Rangkuman kabar pada awal pekan berisi soal rencana kebijakan moneter Bank Indonesia tahun depan hingga proyeksi perekonomian oleh Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan indikator statistik.
Sementara itu, investor mancanegara mulai bernapas lega pasca pidator Ketua The Fed akhir pekan lalu bernada dovish.
Yuk, simak selengkapnya di rangkuman kabar berikut
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkap tahun depan BI akan mengetatkan kebijakan moneternya secara bertahap. Ia memproyeksikan bahwa suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI-7 Days Reverse Repo Rate (BI-7DRRR) akan naik di akhir 2022.
Sejak 2020 sampai dengan 27 Agustus 2021 BI telah menyuntikkan likuiditas kepada perbankan Rp844,5 triliun atau setara 5,3% Produk Domestik Bruto (PDB). Langkah quantitative easing oleh BI ini menyebabkan longgarnya likuiditas hingga rasio Alat Likuid berbanding Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) mencapai 34%.
Proyeksi pengetatan kebijakan moneter nantinya tetap mempertimbangkan stabilitas makroprudensial dan bauran kebijakan moneter dan fiskal. Saat ini BI-7DRRR berada pada level 3,5%.
Pengetatan kebijakan moneter Bank Indonesia bisa menekan jumlah uang beredar yang berdampak pada tingkat inflasi tahun depan. Namun, langkah ini berpotensi menghambat laju pemulihan ekonomi jika dilakukan tanpa pertimbangan yang matang.
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan tahun depan juga berpotensi meningkatkan suku bunga pinjaman. Sehingga, masyarakat akan lebih senang menabung ketimbang menginvestasikan uangnya. Hal itu akan bikin perbankan kebanjiran likuiditas dan masyarakat enggan memanfaatkan kredit untuk konsumsi atau ekspansi usaha, dua faktor utama pendukung pertumbuhan ekonomi.
Karenanya, BI memastikan bahwa timing tapering versi BI akan dilakukan dengan mempertimbangkan kebijakan sektor lain.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono meramal bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia secara tahunan di kuartal III diperkirakan melambat dibanding kuartal II, yakni 7,07%.
indikasi melambatnya ekonomi kuartal III didasarkan atas capaian sejumlah indikator ekonomi seperti ekspor, impor, dan indeks manajer pembelian (Purchasing Manager Index/PMI).
BPS mencatat nilai ekspor Juli 2021 secara bulanan (month-to-month) turun 4,53% sementara impor turun 12,2%. IHS Markit mencatat PMI Manufaktur Indonesia sebesar 40,1 di bulan Juli, padahal indeksnya mencapai 53,5, yang mengindikasikan adanya pelemahan produktivitas domestik.
Penyebab utama dari penurunan kinerja perekonomian adalah melonjaknya kasus COVID-19 varian delta medio Juli lalu.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2021 akan bikin pemerintah dan bank sentral melancarkan berbagai “jurus tambahan” untuk memulihkannya kembali. Selain itu, aliran investasi ke pasar modal diperkirakan akan seret lantaran investor bisa mengharapkan imbal hasil yang mini saat menanam modal di kala pertumbuhan ekonomi melandai.
Malam nanti, pemerintah akan mengumumkan nasib Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat alias PPKM di wilayah Jawa dan Bali.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, angka kasus baru COVID-19 selalu melandai dalam sepekan terakhir. Hari ini, Senin (30/8), Indonesia mencatat tambahan 5.436 kasus COVID-19 harian baru, lebih rendah dibanding reratanya selama tujuh hari terakhir 12.885 kasus. Akankah hal ini mengindikasikan penurunan level PPKM yang akan diumumkan malam nanti?
Pelonggaran PPKM akan membuka kembali kegiatan ekonomi yang selama ini terhenti akibat pembatasan sosial. Hal itu nantinya akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat, sehingga bisa menstimulasi pertumbuhan ekonomi kuartal II, yang sebelumnya diramal melandai oleh BPS.
Sejumlah sektor seperti pendidikan dan industri manufaktur juga sudah berancang-ancang akan meningkatkan aktivitas masyarakat dengan sekolah tatap muka dan operasional 100%. Pusat perbelanjaan dan restoran juga tengah harap-harap cemas menanti keputusan ini guna meningkatkan penjualan ritelnya yang sempat amblas saat PPKM berjilid-jilid lalu.
Baca juga: Rangkuman Kabar: Ragam Jibaku RI & Negara Lain Memulihkan Ekonomi
Pidato Ketua The Fed Jerome Powell akhir minggu lalu yang bernada dovish mengenai pemberlakuan pengurangan pembelian surat utang sebagai bentuk stimulus moneter alias tapering membuat sentimen pasar membaik.
Para ekonom dan analis memandang langkah The Fed yang lebih transparan dan penuh perhitungan dalam menyetop pembelian surat utangnya kali ini berpotensi tapering tidak akan membuat tantrum lagi.
Imbasnya, selama dua hari berturut-turut indeks S&P ditutup hijau, bahkan mencetak rekor tertingginya akhir minggu lalu. Hal serupa juga terjadi pada indeks Nasdaq yang mencerminkan napas lega para investor.
Meski bernada dovish, The Fed memastikan bahwa tapering berlaku tahun ini juga. Namun merebaknya kasus COVID-19 varian delta di negara Paman Sam itu berpotensi membuat otoritas moneter menimbang kembali kapan dan bagaimana tapering akan diberlakukan, agar tidak mengganggu agenda pemulihan ekonomi disana.
Sikap dovish The Fed atas tapering mengirim sinyal positif kepada pelaku perekonomian bahwa kali ini sikap The Fed dalam memberlakukan kebijakan traumatis itu sudah lebih terukur dan transparan.
Selain itu, sikap The Fed yang tidak berencana menaikkan suku bunga acuan menegaskan bahwa bank sentral itu masih mengedepankan pemulihan ekonomi.
Baca juga: Kabar Sepekan: Spekulasi Tapering Kuat, RI Tebar Insentif Pasar Modal
The European Commission merilis data indeks sentimen yang mengindikasikan bahwa optimisme masyarakat Uni Eropa di bulan Agustus memburuk dari 119 di Bulan Juli menjadi 117,5 di Bulan Agustus. Artinya, masyarakat Uni Eropa menilai bahwa kondisi ekonomi Agustus tak lebih baik ketimbang sebulan sebelumnya.
Perburukan ekspektasi terjadi di semua sektor penting dalam perekonomian Uni Eropa, seperti, industri, jasa dan konsumsi. Penurunan sentimen tertinggi dialami oleh Perancis mencapai 4,5 poin, diikuti oleh Italia dan Spanyol.
Memburuknya ekspektasi investor ini juga disertai dengan perkiraan masyarakat bahwa inflasi bulan Agustus akan lebih tinggi dibanding Juli.
Sentimen pelaku pasar merupakan faktor yang secara nyata lebih banyak mengendalikan perekonomian. Ekspektasi yang buruk dari masyarakat Eropa meningkatkan kewaspadaan terhadap proyeksi ekonomi benua biru itu yang mungkin akan melambat.
Salah satu faktor utama yang menyetir ekspektasi buruk masyarakat Uni Eropa adalah meroketnya sebaran kasus COVID-19 varian Delta di seluruh dunia, seperti Amerika dan Australia. Eropa sendiri sempat mengalami lonjakan kasus beberapa minggu yang lalu.
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 index futures, serta aset kripto dan reksa dana! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Sumber: Reuters, CNBC, CNBC Indonesia, Bisnis Indonesia
Bagikan artikel ini