Jatuhnya pasar saham atau stock market crash adalah penurunan harga saham yang cepat dan kerap tidak terduga. Kejatuhan ini bisa jadi disebabkan oleh peristiwa bencana besar, krisis ekonomi, atau runtuhnya gelembung spekulatif jangka panjang.
Kepanikan publik yang berakibat pada reaksi pelaku pasar yang berlebihan juga berakibat ke jatuhnya pasar saham. Bahkan, seringkali malah menjadi pemicu utama anjloknya nilai saham.
Beberapa contoh kejatuhan pasar saham yang cukup menyita perhatian masyarakat global kali pertama terjadi selama Depresi Hebat 1929. Keruntuhan yang sama juga terjadi pada peristiwa Senin Hitam 1987, gelembung dotcom 2001, krisis keuangan 2008, dan kamu pastinya merasakannya juga, hal ini terjadi selama pandemi COVID-19.
Kendati tidak ada batasan khusus untuk kehancuran pasar saham, umumnya stock market crash adalah peristiwa yang terjadi saat persentase penurunan mencapai hingga dua digit secara tiba-tiba dalam beberapa hari.
Peristiwa kejatuhan pasar saham ini pun mau tidak mau akan berdampak signifikan pada perekonomian. Terjadinya penjualan saham setelah harga turun tiba-tiba dan pembelian saham terlalu banyak dengan margin sebelumnya adalah dua hal yang paling umum menyebabkan stock market crash.
Kehancuran pasar saham di AS yang dikenang sepanjang masa terjadi pada 1929. Peristiwa itu diakibatkan oleh penurunan ekonomi dan pemegang saham yang panik lantas menjual sahamnya besar-besaran. Ketika itu, peristiwa stock market crash tersebut dikenal sebagai Depresi Hebat. Hal serupa terjadi pada peristiwa Senin Hitam (1987), yang adalah juga disebabkan oleh kepanikan investor.
Kecelakaan serupa ketika para pemegang saham panik, banyak menjual saham mereka, dan membuat pasar saham anjlok terjadi pula pada 2008. Bukan hanya mempengaruhi harga saham, peristiwa itu juga mendorong anjloknya pasar perumahan dan real estat. Kalau di 1929, stock market crash adalah pemicu Depresi Hebat, maka di 2008, ia memicu terjadinya Resesi Hebat.
Perdagangan dengan frekuensi tinggi juga menjadi biang kerok terjadinya flash crash pada Mei 2010. Imbasnya tidak main-main, triliunan dolar harga saham pun terhapus dalam sekejap mata saja.
Baca juga: Apa Itu FAANG Stocks?
Pada Maret 2020, kita hampir-hampir menghadapi peristiwa yang sama dengan tahun-tahun buruk pasar saham tersebut. Lantaran pandemi, pasar saham di seluruh dunia merosot ke dalam wilayah bear market karena munculnya pandemi virus COVID-19.
Tentunya, sejak kehancuran pasar saham pada 1929 dan 1987, berbagai protokol keamanan investasi pun telah diberlakukan dalam sistem pasar modal demi mencegah kepanikan para pemegang saham yang menjual besar-besaran aset mereka.
Pengamanan yang dinamakan “circuit breakers” alias pemutus sirkuit ini mencegah aktivitas perdagangan apa pun untuk jangka waktu tertentu setelah penurunan tajam harga saham. Harapannya, penerapan protokol pengamanan ini dapat menstabilkan pasar. Terutama, mencegah jatuhnya harga saham lebih jauh lagi.
Baca juga: Penurunan Suku Bunga dan Dampaknya ke Harga Emas
Bursa Efek New York (New York Stock Exchange, NYSE) telah menetapkan ambang batas untuk mencegah terjadinya crash. Mereka menyediakan penghentian perdagangan di semua pasar ekuitas dan opsi selama terjadinya penurunan pasar yang parah. Pengukuran ditentukan berdasarkan penurunan satu hari yang terjadi dalam Indeks S&P 500.
Menurut NYSE, stock market crash adalah hal yang dapat dihindari melalui penerapan protokol yang dilakukan berdasarkan situasi berikut:
Bagaimanapun, keruntuhan pasar saham dapat berakibat pada nilai investasi ekuitas dan paling berat dirasakan bagi mereka yang mengandalkan hasil investasi untuk kebutuhan masa pensiun.
Meski kejatuhan harga ekuitas di masa sekarang ini hanya akan terjadi dalam satu hari atau satu tahun masa penjualan saham, kejatuhan ini kerap diikuti terjadinya resesi atau depresi ekonomi.
Baca juga: Jika Kita Investasi Emas 10-20 Tahun Lalu, Berapa Ya Cuannya Hari Ini?
Selain dengan penerapan protokol pemutus sirkuit, pasar juga dapat distabilkan oleh entitas besar yang membeli saham dalam jumlah besar. Jadi, perusahaan atau institusi besar dapat memberikan contoh bagi para pemegang saham ritel atau individu agar tidak panik pada situasi berat tersebut.
Dalam salah satu contoh yang cukup terkenal, yakni Peristiwa Panik 1907, penurunan 50% saham di New York memicu kepanikan finansial yang mengancam kestabilan sistem keuangan global. J.P. Morgan, pemodal dan investor terkenal, meyakinkan para bankir New York untuk turun tangan dan menggunakan modal pribadi demi menopang pasar.
Akan tetapi, bagaimanapun, metode ini bukan hanya tidak terbukti, tapi juga cenderung dirasakan tidak efektif. Karena sejatinya, kunci utama untuk menghindari kejatuhan pasar saham adalah dengan menginformasikan pada pemegang saham untuk tidak panik pada situasi darurat.
Apakah kamu tipe investor yang panikan di situasi darurat? Bagaimana pengalamanmu berhadapan dengan situasi pasar saham pada awal pandemi COVID-19 ini?
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 index futures, serta aset kripto Bitcoin dan Ethereum! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Sumber: Investopedia
Bagikan artikel ini