Rangkuman kabar akhir pekan, Jumat (19/11) mengutip sejumlah data perekonomian dalam negeri yang kian menghijau seiring bergeliatnya ekonomi nasional. Di sisi lain, negara maju masih berkutat pada kusutnya benang inflasi dan kelangkaan energi.
Yuk, simak selengkapnya.
Indonesia mencatat surplus transaksi berjalan (current account/CA) sebesar US$4,5 miliar, alias setara dengan 1,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) di kuartal III 2021. Data tersebut sekaligus menandai rekor surplus transaksi berjalan tertinggi Indonesia dalam 12 tahun terakhir.
Data tersebut terbilang mencengangkan mengingat Indonesia sebelumnya mencetak defisit transaksi berjalan US$2 miliar atau setara 0,7% PDB di kuartal sebelumnya.
Surplus tersebut sukses menopang Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) berbalik surplus US$10,7 miliar pada kuartal III-2021 setelah defisit US$0.4 miliar di kuartal sebelumnya.
Tingginya surplus neraca transaksi berjalan memiliki sejumlah implikasi positif, di antaranya menyelamatkan devisa negara. Ini terbukti dengan cadangan devisa di akhir September US$146,9 miliar, lebih tinggi dari posisi di akhir Juni yakni US$137,1 miliar.
Surplus neraca pembayaran, khususnya neraca transaksi berjalan juga mencerminkan fundamental Indonesia yang baik. Sehingga, hal tersebut bisa menjadi sentimen positif bagi investor untuk membenamkan dananya di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan suksesnya nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terdngkrak ke level tertingginya sepanjang masa.
Selain itu, efisiensi cadangan devisa juga membuat BI semakin leluasa untuk mengintervensi pasar valas demi menstabilkan nilai tukar rupiah.
Presiden Joko Widodo mengungkap satu per satu indikator perekonomian yang mengindikasikan pertumbuhan ke arah positif. Namun, semua itu akan percuma jika pandemi sulit dikendalikan.
Sejumlah indikator yang dimaksud Jokowi antara lain indeks keyakinan konsumen (IKK) yang sudah kembal ke level pra pandemi yakni 11,4. Retail and Sales Indeks (RSI) juga menguat seiring mobilitas masyarakat yakni di angka 5,2%. Setali tiga uang, Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur bahkan telah yakni 57,2, bahkan melampaui level sebelum pandemi yakni 51.
Karenanya, pemerintah saat ini berfokus dalam pengendalian pandemi agar kemajuan ekonomi yang telah tercapai dapat berlanjut tanpa harus terganggung pembatasan kegiatan.
Indikator positif yang sudah dicapai menunjukkan bahwa ekonomi sudah kembali bergeliat ke levelnya sebelum pandemi. Hal ini akan menjadi sentimen positif bagi investasi pasar modal dan investasi langsung di Indonesia, apalagi beberapa negara masih bergulat dengan pandemi COVID-19 yang belum surut dan stagflasi.
Hal tersebut tentu menjadi dasar yang kuat bagi Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih mumpuni di 2022.
Baca juga: Rangkuman Kabar: BI Tahan Bunga Acuan, China Bergelimang Cuan
Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Joe Biden meminta sejumlah negara maju untuk melepaskan cadangan minyaknya ke pasaran lewat joint sale. Ini menyusul tingginya harga minyak dunia, yang selama ini jadi biang keladi krisis energi dan inflasi di sejumlah negara maju.
Salah satu negara yang terkena bujuk rayu Biden adalah China. Negara tirai bambu tersebut menjadi inisiator pertama yang bersedia menjual cadangan minyak strategisnya di tengah kelangkaan. China menggunakan stok minyak nasionalnya untuk berupaya menurunkan harga minyak mentah saat organisasi OPEC+ bergeming atas permintaan untuk menaikkan volume produksi.
Menyusul langkah China, negara lain seperti India, Jepang dan Korea Selatan mulai membuka diskusi untuk turut merilis cadangan minyaknya ke pasaran.
Jika negara-negara maju sepakat untuk menggelontorkan cadangan minyak strategisnya ke pasaran, hal itu dapat menciptakan lonjakan suplai yang berimplikasi tertekannya harga minyak.
Kalau strategi ini berjalan mulus, harga minyak dapat tertekan ke level yang lebih terjangkau sekaligus mengurangi kelangkaan minyak mentah. Sehingga harga energi dapat kembali normal dan inflasi pun dapat ditekan.
Secara lanjut, inflasi yang lebih jinak bisa membuat negara-negara maju terlepas dari kondisi stagflasi. Sehingga, bank sentral di negara-negara tersebut benar-benar fokus pada indikator pemulihan ekonomi untuk menentukan apakah suku bunga acuannya perlu dinaikkan atau tidak.
Presiden European Central Bank (ECB) Christine Lagarde memastikan bahwa kebijakan moneter longgar akan berlanjut guna menjaga laju pemulihan ekonomi. Sebab, ia yakin inflasi di zona Eropa dapat menjadi jinak tanpa intervensi moneter dari bank sentral.
Oktober lalu, inflasi di Eropa mencapai 4,1%, di mana sebagian besarnya disumbang oleh lonjakan harga energi dan disrupsi rantai pasok. Angka ini jauh di atas ambang ECB yakni 2%, sehingga kecil kemungkinan inflasi dapat mereda dalam waktu dekat.
Namun, Lagarde berkeyakinan saat ini bukan saatnya menginjak pedal rem, melainkan menambah bahan bakar bagi perekonomian agar dapat melaju pasca diterjang badai pandemi. Baginya, saat ini yang terpenting ialah menjaga daya beli masyarakat agar perekonomian Eropa dapat pulih.
Menggelontorkan stimulus moneter saat inflasi tak kunjung melandai berisiko memacu inflasi semakin curam jika dilakukan tanpa perhitungan yang matang. Namun, mengingat inflasi kali ini disebabkan oleh disrupsi rantai pasok dan lonjakan harga energi, mengurangi stimulus juga dapat berakibat fatal terhadap daya beli masyarakat.
Pengambil kebijakan moneter di negara maju yang terdampak stagflasi perlu menemukan formula yang tepat untuk menghindari lonjakan inflasi semakin tinggi dengan tetap menjaga daya beli.
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 index futures, serta aset kripto dan reksa dana! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Sumber: Reuters, Investing, Bisnis Indonesia, Bank Indonesia
Fathia Nurul Haq
Fathia Nurul Haq
Bagikan artikel ini