Rangkuman kabar Jumat (27/1) mengulas perkembangan domestik dan mancanegara, diantaranya keputusan pemerintah untuk mengakhiri kerja sama burden sharing dengan Bank Indonesia tahun ini.
Kerja sama Bank Indonesia dan pemerintah berbagi beban dalam penanganan dampak pandemi atau burden sharing akan berakhir Desember tahun ini. Sesuai dengan rekomendasi International Monetary Fund (IMF), saat periode SKB III yang mengatur skema burden sharing berakhir nanti, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa program ini akan diterminasi.
Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia telah membantu pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selama dua tahun sejak pandemi COVID-19. Selama itu, total dana yang digelontorkan mencapai Rp 831,74 triliun.
Program ini masih berlanjut hingga akhir Desember nanti. Berdasarkan perjanjian yang sudah ada, BI akan membeli surat utang pemerintah melalui private placement sebesar Rp224 triliun sepanjang tahun 2021.
Adapun sejak awal tahun hingga 18 Januari lalu, BI telah membeli Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp2,2 triliun di pasar perdana untuk membantu pemerintah menangani pandemi COVID-19.
Berakhirnya kerja sama burden sharing antara BI dan pemerintah mengindikasikan bahwa masa-masa penggelontoran stimulus demi menopang pertumbuhan ekonomi bisa jadi akan selesai di tahun ini. Sehingga, BI dan pemerintah tahun depan kemungkinan akan memangkas kegiatan-kegiatan yang bersifat pemulihan ekonomi. Termasuk, misalnya, menyudahi rezim suku bunga rendah.
Namun, berakhirnya kerja sama ini seharusnya juga disikapi secara positif. Sebab, terminasi program ini juga mengindikasikan bahwa pertumbuhan penerimaan negara telah membaik, sehingga bantuan BI bisa dikurangi secara perlahan.
Keputusan ini juga berimplikasi positif terhadap independensi bank sentral dan neraca keuangan BI. Sementara bagi masyarakat, berakhirnya program ini mungkin akan berdampak pada jumlah uang beredar yang berkurang lantaran terhentinya stimulus BI di akhir tahun nanti.
PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mencatat pertumbuhan penjualan listrik sebanyak 5,77% menjadi 257.634 gigawatt hour (GWh) sepanjang 2021.
Kenaikan tersebut disokong oleh penambahan 3,5 juta pelanggan baru dan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 1.332 megawatt.
Kenaikan penjualan listrik mengindikasikan pemulihan ekonomi dan tumbuhnya aktivitas ekonomi masyarakat. Namun, kondisi ini juga perlu disikapi dengan cadangan energi yang mumpuni agar Indonesia tak terjebak dalam krisis energi dalam jangka panjang.
Baca juga: Rangkuman Kabar: The Fed Lagi 'Gak Asik', Investasi RI Kian Dilirik
Departemen Perdagangan Amerika Serikat melaporkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) AS melesat 6,9% secara tahunan pada kuartal IV 2020 lalu. Pertumbuhan tersebut didorong oleh sektor investasi swasta, daya beli masyarakat, pertumbuhan ekspor dan pengeluaran dunia usaha.
Berkat capaian pertumbuhan ekonomi kuartal IV, AS pun mencatat pertumbuhan sepanjang tahun 2021 sebesar 5,7%, performa terbaiknya sejak 1984.
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi kuartal IV 2021 mencapai 6,9%. Tingkat inflasi tersebut membuat inflasi tahunan AS sepanjang 2021 menjadi 3,9%, hampir dua kali lipat dari target Federal Reserve yakni 2%.
Kinerja perekonomian AS yang kinclong tidak terlepas dari stimulus The Fed selama masa pandemi. Artinya, ada kemungkinan bahwa pertumbuhan ekonomi alami AS ternyata tidak secemerlang yang diharapkan jika faktor stimulus dilepaskan dari kalkulasi PDB tersebut.
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) memenangkan China atas sengketa dagang dengan Amerika Serikat mengenai tarif tambahan yang dikenakan negara Paman Sam tersebut untuk 22 produk asal China sejak 2012. China kini mengantongi wewenang untuk mengenakan bea impor AS senilai US$645 juta atau setara Rp 9,2 triliun per tahun.
Keputusan ini tentu membuat Washington berang dan menuding WTO perlu mereformasi aturan lantaran terlalu condong kepada China. Kendati demikian, angka yang disetujui WTO sebetulnya jauh lebih kecil ketimbang ajuan China semula yakni US$2,4 miliar per tahun. AS sendiri berpendapat bahwa bea tidak boleh melebihi US$106 juta per tahun.
Pengenaan bea impor yang tinggi terhadap barang impor asal AS oleh China dapat berimplikasi negatif pada hubungan dua negara dan neraca dagang di antara keduanya.
Namun, hal ini kemungkinan bakal bikin AS mencari mitra dagang yang lebih "ramah" dan "murah" dibanding China. Sehingga, Indonesia perlu mengambil kesempatan ini untuk menjalin hubungan dagang yang lebih baik dengan AS.
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 dan Nasdaq index futures, serta aset kripto dan reksa dana! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Sumber: CNN Indonesia, CNBC, Reuters, Investing,Bisnis
Bagikan artikel ini