiap blockchain tentu memiliki jenis algoritma konsensus masing-masing. Pun dengan mekanisme yang tentunya berbeda-beda. Nah, apa saja jenis-jenis algoritma konsensus tersebut?
Konsensus Proof of Work adalah “bapak” dari segala jenis algoritma konsensus. Algoritma ini pertama kali digunakan oleh blockchain Bitcoin dan diikuti oleh sebagian besar altcoin generasi pertama.
Di dalam konsep Proof of Work, yang bertindak sebagai validator transaksi adalah para penambang. Mereka bisa menambah blok baru di blockchain kalau berhasil memecahkan teka-teki matematika yang kompleks. Jika sudah berhasil dan bisa memberikan “bukti kerja keras mereka” (alias proof of work), maka mereka bisa menambah blok baru di dalamnya.
Sayangnya, kegiatan algoritma ini menghasilkan ongkos besar. Setiap penambang membutuhkan sistem komputer yang mumpuni agar bisa berpacu dengan penambang lainnya saat menambang cryptocurrency. Sehingga, mereka perlu merogoh kocek dalam hanya untuk membeli piranti kerasnya.
Tak hanya investasi perangkat keras, mereka juga perlu membayar listrik yang mahal. Ini lantaran proses pemecahan teka-teki tersebut bisa berlangsung sangat lama.
Algoritma konsensus lainnya adalah Proof of Stake (PoS). Algoritma ini diusung oleh koin-koin baru seperti Cardano dan Ethereum ketika nanti sudah hijrah ke Ethereum 2.0.
Di dalam sistem Proof of Stake, validator tidak perlu investasi dalam perangkat keras. Namun, sebagai gantinya, mereka justru harus berinvestasi di cryptocurrency. Apa alasannya?
Proof of Stake adalah konsep di mana seseorang dapat menambang atau memvalidasi transaksi aset kripto sesuai dengan jumlah koin yang ia pegang. Artinya, semakin banyak koin yang dimiliki penambang, maka mereka punya daya tawar yang tinggi dalam menambang aset kripto.
Berbeda dengan proof of work yang membutuhkan mesin canggih, proof of stake bisa dilakukan dengan komputer biasa. Namun, kamu perlu mengunci cryptocurrency-mu dalam sebuah wallet. Nah, koin-koin tersebut nantinya bisa digunakan untuk bertaruh (stake) apakah sebuah transaksi baru layak dicatatkan ke blockchain atau tidak.
Jika transaksi itu disetujui, maka validator bisa mendapatkan imbalan dalam bentuk fees. Namun, jika validator mencoba curang, maka koin-koin yang digunakan untuk staking bisa sirna.
Proses ini dinilai lebih murah dan lebih cepat ketimbang konsensus PoW. Itu juga yang membuat ADA memiliki kepercayaan yang tinggi dari investor kripto sehingga bisa masuk dalam jajaran 10 koin teratas secara kapitalisasi pasar aset kripto.
Baca juga: Apa Itu Proof of Activity?
Algoritma konsensus Proof of Burn (PoB) adalah konsensus yang menggunakan mekanisme pembakaran koin untuk kemudian meningkatkan nilai dari koin tersebut.
Konsep ini berbeda dengan proof of work yang mengharuskan pengguna kripto untuk investasi hardware canggih atau proof of stake yang mengharuskan “menabung” cryptocurrency.
Di dalam proof of burn, validator akan mengirimkan koin ke sebuah alamat sebagai bukti mereka memvalidasi transaksi di blockchain. Semakin banyak koin yang dibakar oleh validator, semakin baik peluang untuk dipilih dalam menambang blok berikutnya. Sayangnya, koin-koin yang sudah dibakar tentunya tidak dapat diakses lagi dan dihitung sebagai koin yang sudah terpakai.
Mekanisme ini bisa dibilang menyebabkan kerugian di awal, namun bisa menjadi investasi untuk jangka panjang. Beberapa koin kripto yang menggunakan mekanisme ini adalah Slimcoin (SLM) dan Counterparty (XCP)
Dalam konsensus proof of capacity (PoC), validator berinvestasi dalam kapasitas ruang penyimpanan yang dimiliki.
Semakin banyak kapasitas yang dimilki oleh validator atau pengguna semakin besar peluang untuk bisa menambang blok berikutnya dan mendapatkan hadiah berupa blok.
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 index futures, serta aset kripto dan reksa dana! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Sumber: Binance, Investopedia, Geeks for Geeks
Bagikan artikel ini