Mengawali pekan, rangkuman kabar hari ini berisikan kabar baik menyoal transaksi Indonesia dan China yang sama-sama melepaskan ketergantungan terhadap Dolar AS. Selain itu, masih banyak kabar lain dari dalam negeri maupun mancanegara yang sayang untuk Sobat Cuan lewatkan!
Implementasi transaksi dengan mata uang lokal (Local Currency Settlement/LCS) antara Bank Indonesia dan People Bank of China mulai efektif per hari ini, Senin (6/9). Sehingga, penyelesaian transaksi perdagangan dan investasi langsung dengan mitra dagang terbesar Indonesia dapat dilakukan dengan mata uang lokal dua negara, yakni Rupiah dan Yuan.
Transaksi bilateral antar investor ataupun pedagang dua negara dapat diselesaikan melalui bank yang ditunjuk sebagai Appointed Cross Currency Dealer (ACCD). Terdapat 12 ACCD di Indonesia dan 8 ACCD di China yang telah ditunjuk sebagai ACCD, yakni bank yang dipandang memiliki kemampuan untuk memfasilitasi transaksi sesuai kerangka kerja sama LCS yang telah disepakati.
Baca juga: Kabar Sepekan: Spekulasi Tapering Kuat, RI Tebar Insentif Pasar Modal
Penggunaan mata uang lokal dalam transaksi dagang bilateral akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap Dolar AS. Dampaknya terbilang signifikan, mengingat China adalah mitra dagang terbesar Indonesia. Pada 2020 lalu, nilai perdagangan antar kedua negara mencapai US$78,37 miliar.
Berlakunya LCS dengan China yang disepakati tepat setahun lalu ini akan mengurangi tekanan serta risiko kepada Rupiah saat Dolar AS sedang perkasa. Sehingga, Bank Indonesia bisa menghemat devisa ketika mengintervensi pasar valas demi menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS.
Baca juga: Rangkuman Kabar: Indonesia Siap Pensiun dari Negara Konsumtif
Pada pembahasan tingkat pertama di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai laporan pertanggungjawaban Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) 2020 diketahui bahwa realisasi belanja pemerintah mencapai 94,7% dari pagu yakni Rp2.739,1 triliun.
Rinciannya, realisasi pendapatan negara taun lalu sebesar Rp1.647,7 triliun, sementara realisasi belanja Rp2.595,4 triliun. Selisih dari penerimaan dan belanja yang merupakan defisit anggaran dibiayai dengan pembiayaan berupa utang. Dari total realisasi tersebut, sebanyak Rp 947,6 triliun merupakan defisit anggaran, atau senilai 6,4% dari pendapatan domestik bruto (PDB).
Di sisi lain, realisasi pembiayaan mencapai 114,8% dengan total Rp1.193,2 triliun. Hal ini mengakibatkan sisa lebih penggunaan anggaran (SiLPA) tahun 2020 mencapai Rp245,6 triliun.
Rasio defisit anggaran yang melebar membuat pemerintah harus berutang banyak di tahun lalu. Implikasinya, pemerintah Indonesia harus menanggung bunga utang yang tinggi di tahun-tahun berikutnya.
Melihat kondisi itu, maka pelaku pasar bisa berharap bahwa pemerintah mungkin akan menggalakkan kebijakan yang bisa mengerek penerimaan negara. Salah satunya adalah mengubah instrumen kebijakan perpajakan.
Kata inflasi ternyata muncul sebanyak 282 kali dalam transkrip percakapan pertemuan analis perusahaan yang masuk dalam MSCI Indeks. Selain itu, pada pertemuan European Central Banks (ECB) Kamis mendatang, inflasi juga akan menjadi salah satu topik utama guna memutuskan apakah tapering akan dipercepat menilik tingginya inflasi di Eropa.
Tahun lalu ECB mengeluarkan kebijakan pembelian surat utang darurat terkait pandemi senilai USD2,2 miliar. Rencananya program itu akan berlangsung hingga Maret 2022, namun bank sentral tersebut berniat mengevaluasi kembali kebijakannya dengan mempertimbangkan tingkat inflasi di Eropa yang mencapai 3% bulan lalu.
Hal serupa juga terjadi di berbagai negara maju seiring dengan membaiknya kinerja perekonomian.
Inflasi yang besar adalah indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi tengah bergeliat hebat. Sebab, inflasi adalah implikasi dari pertumbuhan konsumsi yang kian kencang.
Namun, inflasi merupakan momok bagi investor negara maju yang telah lama menerapkan suku bunga mendekati nol. Tengok saja Eropa yang mematok bunga acuan terendah, dengan suku bunga dasar, suku bunga pinjaman marjinal, dan suku bunga deposito tidak berubah masing-masing pada 0,00%, 0,25%, dan minus 0,5%. Inflasi 3% tentu membuat investor kelabakan sebab investasinya susut berkali lipat dari proyeksi bunga investasinya.
Selain itu, inflasi tinggi kemungkinan besar akan direspons bank sentral dengan pengetatan kebijakan moneter. Sayangnya, pengetatan kebijakan moneter pun ujungnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Sejumlah negara seperti Jerman, Spanyol dan Kolombia tengah bersiap membuka penawaran obligasi hijau dalam jumlah besar bulan ini. Bahkan, Uni Eropa akan menggunakan 30% dana pemulihan pandemi senilai 800 miliar Euro, atau sekitar US$950 miliar, untuk proyek hijau.
Diperkirakan, nilai obligasi hijau yang ditawarkan bulan ini saja akan mencapai 20 miliar euro atau sekitar US$23,7 miliar.
Berdasarkan data Bloomberg Inteligence, saat ini pencatatan obligasi hijau negara secara global mencapai US$39,1 miliar, naik US$1,6 miliar dari tahun lalu. Mayoritas negara yang mencatatkan green bonds adalah negara Eropa diikuti oleh Hongkong dan Chile.
Baca juga: Kabar Sepekan: Ekonomi AS dan China Loyo, Inflasi RI Tiarap
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 index futures, serta aset kripto dan reksa dana! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Sumber: CNN Indonesia, Bisnis Indonesia, Bank Indonesia , Bloomberg, France 24
Bagikan artikel ini