Prediksi harga Bitcoin saat ini terus bullish, atau berada dalam tren kenaikan membuat investor kian antusias dalam berinvestasi Bitcoin. Beberapa analis bahkan menyebut bahwa tren ini bisa berlanjut hingga lima bulan mendatang.
Salah satu analis tersebut adalah CEO dan Co-Chief Investment Officer Pantera Capital Dan Morehead. Ia sesumbar bahwa Bitcoin bisa saja menembus level US$100.000, atau Rp1,4 miliar, pada Agustus 2021.
“Bitcoin sekarang naik lebih cepat dari jadwal perkiraan April 2020 kami, dan bisa mencapai US$115.000 pada musim panas ini,” ujar Dan Morehead, CEO dan Co-Chief Investment Officer di Pantera Capital.
Adapun prediksi harga Bitcoin oleh Pantera didasarkan pada model stock-to-flow, yakni kerangka kerja analitis yang menilai harga aset berdasarkan jadwal penerbitan Bitcoin. Model tersebut mengukur kelangkaan Bitcoin, yang diatur oleh pemrograman jaringan dalam desain blockchain ketika diluncurkan 12 tahun lalu.
Desain program itu memperhitungkan suplai Bitcoin berdasarkan sistem halving kira-kira dalam empat tahun sekali. Secara teori, menurut model stock-to-flow, harga Bitcoin akan naik seiring dengan penurunan tingkat penerbitan barunya.
Prediksi Morehead dinilai berpengaruh lantaran pengalamannya di Wall Street. Sebelum mendirikan Pantera pada tahun 2003, ia menjabat sebagai kepala perdagangan makro untuk hedge fund Tiger Management, dan sebelumnya ia bekerja sebagai pedagang efek di Deutsche Bank dan Goldman Sachs.
Baca juga: Seberapa Kuat Bitcoin Whales dalam Mengendalikan Harga? Simak di Sini!
Prediksi Morehead ini juga didukung dengan prediksi bahwa investor institusi akan terus mengadopsi Bitcoin sebagai aset investasi. Hal ini sesuai dengan laporan yang disusun oleh Deutsche Bank Research, yang merupakan anak perusahan raksasa perbankan global Deutsche Bank, baru-baru ini.
Di dalam laporan berjudul “The Future of Payments: Series 2 Part III. Bitcoins: Can the Tinkerbell Effect Become a Self-Fulfilling Prophecy?”, Deutsche Bank mengatakan bahwa kapitalisasi pasar Bitcoin sebesar US$1 triliun dan potensi pertumbuhannya telah membuat raja aset kripto ini “terlalu penting untuk diabaikan” oleh para investor.
Deutsche Bank juga memprediksi harga Bitcoin dapat terus naik selama manajer aset dan perusahaan terus memasuki pasar. Perusahaan tersebut menekankan bahwa bank sentral dan pemerintah sekarang “memahami bahwa Bitcoin dan mata uang kripto lainnya akan tetap ada” dan dengan demikian, diharapkan untuk mulai mengaturnya pada akhir tahun 2021.
Belakangan ini, investor institusi seolah tak henti mengumumkan ketertarikannya pada Bitcoin. Terakhir, pada pekan lalu, perusahaan bank investasi Morgan Stanley mengumumkan bahwa mereka akan menjadi bank besar AS pertama yang menawarkan Bitcoin ke nasabahnya melalui tiga produk khusus.
“Perdebatan sebenarnya adalah apakah naiknya valuasi saja bisa menjadi alasan yang cukup bagi Bitcoin untuk berkembang menjadi kelas aset, atau apakah likuiditasnya menjadi kendala,” kata para analis.
Namun, di dalam studi 18 halaman itu, Deutsche Bank Research menyimpulkan bahwa Bitcoin diprediksi akan “tetap ultra volatil” dalam jangka pendek. Mereka memperkirakan titik balik untuk Bitcoin dalam “dua atau tiga tahun mendatang” karena konsensus tentang masa depannya mungkin akan muncul di saat-saat itu.
Selain itu, meski valuasinya meningkat, pertumbuhan Bitcoin sebagai kelas aset dapat terhambat oleh daya jual dan likuiditas yang “masih terbatas”.
Baca juga: Setelah Sentuh All-Time High, Ke Mana Arah Bitcoin Berikutnya?
Meski diterpa badai kecil di jangka pendek, harga Bitcoin sejatinya “berada di jalan yang benar” dalam menuju titik baliknya dua hingga tahun mendatang. Hal itu dimotivasi oleh langkah Tesla, yang dianggap membuka jalan bagi alur harga Bitcoin yang ajeg ke depan.
Sebelumnya, perusahaan mobil listrik Elon Musk, Tesla, memengaruhi keseimbangan harga ketika mengumumkan pembelian Bitcoin senilai US$1,5 miliar. Hal itu memang membuat harga Bitcoin naik secara tajam. Namun, analis Deutsche Bank dan ekonom Harvard Marion Laboure mengatakan bahwa ada korelasi yang lebih kuat antara alur harga Bitcoin ke depan dengan aksi korporasi Tesla tersebut.
Menurut Laboure, baik Tesla dan Bitcoin telah melalui pola pergerakan harga serupa selama setahun terakhir. Sentimen pasar terhadap Tesla mulai bergeser secara signifikan dalam 18 bulan terakhir karena terbukti memberikan hasil mumpuni.
“Keduanya (Bitcoin dan Tesla) selalu memicu perdebatan karena sama-sama mendisrupsi sektor yang sudah ada. Ada orang yang melihatnya sebagai tren yang akan dilupakan dan mereka yang melihatnya sebagai masa depan,” jelas dia.
“Makanya, demi memantapkan nilai Bitcoin ke depan, maka aset kripto tersebut harus berhasil mengubah persepsi tersebut,” tulis Laboure.
Sebelumnya, korelasi antara pola harga Bitcoin dengan pergerakan harga saham Tesla juga dianalisis oleh CEO/CIO Investor Global AS, Frank Holmes. Ia mengatakan, harga Bitcoin bisa mencapai US$80.000, atau Rp1,12 miliar di 2021 dengan berbasiskan analisis volatilitas DNA.
Menurut Holmes, setiap kelas aset memiliki volatilitas DNA-nya tersendiri. DNA ini merupakan persentase fluktuasi harga Bitcoin serta aset lainnya yang khas selama periode waktu tertentu.
Terkait aset kripto Bitcoin dan Ethereum sendiri, menurutnya, masing-masing dari mereka memiliki pola volatilitas harga yang sama dengan Tesla.
“Pasar saham, S&P 500, dan emas memiliki volatilitas 1%. Tapi Tesla, Ethereum, dan Bitcoin semua sama rata 5%,” ujarnya pada bulan lalu.
Baca juga: Bitcoin Pekan Ini Diramal di Jalur Bullish dan Mengarah ke Rp868 Juta
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 index futures, serta aset kripto Bitcoin dan Ethereum! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Sumber: Coindesk, CoinTelegraph, Forbes
Adi Putro
Adi Putro
Bagikan artikel ini