Apple adalah perusahaan yang tak kenal lelah untuk berinovasi. Namun, apakah hal ini membuat sahamnya layak untuk dikoleksi? Simak di sini!
Apple Inc. adalah raksasa teknologi yang didirikan pada 1 April 1976 yang memproduksi produk-produk fenomenal seperti ponsel pintar iPhone dan komputer canggih Macbook.
Berpusat di Cupertino, California, Apple dikenal sebagai perusahaan yang tak kenal lelah dalam berinovasi. Di samping itu, masyarakat pun kerap mengasosiasikan produk-produk Apple dengan status sosial dan kualitasnya yang premium. Upaya dan anggapan tersebut pun sukses mengantarkan Apple menjadi perusahaan yang masuk klub eksklusif dengan nilai kapitalisasi pasar mencapai US$3 triliun pada awal Agustus 2023.
Secara historis, perusahaan dianggap sebagai perusahaan perangkat keras dengan fokus inti pada produk andalannya, iPhone.
Sayangnya, pertumbuhan penjualan iPhone melambat dalam beberapa tahun terakhir, sehingga Apple pun mau tak mau melakukan diversifikasi usaha ke layanan digital yang hanya bisa diakses eksklusif di gawai-gawainya seperti iPhone, iPad, dan Macbook. Hal ini pun membuat Apple tidak hanya menyediakan perangkat keras semata, namun menawarkan satu ekosistem pelayanan digital yang komplet.
Di samping itu, Apple juga merambah ke produk-produk aksesoris (wearables) sebagai upaya diversifikasi melalui peluncuran jam canggih Apple Watch dan AirPods. Sobat Cuan bisa menyimak kontribusi masing-masing segmen bisnis terhadap pendapatan Apple melalui diagram di bawah ini.
Transformasi Apple dari sekadar produsen perangkat keras menjadi penyedia jasa layanan digital yang terintegrasi bisa dibilang cukup sukses.
Prestasi ini sejatinya tercermin dari pendapatan perusahaan di 2022, di mana penyediaan jasa, seperti jasa streaming musik Apple Music dan Apple Pay, menyumbang US$78 miliar atau 20% dari total pendapatan Apple. Angka tersebut tumbuh gemilang 393,6% dari 2013 yang hanya sebesar US$15,8 miliar.
Pertumbuhan pendapatan itu pun sejalan dengan jumlah pelanggan layanan berlangganan Apple yang sejak 2015 rata-rata bertumbuh 63% secara tahunannya.
Hanya saja, pertumbuhan tersebut rupanya jauh lebih kencang dibanding rata-rata pertumbuhan pendapatannya sebesar 21,8% dalam kurun waktu yang sama. Kondisi ini mengindikasikan bahwa tak semua pelanggan benar-benar menghabiskan uangnya untuk layanan Apple.
Pluang beranggapan bahwa hal ini terjadi akibat munculnya kompetitor yang menawarkan produk serupa namun dengan keunggulan yang berbeda.
Sebagai contoh, pengguna Apple yang menggemari musik dapat berlangganan Apple Music. Namun, di saat yang sama, terdapat pula penyedia streaming musik lain yakni Spotify yang sudah hadir terlebih dulu dan memiliki pustaka musik yang lebih komplet dibanding Apple Music.
Namun, Apple sebaiknya tak usah berkecil hati. Dengan jenama yang besar, Apple pun memiliki basis konsumen loyalnya tersendiri yang selalu “melahap” produk atau jasa apapun yang ditawarkan perusahaan. Apalagi, mereka yang sudah terbiasa dengan ekosistem terintegrasi antara perangkat lunak dan keras Apple tentu saja enggan berpindah hati ke layanan lain.
Baca Juga: Apa Saja 5 Fakta Unik Saham Perusahaan Apple?
Banyak pihak mengatakan, iPhone adalah game changer di industri ponsel pintar sejak kemunculannya 2007 silam. Ia menawarkan beberapa keunggulan yang tak pernah terpikirkan produsen ponsel sebelumnya, yakni operasi berbasis internet, keyboard virtual, dan gawai dengan layar sentuh.
Siapa sangka, terobosan-terobosan itu mampu mengantar Apple menjadi salah satu jawara ponsel pintar di dunia saat ini. Sementara itu, pendahulunya, misalnya,Nokia harus gigit jari ditelan kompetisi ponsel pintar yang kian hari kian sengit.
Mengutip Oberlo, jumlah pengguna ponsel pintar per 2023 sudah mencapai 89% dari total populasi di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa produk ini sudah menjadi kebutuhan lumrah di kalangan masyarakat.
Hanya saja, pertumbuhan penjualan ponsel pintar sendiri sudah tidak sekencang dulu. Pasalnya, perkembangan teknologi baru ponsel pintar makin lama makin mendekati titik jenuhnya, sehingga masyarakat pun tidak memiliki urgensi untuk mengganti ponsel pintarnya sesegera mungkin.
Selain itu, pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19, khususnya di China, rupanya masih belum cukup kuat untuk mengerek permintaan ponsel pintar global.
Sobat Cuan bisa melihat buktinya pada grafik berikut, yang menunjukkan bahwa pengiriman ponsel pintar antar triwulan sejak kuartal I 2022 terus menurun.
Kendati begitu, Apple masih tetap unjuk gigi di tengah kompetisi ketat ponsel pintar dan menurunnya permintaan masyarakat. Bahkan menariknya, penurunan pengiriman ponsel Apple secara tahunan hanya 2%, jauh lebih kecil dibandingkan kompetitornya yang mengalami kemerosotan pengiriman sampai dua digit.
Hal ini membuktikan bahwa Apple masih memantapkan dirinya sebagai raja ponsel pintar dunia yang dominasinya sepertinya masih akan tetap kokoh untuk beberapa waktu ke depan.
Pluang beranggapan, resiliensi penjualan Apple selama ini didukung oleh beberapa faktor, seperti kenyamanan konsumen atas ekosistem yang ditawarkan Apple. Sehingga, mereka pun enggan beralih ke ponsel pintar lain yang lebih murah meski kondisi ekonomi tengah tak menentu.
Ambil contoh iPhone 14, ponsel yang ditelurkan Apple pada 2022. Data Wave7 Research menunjukkan bahwa penjualan ponsel tersebut terbilang kokoh dibanding produsen lain yang sama-sama meluncurkan seri ponsel terbarunya di waktu yang sama.
Bahkan, kabar baiknya, penjualan iPhone 14 pun berhasil mengerek pangsa pasar iPhone di pasar ponsel pintar AS. Pada Juli 2023, iPhone meraup 67% dari pangsa pasar smartphone di AS. Angka ini terbilang lebih baik dibanding dua tahun sebelumnya, yakni ketika iPhone 12 baru diluncurkan, yakni 64%.
Selain itu, faktor lainnya adalah anggapan masyarakat bahwa iPhone adalah ponsel pintar yang keandalannya tak lekang dimakan zaman. Makanya, masyarakat pun cenderung memilih iPhone sebagai pilihan ponsel pintarnya meski harus merogoh kocek yang dalam.
Kemudian, faktor terakhir adalah faktor sosial. Sobat Cuan tak bisa memungkiri fenomena sosial di mana Apple selalu dikaitkan dengan status sosial tertentu. Sebagai contoh, mereka yang menggunakan iPhone selalu dianggap “keren”, sementara mereka yang menggunakan ponsel-ponsel pintar murah kadang dianggap “norak”.
Nah, anggapan ini rupanya cukup mengakar di masyarakat generasi muda atau biasa dikenal sebagai Gen Z. Terlebih, survey Bloomberg menunjukkan bahwa 79% Gen Z (18-24 tahun) memilih menggunakan sistem operasi iOS di mana 41% dari jumlah responden tersebut memilih menggunakan iPhone.
Selain faktor-faktor tersebut, terdapat pula potensi lain yang bisa diambil Apple untuk mengerek penjualan ponsel pintarnya, yakni siklus pergantian ponsel pintar.
Secara historis, adopsi smartphone mencapai puncaknya pada 2016. Jika siklus pergantian smartphone sendiri memakan waktu setiap tiga tahun sekali, maka artinya pertumbuhan penjualan smartphone sendiri seharusnya akan kencang di tahun 2022-2023.
Namun, Pluang melihat bahwa penjualan di iPhone di 2023 masih bersifat suam-suam kuku karena kondisi ekonomi yang belum membaik dan inflasi tinggi.
Apple sepertinya tak pernah lelah untuk terus berinovasi. Salah satu inovasi terbarunya adalah rencana peluncuran headset perpaduan realitas virtual (Virtual Reality/VR) dan realitas tertambah (Augmented Reality/AR) bernama Apple Vision Pro pada awal 2024.
Secara spesifikasi, produk ini dilengkapi dengan teknologi teranyar Apple dengan menggunakan chip M2 dan chip R1 untuk memproses 12 kamera, termasuk kamera tiga dimensi (3D), lima sensor, enam mikrofon, dan sistem audio.
Produk ini pun juga akan mengadopsi sistem operasi terbaru, visionOS, yang memungkinkan penggunanya untuk merasakan dunia 3D serta mengontrol penglihatan melalui mata, tangan dan suara pengguna.
Menariknya, seperti layaknya produk Apple lainnya, Apple Vision Pro juga terikat dengan ekosistem yang ada dengan Apple. Produk ini pun digadang menjadi “gawai satu pintu” yang dapat memenuhi kebutuhan penggunanya pada komputer, home theater, gaming, hingga kamera 3D.
Selain itu, produk ini juga menekankan pada kenyamanan sang penggunanya dengan bahan premium dan desain yang unik.
Sejatinya, Apple Vision Pro adalah produk yang telah diantisipasi pasar karena ini adalah bukti bahwa perusahaan bisa menggabungkan dunia AR/VR dengan dunia nyata. Sayangnya, produk dibanderol cukup mahal, yakni US$3.499 atau sekitar Rp52,5 juta.
Lembaga investment bank JPMorgan mengatakan, penjualan Apple Vision Pro akan berkontribusi minim terhadap pendapatan perusahaan di 2024.
Lembaga itu beranggapan, Apple kemungkinan besar akan mengirimkan 100.000 hingga 200.000 unit headset tersebut terlebih dulu untuk mengukur reaksi pasar. Sehingga, jika mengalikan jumlah tersebut dengan harga jual Apple Vision Pro, maka perseroan kemungkinan akan meraup kurang lebih US$500 juta atau kurang dari 1% dari total pendapatannya.
Namun, tak menutup kemungkinan bahwa produk ini dapat menjadi katalis utama penggerak sahamnya ke depan karena Apple Vision Pro adalah bukti bahwa perusahaan bisa menghasilkan sumber pendapatan baru.
Baca Juga: Mengapa Saham Apple Adalah Aset Berharga?
Secara historis, Apple berhasil membukukan rata-rata pertumbuhan pendapatan sebesar 10,6% secara tahunan sejak 2016-2022.
Pertumbuhan ini tentunya ditopang oleh penjualan iPhone yang selalu mencetak rekor baru setiap tahunnya. Selain itu, Apple juga konsisten meluncurkan seri baru produk wearables seperti AirPods dan Apple Watch yang juga digemari masyarakat.
Hanya saja, meski terus mengalami pertumbuhan, nampaknya pendapatan Apple akan sedikit tertekan di tahun ini setelah sang CEO, Tim Cook, mengatakan bahwa kondisi makroekonomi, inflasi, dan tingginya suku bunga AS akan menghantam daya beli masyarakat.
Kendati begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa pendapatan Apple perlahan pulih di semester kedua tahun ini lantaran inflasi AS kian hari kian meredup.
Secara keseluruhan, tren laba bersih Apple masih sejalan dengan tren pendapatannya. Hanya saja, pertumbuhan laba Apple yang signifikan terjadi pada 2021 lalu, ketika Apple mulai menelurkan sendiri chip besutannya, chip M1.
Sebelumnya, Apple menggantungkan diri pada Microsoft untuk mendapatkan chip bagi gawai-gawainya. Namun, sejak memproduksi chip M1, Apple berhasil memangkas komponen bebannya sehingga laba bersihnya pun membaik.
Selain itu, kehadiran chip M1 juga sukses memperbaiki margin laba bersih Apple dari 20,9% di 2020 menjadi 25,9% di 2021.
Laba bersih Apple sepertinya masih akan tetap bertumbuh di tahun ini hingga 2025 mendatang. Meski demikian, pertumbuhan itu tidak akan signifikan seperti yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
Pluang menganggap bahwa hal itu bisa terjadi lantaran Apple belum mengumumkan inovasi-inovasi teranyarnya yang monumental. Memang, Apple telah mengumumkan bakal merilis Apple Vision Pro, namun kemampuannya dalam menggaet minat masyarakat pun masih diragukan.
Oleh karenanya, ada baiknya Sobat Cuan juga menanti sepak terjang Apple Vision Pro pasca peluncurannya. Jika memang produk tersebut mampu menarik minat masyarakat, maka pasar tentunya akan mengerek estimasi laba dan target saham Apple.
Konsensus analis mengatakan bahwa harga wajar saham Apple sendiri saat ini berada di US$189,6, atau jauh lebih rendah dibanding harga penutupan Rabu (2/8) yakni US$192,58. Hal ini mengindikasikan bahwa harga saham perusahaan jauh lebih “mahal” dibanding nilai sesungguhnya.
Sisi “mahal” saham Apple juga tercermin dari valuasinya yang saat ini, jika ditinjau dari rasio harga saham per laba (Price to Earning Ratio/Rasio P/E) berada di 32,6 x P/E atau di atas rata-rata lima tahunnya, 24,9x P/E. Bahkan, valuasi ini pun 75% dari perusahaan lain yang bergerak di sektor yang sama.
Namun, investor sepertinya “mewajarkan” harga premium tersebut mengingat Apple tak kenal lelah untuk terus berinovasi dan tetap memiliki neraca keuangan stabil di tengah kondisi ekonomi yang tak tentu. Sehingga, jika Sobat Cuan ingin mengoleksi saham Apple, maka kamu mungkin bisa mendapatkannya ketika level harganya berada di US$160,45 per lembar.
Apple adalah perusahaan yang memiliki kapitalisasi pasar terbesar. Namun, dalam berinvestasi, tentunya memiliki risiko yang tidak dapat dihindari. Berikut beberapa risiko yang wajib diketahui sebelum berinvestasi di saham Apple!
Transaksi Saham Apple di Sini!
Download aplikasi Pluang untuk investasi Saham AS, emas, ratusan aset kripto dan puluhan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Bagikan artikel ini